Budaya Melayat di Singapura

Melayat atau kalau orang didesa bilang layatan orang meninggal, di Singapura sini ada budayanya. Oh tidak sama ya dengan di Indonesia? Iya tidak sama, itu kenapa tidak boleh mengeneralisasikan kalau Singapura ini punya budaya hampir-hampir sama dengan Indonesia hanya karena letak geografisnya yang berdekatan. Nah, kalau sudah tinggal di Singapura kita akan tahu budaya di Singapura ini berbeda. Salah satu contohnya ya ini budaya melayat orang meninggal. Bagaimana budayanya baca artikel ini sampai selesai ya...

Selama 7 tahun lebih dan hampir 8 tahun di Singpura, baru sekali ini saya punya pengalaman melayat. Ya, hari selasa 27 Agustus 2019 kemarin saya dikabari oleh salah seorang tetangga kami, katanya salah satu tetangga ada yang meninggal dunia. Ya, kami tidak menyangka tetangga kami ini sebut saja, uncle, meninggal dunia. Padahal sepertinya baru kemarin kami bertemu di lift, berpapasan dijalan, bahkan ketemu di hawker (warung makan). Itulah manusia kita tidak tahu kapan akan dijemput ajal.

Di Singapura, kebanyakan orang tinggal di flat atau apartement, jadi ketika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal biasanya mereka menggelar acara layatan di void deck (ruang kosong/ tempat kosong dilantai satu apartment. Karena kalau digelar di flat tentu tidak akan muat menampung tamu yang datang melayat ya. Selain itu tidak enak dengan tetangga kanan-kiri karena berisik tamu-tamu yang datang atau acara berdoa. Biasanya mereka menggelar tenda putih dan kuning, disediakan meja-meja bundar dan kursi-kursi berwarna putih. Dimana orang yang meninggal juga ada di void deck tersebut diletaknya ditempat khusus. Dan inilah yang disebut dengan The wake (tempat untuk melayat). Dan biasanya untuk keperluan ini sudah diurus oleh jasa-jasa yang mengurus kematian. Ya, umum di Singapura dimana orang-orang mempunyai asuransi meninggal dunia yang akan dipakai untuk mengurus kematiannya kelak. Jadi tidak membebani keluarga yang ditinggalkan/ anak-cucu.

Hari selasa malam setelah suami pulang kerja kami datang bersama. Saya sempat bingung ya, mau pakai baju hitam atau berwarna hitam. Umumnya kita pakai baju hitam ya untuk melayat orang meninggal dunia. Tapi di Singapura sini banyak yang pakai baju putih terutama layatan orang Chinese. Akhirnya saya putuskan memakai baju warna gelap keabu-abuan dan bukan hitam. Ya, kalau hendak menghadiri layatan di Singapura kita bisa memakai baju warna putih (budaya Chinese) dan warna-warna gelap misal keabu-abuan, biru gelap, jadi tidak harus hitam.

Sampai ditempat layatan, The wake, apa yang kami lakukan? Kami menghampiri para tetangga-tetangga kami yang sudah datang lebih dahulu kemudian saya salami satu-satu. Setelah itu kami mencari kotak sumbangan/ donation. Disitu kami diminta untuk menuliskan nama, nama keluarga biasanya ya, kemudian menuliskan jumlah uang sumbangan yang akan diberikan. Nah, berapa sih jumlah uang sumbangan? Jumlahnya kalau tidak salah minimal $30 Kita bisa memberi sumbangan $50 , $100 , kalau kita kenal baik banget dengan orang yang meninggal ini kita bisa memberi $200 bahkan $300 Penting untuk dicatat jangan memberi sumbangan dengan jumlah $40 karena ini seperti bad luck untuk keluarga yang ditinggalkan. Dan satu hal yang perlu diingat, uang sumbangan ini kita masukkan dalam amplop berwarna putih.

