Kabut Asap Kembali Lagi ke Singapura, Bencana Karena Ulah Manusia


Kabut asap sekitar tempat tinggal kami, 14 September 2019, 2:01 PM. Biasanya kami bisa melihat lurus sampai ke Marina Bay - Photographed by AcikMardhiyanti / Acik Mdy

Kabut Asap? OMG! Setelah kurang lebih 4 tahun berlalu, akhirnya kabut asap dari Indonesia kembali lagi ke Singapura! Kuatir kah saya? Tentu saja! Seperti kata seorang teman penulis yang merupakan warga negara Jepang, udara yang tidak sehat tidak hanya berpengaruh pada manusia tetapi akan mempengaruhi tanaman dan juga hewan. Luar biasa kan dampaknya? Sampai kapan pembakaran hutan dan lahan terus terjadi di Indonesia? Hal ini tidak hanya berdampak pada  kehidupan warga sekitar pembakaran sendiri tetapi juga mempengaruhi kehidupan negara tetangga. Dan yang lebih penting lagi bahwa manusia sendirilah yang telah merusak kehidupan planet bumi. 

Saya/ penulis lahir dan besar ditanah sumatera. Tentang pembakaran seperti ini sudah jadi hal biasa untuk kami saat itu. Bukan didaerah "red zone" tetapi diwilayah/ provinsi tempat dulu penulis lahir dan besar disana tiap tahun selalu ada pembakaran lahan disaat kemarau, saya ingat betul itu sekitar bulan September atau Oktober atau lebih tepatnya bulan kemarau/ musim kemarau. Dulu kelas 3 Sekolah Dasar saya/penulis belum paham, yang saya tahu tiap musim kemarau selalu ada lembaran kecil halus berwarna hitam melayang-layang diudara ditambah debu-debu. Bisa bolak-balik itu kalau menyapu teras rumah karena hal ini. Lama-lama saya paham dan tahu bahwa lembaran halus berwarna hitam itu berasal dari perusahaan perkebunan dimana setiap tahun mereka membakar sisa-sisa hasil panen seperti daun/ batang-batang. Untuk apa pembakaran ini? Tentu saja untuk mempermudah mereka membuka tahun baru (memulai penanaman kembali). Warga didesa pun melakukan hal sama, setelah panen (jagung atau padi) sisa-sisa hasil panen itu dibakar agar mempermudah tahun baru penanaman kembali. Pembakaran seperti ini sudah menjadi hal biasa.

Bertahun-tahun sudah belalu, saya dan suami pindah domisili di Singapura. Selama hampir 8 tahun di Singapura kami sudah mengalami 3 kali bencana kabut asap 2015, 2016, dan sekarang 2019. Oktober 2015 saat itu parah sekali dimana tingkat PSI (Pollutant Standards Index) mencapai 400 lebih. Saat itu tidak hanya kami saja yang merasa tidak enak badan/ pusing/ mual, tetapi juga kucing kami, Ichi, mengalami muntah-muntah. Sekarang tahun 2019 ini ketika kabut asap mulai datang kembali Ichi pun sudah muntah-muntah 2 minggu lalu.

Meskipun tidak separah tahun 2015 lalu tetapi adanya kabut asap ini sungguh mengganggu kehidupan kami, tidak hanya kami, juga kehidupan warga disini. Kami dirumah sudah 2 minggu ini menutup jendela-jendela, tetangga kami juga melakukan hal sama. Paling susah bila harus keluar rumah sementara kabut asap diluar terlihat parah, jalan keluar rasanya tidak enak meskipun sudah memakai masker N95. Karena kalau berlama-lama berada diluar rumah/ ruangan, kulit kita akan berbau kebakaran. Bahkan pintu-pintu maupun jendela flat yang menghadap keluar baunya sudah seperti kebakaran. Meskipun kabut asap datang dan pergi (kadang PSI naik/ turun) tetap saja bau kebakaran itu menempel disudut-sudut/ bagian luar flat kami. Masak pun saya tidak berani buka jendela dapur bila PSI naik ke angka 70 keatas. Beruntungnya dirumah ada kitchen hood jadi kalau masak tidak membuka jendela dapur tidak apa-apa. Ditambah adanya AC dirumah ini juga membantu kami untuk mendapatkan udara. Kalau saya bilang ini seperti ada serangan zombie "World War H" .

