Situs Ratu Boko, bagi kawan sekalian yang sudah menyambangi situs ini, pasti sudah tahu bila situs yang satu ini nampak puing-puingnya saja...hanya dibeberapa bagian yang masih berdiri dan masih dikenali fungsi bangunannya. Sisanya?? Sisa puing-puing yang ada tidak dapat diketahui dengan pasti bentuk maupun fungsinya. Ya, situs ini telah hancur, hanya tersisa puing-puing yang bisa kita reka-reka dan nikmati, betapa megahnya kompleks bangunan ini diwaktu lampau.
Tahun lalu (2013) saya sebenarnya sudah pernah menuliskan Situs Ratu Boko........Namun rasanya selalu ada yang kurang. Sebabnya kala mengunjungi situs ini, kami tidak bisa menjelajahinya secara lengkap disetiap bagian. Hal yang tak terduga terjadi, baru saja masuk kompleks, awan hitam segera terbentuk, baru menikmati panorama keindahan alam melalui gardu pandang (view point), sudah mulai gerimis, dan akhirnya hujan deras! Akhirnya kamipun terpaksa harus “turun gunung”, dan berjanji akan menyambanginya kembali dilain waktu. Setahun kemudian kami datang kembali....Mengawali tahun 2014 (2 januari 2014), kami bertandang!
Berbeda dengan kunjungan kami sebelumnya hanya berdua (saya dan suami), kali ini kami bertiga (saya, suami , dan seorang adik kami yang sedang libur semester) mengunjungi situs Ratu Boko. Harga tiket kunjungan ke Ratu Boko, hanya ditambah Rp. 15.000; dari tiket masuk candi Prambanan. Dimana tiket kunjungan ke kompleks istana Mataram kuno ini bisa didapat langsung melalui loket penjualan tiket paketan (candi Prambanan dan Ratu Boko) yang ada didepan pintu masuk candi Prambanan, atau membeli tiketnya tersendiri, yang kita dapati setelah kita memasuki tuas pintu masuk kompleks candi Prambanan. Untuk menuju ke Situs bersejarah yang dibangun pada masa Dinasti Syailendra tersebut, ada minibus yang akan mengantar dan menjemput kita. Jadi, tak usah khawatir, urusan transportasi mudah.
Sama seperti tahun sebelumnya, setiap akan memasuki kompleks, dipintu masuk Situs Ratu Boko, saat kita menyerahkan tiket masuk, kita akan diberi masing-masing satu botol kecil minuman mineral. Mengapa?? Pastinya kita semua akan sangat merasa kehausan kala menjelajah kurang lebih 16 hektar kawasan reruntuhan istana ini. Nah, saran saya bawa minuman cadangan, satu botol saja kalau saya kurang. Bila tahun lalu kami tak perlu mengenakan sarung saat memasuki kawasan ini, tahun ini berbeda, setelah melewati pemeriksaan tiket masuk, kami diarahkan dan diharuskan mengenakan sarung khusus. Tenang saja...kalau tidak mahir memakainya, akan dipakaikan oleh seorang petugas. Tujuannya apa, mengapa harus memakai sarung khusus? Sarung itu berwarna dasar putih, dengan motif berwarna hitam, dan bertuliskan situs Ratu Boko dipinggir bagian bawah. Kata sopir yang mengantar kami (tahun 2013), maksudnya untuk menjaga kesopanan, karena tempat wisata candi adalah tempat suci, tempat ibadah bagi umatnya, itu mengapa semua wisata candi, pengunjungnya diharuskan mengenakan sarung khusus. Kan ada wisatawan/ pengunjung candi yang mengenakan pakaian pendek (rok pendek atau celana pendek), nah dengan memakai sarung menjadi lebih sopan, dan menghormati tempat tersebut.