Setelah memasukkan uang sumbangan saya menemui istri dari ucle yang meninggal dan mengucapkan bela sungkawa. Tadinya saya ingin langsung melihat uncle di peti jenazahnya. Tapi nampaknya harus kami tunda karena diajak mengambil makanan yaitu dinner oleh salah satu tetangga kami yang lain. Huh, kita ambil dinner/ makan malam saat melayat? Iya, budaya di Singapura seperti itu. Bila kita melayat malam hari maka kita ini wajib makan malam/ dinner disitu. Jadi keluarga yang berkabung juga menyediakan makanan bagi para tamu yang datang melayat. Kalau kita datang siang ya makan siang disitu. Apa saja makanan yang disediakan? Ada bihun goreng, nasi bagi yang ingin makan nasi, curry ayam, oseng sayur bok choy, ada 2 atau tiga makanan lagi yang tersedia dan tidak lupa ada dessert / makanan penutup. Minuman yang disediakan juga beragam, ada minuman kotak rasa buah, teh/ jasmine tea, air mineral dan lainnya. Sementara dimasing-masing meja bundar ada snack-nya berupa kacang-kacangan, biji-bijian, dan permen. Lha ini acara berkabung/ layatan orang meninggal atau hajatan pernikahan ya kok makanan banyak disediakan untuk tamu yang melayat? Itulah budaya melayat di Singapura. Jadi, waktu itu setelah mengambil bihun goreng dan oseng bok choy, saya dan suami duduk dimeja bundar sambil bercerita dengan tetangga. Sambil sesekali ada yang makan kacang-kacangan, biji-bijian, dan permen yang ada dimeja.

Setelah selesai makan saya dan suami masih duduk disitu sampai satu jam. Ya, jadi ada baiknya kita kalau melayat itu jangan datang terus langsung pulang, tapi tetaplah duduk paling tidak sampai satu jam. Itulah bagaimana cara kita menghormati orang yang meninggal tersebut biasa disebut pay respect. Kalau berada di tempat the wake lebih satu jam bagaimana? Ya tidak apa-apa, keluarga yang berkabung malah lebih senang, mau sampai seharian juga tidak masalah. Dihari berikutnya kita bisa datang lagi ketempat the wake sampai acara pelepasan/ send off. Lamanya acara seperti ini bisa sampai 3 hari bahkan 6 hari lhoo... Jadi kita bisa datang setiap hari ditempat the wake ini setiap hari dan jam berapa saja boleh. Dan acara layatan tetangga kami ini berakhir dihari Jum'at siang 30 Agustus 2019. Di malam terakhir, kamis malam, suami datang ketempat the wake. Dan selama acara layatan/ berkabung ini digelar, ada acara mendoakan untuk orang yang sudah meninggal ini. Jadi setiap malam dari selasa malam sampai kamis malam, sekitar jam 9 malam kalau tidak salah, ada orang-orang dari gereja datang satu bis besar, mereka mendoakan almarhum. 

Dihari pelepasan/ send off, Jum'at siang, beberapa tetangga yang ikut acara pelepasan. Saya sendiri tidak ikut karena sedang sakit. Bagaimana acara pelepasan ini? Karena tetangga kami yang meninggal ini orang Chinese Katolik, maka dibawa ke gereja terlebih dahulu. Setelah itu diantarkan ketempat kremasi. Biasanya saat pelepasan ini/ send off diputarkan lagu kesukaan orang yang meninggal. Lho, Katolik kok dikremasi, bukannya itu untuk orang Buddhist ya? Kalau saya boleh katakan, keputusan ini ya terserah bagaimana keluarga atau keputusan orang yang meninggal itu sendiri, meminta untuk dikremasi atau dikuburkan. Selain itu perlu untuk kawan ketahui bahwa tanah di Singapura harganya mahal sekali ya. Jadi kalau dikuburkan tentu akan butuh biaya banyak, bagi yang punya keluarga di Malaysia atau memang tinggal di Malaysia setelah pensiun, ya bisa dikuburkan karena tanah di Malaysia jauh lebih murah dari pada di Singapura. Setelah dikremasi bagaimana? Ini tergantung lagi dari keputusan keluarga dari yang meninggal dunia atau bagaimana permintaan orang yang meninggal dunia. Ada yang ditabur dilaut abunya, ada yang disimpan di temple, dan bisa juga abunya disimpan dirumah. Ya, tergantung bagaimana keputusan keluarga yang meninggal/ permintaan dari orang yang meninggal. 

Begitulah budaya melayat di Singapura. Beda ya? Ya, meskipun secara letak geografis Singapura-Indonesia berdekatan tapi bukan berarti budaya dua negara ini sama/ hampir sama. Kalau sudah tinggal di Singapura kawan sekalian akan tahu bagaimana perbedaannya, kalau saya bilang budaya Singapura berbeda dengan Indonesia. Dan sudah seharusnya sebagai pendatang kita mesti bisa beradaptasi dengan perbedaan budaya ini, sekaligus belajar bagaimana budaya ditempat baru. Dengan begitu kita bisa berbaur dengan warga/ masyarakat lokal yang pastinya akan menambah pengetahuan dan pelajaran baru bagi kita sebagai pendatang.

Note:
  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Do not copy this article without permissions

No comments:

Post a Comment

After 2 Years of Stepping Down, Where is Ichikraft Now?

About two years ago, I made the decision that the Ichikraft Etsy shop closed temporarily. However, even until this day, I am still with the ...