Dan saya/ penulis malah lebih kasihan sekali melihat warga sekitar pembakaran "red zone". Kalau di Singapura tingkat PSI mencapai 100 disana pasti mencapai 2 kali lipatnya. Sungguh kasihan waktu parah-parahnya, di Singapura PSI mencapai 400 lebih di "red zone" PSI mencapai 2000-an... Saya tidak bisa membayangkan itu... saya/ penulish sedih sekali.... Saat ini bagaimana? saya dan suami merasa kasihan sekali dengan penduduk sekitar yang menjadi langganan kabut asap, seperti Provinsi Riau, Jambi, dan Kalimantan. Ditambah lagi dengan penomena langit di Jambi berubah menjadi merah minggu kemarin (22 September 2019), oh kok serem dan mengerikan ya...

Seperti kata seorang kawan penulis yang merupakan orang Perancis, "we are destroying our only place of survival, our planet, it's so sad...". Ya, betapa sedihnya...kita punya tempat tinggal hanya ada satu di planet ini yaitu planet bumi. Tetapi justru manusia sendirilah yang menghancurkannya. Jadi manusialah yang menghancurkan tempatnya sendiri. Penebangan pohon-pohon, pembalakan hutan, pembakaran hutan/ lahan, semua akan berakibat pada manusia itu sendiri. Saya masih ingat dipelajaran waktu Sekolah dasar, kata guru saat itu, "penebangan pohon akan menyebabkan banjir". Begitu kata seorang guru penulis. Belum lagi ditambah dengan pemanasan global, polusi kendaraan, limbah pabrik dan lain-lain... Kompleks, bukan?

Lantas apa yang bisa kita lakukan? Saya pribadi, saya harus menghormati alam, bagaimana caranya? Ini saya lho ya, kalau saya ya berkebun, menanam tanaman hijau dan berbunga. Kok tidak tanam pohon? Kami tidak punya halaman, tinggal di flat hanya punya corridor, disinilah saya "berkebun".  Lah kalau punya halaman rumah saya dah tanam macam-macam pohon. Ada yang bilang sama penulis, "oh hobi tanaman sih ya, hobi bunga..." Untuk saya, ini bukanlah sebuah hobi tetapi inilah cara penulis menghargai alam. Makanya apa yang saya tanam/ tumbuhkan bisa apa saja. Maksudnya saya tidak pilih-pilih, misal sukanya cuma bunga Anggrek jadi saya tanam bunga Anggrek saja. TIDAK! Saya tidak seperti itu. Jadi apa yang saya tanam ya bisa tanaman hijau apa saja,misal Fern, mint, cabe, pandan, bunga krokot, kembang sepatu, dll... Itulah saya.

Kami berharap kabut asap ini cepat berlalu, dan tidak terulang kembali. Tidak terulang kembali, mungkin kah? Jadi "brace yourself"! Mengurangi kegiatan diluar rumah/ ruangan, banyak minum air putih, memakai masker N95 kalau keluar rumah/ ruangan, tidak lupa banyak makan buah dan sayuran. Tentu saja, tutup rapat pintu dan jendela. Itulah seperti yang sudah penulis katakan diatas seperti berperang melawan zombie, kalau ada film World War Z, ini adalah perang kita dengan kabut asap "World War H"!

Note:

  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Do not copy this article without permissions
  • Do not reuse this photograph anywhere else without permissions

No comments:

Post a Comment

After 2 Years of Stepping Down, Where is Ichikraft Now?

About two years ago, I made the decision that the Ichikraft Etsy shop closed temporarily. However, even until this day, I am still with the ...