Mengawali penjelajahan, kami bertiga menyusuri tangga-tangga menuju pintu gerbang yang terlihat jauh diatas bukit. Jalanan yang kami susuri tersebut, berupa bebatuan yang merupakan batuan sedimen. Disepanjang jalan terdapat tempat-tempat beristirahat (gazebo) yang dilengkapi dengan tempat duduk yang santai. Selain gazebo, kita akan menjumpai besi-besi yang dipasang sedemikian rupa sebagai tempat menanam tanaman merambat. Maka tak heran saya kegirangan kala melihat tanaman berbunga Red Passion Flowers, yang selama ini hanya melihat gambarnya saja. Sebelum naik lebih tinggi, sambil beristirahat, kami melihat-lihat rusa tutul yang tidak jauh dari toilet dan mushola. Bila ingin memberi makan rusa, ada yang menjual kangkung untuk pakan rusa. Perhatikan langkah kita ketika melewati rerumputan dekat kandang rusa dan sekitarnya, karena kami melihat anak ular disana. Siang itu kondisi panas menyengat. Dengan persiapan yang lebih matang, kami bisa menembus teriknya matahari dengan ditemani gemericiknya air yang mengalir. Saran saya, bawalah payung, topi, kacamata hitam, bila perlu jaket, ketika berniat mengunjungi Ratu Boko. Karena semua perlengkapan itu pasti dibutuhkan, baik dalam kondisi panas maupun hujan. Maka perjalananpun kami lanjutkan...
Sesampai dipintu gerbang, kepala kami harus mendongak, melihat lebih detail seperti apa gerangan gerbang kompleks yang terlihat megah. Kesan pertama yang ditangkap oleh mata, gerbang bergaya tradisional jawa itu begitu kokoh, terbuat dari batuan andesit. Sementara lantainya terlihat putih, karena terbuat dari batu berwarna putih, atau disebut limestone. Pintu gerbang kompleks Situs Ratu Boko ada dua, gerbang pertama memiliki tiga pintu masuk, dan gerbang kedua memiliki lima pintu masuk, dimana pintu masuk bagian tengah dimasing-masing gerbang lebih lebar dibandingkan pintu yang lain. Bila dicermati lebih dalam, gerbang pertama satu sisi pintu sudah tidak utuh, sementara digerbang kedua atap pintu tengah sudah tidak ada/ terbuka.
Melangkah kedalam, sebenarnya kami langsung menuju kearah papan petunjuk yang menunjukkan arah pendopo dan kaputren. Karena tahun lalu 2013 kami sudah pernah menjajaki sebelah kiri gerbang. Dan tahun ini (2014) kami fokus pada bagian yang belum kami jelajahi, mengingat luasnya situs ini. Kesamping kiri gerbang ada sebuah candi yang berbentuk bujur sangkar, namanya candi Pembakaran. Ditengah-tengahnya terdapat lubang besar dan dalam. Sesuai dengan namanya, candi ini difungsikan sebagai tempat kremasi, pembakaran jenazah. Dilubang itulah pembakaran jenazah dilakukan. Candi ini tidaklah seperti apa yang kita lihat saat ini. Berdasarkan referensi yang saya baca, dahulunya candi pembakaran memiliki atap, itu artinya memiliki pilar-pilar. Dikarenakan atap dan pilarnya itu terbuat dari bahan organik (kemungkinan besar kayu), lambat laun dimakan usia dan sekarang sudah tak ada sisanya lagi. Tahun 2013 lalu, saat kami melongok kebelakang candi Pembakaran, ada sebuah kolam besar disana. Tepat dimana saya berdiri kala itu, terdapat anak tangga menuju dasar kolam. Diantara candi Pembakaran dan kolam besar itu, terdapat tiga buah kolam kecil. Nah, apakah kolam kecil itu salah satunya/ ketiganya adalah sumur yang disebut-sebut Amerta Mantana?? Yang hingga saat ini masih digunakan oleh umat Hindu dalam sebuah upacara sehari sebelum hari Nyepi.
Dari pintu gerbang kedua, kami bertiga menuju kearah dimana papan petunjuk pendopo dan kaputren menancap diatas tanah lapang nan hijau. Ya, ditanah lapang nan hijau itu, ada beberapa kambing yang sedang digembalakan. Tak jauh dari papan petunjuk itu terdapat sisa sebuah bangunan yang hanya nampak persegi dengan jajaran batuan yang masih tersisa. Dari sana mengarah kearah kanan, maka kita akan menemukan sisa-sisa bangunan paseban, yang difungsikan sebagai tempat menunggu bagi tamu yang akan menghadap sang raja. Bila diperhatikan, ada dua sisa bangunan paseban, yang diperkirakan saling berhadapan. Dari sini kami menuruni tangga melalui sebuah gerbang kecil/ gapura kecil.
Setelah menuruni tangga pintu gapura tadi, mata kita akan disajikan pemandangan yang barangkali tak begitu menarik menurut kami. Begitu banyak puing-puing sisa bangunan yang tersebar dan mengelompok. Tetapi anehnya, justru hanya terlihat puing-puingnya saja, membuat kami menasaran, “dulunya tempat apa ini, dulunya seperti apa bangunan ini.....dst....”. Melihat salah satu sisa puing bangunan yang ada, salah satunya batu yang berlubang, yang mirip dengan tempat menumpuk, membuat kami mereka-reka, bahwa dulunya tempat ini kemungkinan dapur. Ya..ini hanya imajinasi kami saja. Bila membaca referensi yang ada, banyaknya puing-puing itu belumlah diketahui secara pasti bagaimana bentuknya, pun fungsinya apa, semuanya tidaklah jelas. Oleh karenanya hingga sekarang belum direkonstruksi. Maka tidak salah, bila ada yang mengatakan, banyak misteri yang belum tersingkap dalam situs ini.
Tak jauh dari hamparan puing-puing sisa bangunan yang mengelompok, disebelah kiri jalan terdapat warung kecil yang menjajakan makanan dan minuman. Nah, bila lelah mendera, ditambah lagi merasa haus karena minuman yang dibawa habis, bisa mampir sejenak diwarung ini sambil mengembalikan energi untuk melanjutkan penjelajahan. Kalau tidak salah dengar, pemilik warung tersebut ya warga disitu juga, yang keberadaannya tidak mau digusur demi mensterilkan kompleks bersejarah ini. Bila dicermati, disitu ada beberapa bangunan rumah yang sangat sederhana, mungkin hanya sekitar lima rumah. Berhubung persediaan minuman kami masih cukup, kami bertiga melanjutkan perjalanan untuk menuju bangunan pendopo.
Sebelum memasuki kawasan pendopo, kami melewati sisa bangunan yang berupa anak tangga menuju kebawah (mungkin kolam dahulunya) yang bentuknya segi empat. Selanjutnya naik sedikit, terlihatlah sisa bangunan bak benteng pertempuran, itulah pendopo! Bila membaca keterangan yang ada, tentu bangunan ini tak seperti yang kita lihat sekarang. Diperkirakan dahulunya memiliki pilar-pilar serta mempunyai dinding. Karena pilar dan dinding bangunan terbuat dari bahan oraganik (kayu) maka telah hilang dimakan usia. Tinggallah kini yang tersisa badan pendopo saja. Dari papan keterangan yang ada, kaki dan atap pagar keliling tersebut terbuat dari batuan andesit, sementara badannya terbuat dari limestone (batuan putih). Dari pendopo ini, kami menemukan candi yang berjajar tiga dimana salah satunya sudah tidak utuh lagi. Namun begitu tempat ini masih digunakan sebagai tempat pemujaan, itu terbukti dari adanya bebungaan yang diletakkan didepan candi kecil tersebut.
Tak jauh dari pendopo, terdapat kompleks kolam. Untuk menuju kolam, kami harus berjalan menyusuri pinggiran pendopo hingga menemukan jalan yang sekiranya bisa dipakai untuk turun kebawah menuju kompleks kolam, yaitu tepat dimana papan petunjuk kaputren diletakkan. Wah...ternyata banyak anak-anak yang memancing ikan ya dikompleks kolam tersebut. Kolam, dimana banyak anak-anak memancing itu bentuknya persegi panjang dan besar, dengan air yang kehijauan. Dan sepertinya itulah kolam bagian utara. Ya...pada papan keterangan dituliskan bahwa kolam bagian utara merupakan kolam persegi panjang, yang berjumlah 7 buah (5 berukuran besar, 2 berukuran kecil). Disana ada papan peringatan, kita sebagai pengunjung tidak boleh mencuci-cuci tangan atau kaki dikolam. Tapi...sepertinya papan peringatan itu diindahkan oleh beberapa pengunjung, karena ada pengunjung yang sengaja duduk santai “berhape ria” sambil merendam kakinya didalam kolam tersebut...(prihatinnya saya melihat hal itu)...Sedangkan kolam bagian selatan jumlahnya 28 buah, yang terdiri dari 14 buah kolam ukuran besar bentuk bundar, 13 buah kolamnya berukuran kecil dengan bentuk bundar, dan satu kolam berukuran kecil berbentuk persegi. Antara kolam utara dan selatan dipisahkan oleh dinding, dan dihubungkan dengan sebuah gapura.
Kami tahu, masih ada dua tempat lagi dalam kompleks istana ini yang belum kami lihat, yaitu kaputren dan gua. Namun sepertinya kaki kami sudah tak mau untuk diajak kompromi lagi, lelah....! Ditambah lagi kami bertiga masih harus mengitari kompleks candi Prambanan setelahnya..(berandai-andai, andaikata dua objek wisata ini tak disatukan dalam satu paket, karena melelahkan untuk kami karena dihari-hari sebelumnya kami sudah “puter-puter”). Meskipun begitu, kami sudah merasa puas dan lega bisa lebih jauh mengitarinya (Situs Ratu Boko), dibandingkan dengan tahun lalu (2013) yang bisa dikatakan hanya melihat gerbangnya saja.
Ya, penjelajahan kami di Situs Ratu Boko berhenti sampai dipinggir kolam bagian utara saja. Dari sini puing sisa-sisa bangunan kaputren sudah terlihat, dan beberapa orang pengunjung yang masih dalam kondisi fit, menuju kesana (Kaputren). Sementara kami bertiga mengitari kolam utara melihat sejenak aktifitas anak-anak yang sedang asik memancing dikolam, dan gembira mendapatkan lumayan banyak ikan yang dimasukkan dalam kantong plastik untuk segera dibawa pulang. Sementara untuk kawasan gua, saya hanya puas membaca referensi saja, tanpa melihatnya langsung. Dari referensi itu saya tahu, bahwa gua itu adalah sebuah cermin, saksi sejarah, dimana agama yang berbeda dijaman itu bisa hidup berdampingan (toleransi antara umat beragama). Dimana satu gua (Gua Lanang), memiliki unsur-unsur Budha (stupa), dan gua satunya lagi (Gua Wadon) memiliki unsur-unsur Hindu.
Dari semua kelelahan yang mendera kami, ada harga yang pantas kami dapatkan untuk menebus semua kelelahan itu. Apakah itu??...Melihat betapa hebatnya budaya Indonesia diwaktu lampau. Dijamannya mampu menghasilakan sebuah maha karya besar. Perpaduan seni, budaya, serta religi, menyatu dalam sebuah bentuk arsitektur sebuah bangunan tempat tinggal, yaitu sebuah istana, yang bisa kita lihat dan nikmati sisa-sisa kemegahannya saat ini.
Catatan :
- Semua gambar/ photo dalam tulisan/ artikel ini adalah dokumentasi pribadi/ milik pribadi, Acik Mdy / Acik Mardhiyanti
- Dilarang meng-copy paste tulisan/ artikel saya, juga mengambil gambar/ photo saya, tanpa menyertakan sumbernya, atau link sumbernya, yaitu blog juga nama penulisnya, Acik Mdy / Acik Mardhiyanti
No comments:
Post a Comment