Mudahnya Membuat Hand Sanitizer Sendiri Dirumah


Ichikraft's hand sanitizer (hasil buatan sendiri) - Photographed by Acik Mardhiyanti

Emangnya bisa ya membuat hand sanitizer sendiri dirumah? Tentu saja bisa! Caranya pun ternyata gampang kok. Bagaimana caranya membuat sanitizer atau cuci tangan tanpa sabun ini, dan bahannya yang digunakan apa saja? Untuk kawan sekalian yang ingin membuat hand sanitizer sendiri bisa simak paragraf selanjutnya. Karena membuat sendiri tentu saja kita jadi tahu bahan yang digunakan, jadi kita merasa aman menggunakannya.

Sudah pada tahu ya, bahwa adanya kasus Covid-19 di Singapura membuat orang jadi lebih sering membeli hand sanitizer ini. Padahal sih sebenarnya cuci tangan dengan sabun selama 20 detik sudah cukup, artinya ya pakai sabun cuci tangan dulu, tapi bila tidak ada air baru memakai hand sanitizer. Tetapi yang terjadi nampaknya hand sanitizer lebih banyak permintaan dipasar ketimbang sabun cuci tangan. Orang lebih suka membeli sabun cuci tangan tanpa air ini. Jadilah sabun cuci tangan masih tersedia dipasaran, sementara hand sanitizer lebih sering kosongnya, baik ditoko-toko farmasi/ toko obat maupun di supermarket-supermarket diawal tahun 2020.

Baru hari sabtu minggu kemarin ini saya memutuskan untuk membuat hand sanitizer sendiri. Kenapa saya memutuskan untuk membuatnya sendiri? Alasan pertama, suami penulis membutuhkannya karena ia travel dari rumah ke kantornya/ tempat kerja (sebelum kerja dari rumah jadi standart). Selama diperjalanan tentu membutuhkan hand sanitizer, dipakai sebelum naik transportasi umum (baik bus dan kereta), dan memakainya lagi setelah turun dari MRT. Sementara selama dikantor ya cukup menggunakan sabun cuci tangan. Alasan ke-2, saya membuatnya karena saya lebih suka membuatnya sendiri karena saya tahu bahan apa yang digunakan untuk membuat hand sanitizer ini, jadi saya merasa lebih aman. Selain itu, dipasaran barang ini yaitu hand sanitizer, saat ini lebih sering kosong baik ditoko farmasi/ toko obat serta supermarket-supermarket, karena begitu di stock bisa langsung dibeli orang dan langsung habis diawal tahun 2020 ini. Bahkan banyak orang rela mau mengantri hanya untuk mendapatkan hand sanitizer, padahal harganya bisa 2 kali lipat dari harga biasanya. Alasan lainnya, saya lebih suka berhemat, kalau bisa membuatnya sendiri dirumah kenapa saya harus membelinya... Maklum saya ini ibu rumahtangga yang punya banyak pertimbangan untuk membeli sesuatu. Ya itu tadi, kalau bisa membuat sendiri kenapa saya harus membelinya?

Kalau begitu, gampang atau sulit sih membuat hand sanitizer ini? Mungkin diluar sana ada banyak resep-resep untuk membuat hand sanitizer ini, karena tentu saja ada banyak orang yang barangkali menulisnya juga seperti saya. Dan dalam artikel ini adalah resep hand sanitizer dari saya, Ichikraft's hand sanitizer. Inilah resep hand sanitizer yang saya buat dirumah. 

Bahan:


Bahan Ichikraft's hand sanitizer, aloe vera gel, tea tree oil, witch hazel, lavender oil - Photographed by Acik Mardhiyanti
  • 50 ml -60 ml aloe vera gel
  • 1/4 - 1/2 sendok makan Witch hazel
  • 2 tetes Tea tree oil
  • 5 - 10 tetes lavender oil
Cara membuatnya:
  • Cara membuatnya gampang sekali, tinggal dicampurkan saja semua bahan. diaduk-aduk sampai rata. Kemudian masukkan kedalam botol kecil ukuran 50 ml. Dan siap pakai 😊
Semudah itu kan membuatnya? Jawabannya adalah IYA! Wow kan, mudah, simple, dan tidak ribet.  Nah bila kawan pembaca sekalian ingin menambahkan vitamin E oil, maka lebih bagus lagi. Berhubung kemarin saya tidak beli vitamin E oil, jadi hand sanitizer saya untuk saat ini tanpa vitamin E oil. Tapi nanti mungkin minggu depan kalau sudah membelinya, ya saya/ penulis pasti menambahkan vitamin E oil. 

Kenapa sih saya menggunakan bahan-bahan diatas untuk membuat hand sanitizer dirumah? Tentu saja sebagai seorang ibu rumahtangga saya punya alasan mengapa saya memilih bahan-bahan diatas untuk membuat DIY hand sanitizer. Dalam melakukan sesuatu atau ingin membuat sesuatu tentu saya ingin menggunakan bahan yang boleh dikatakan aman untuk keluarga saya. Saya tidak mau memakai bahan yang mungkin membahayakan keluarga saya. Oleh karenanya saya suka menggunakan bahan/ material diatas. Karena apa yang dimakan dan dipakai oleh keluarga saya, aman atau tidaknya, itu sudah menjadi tugas dan kewajiban saya/ penulis untuk menelitinya atau mencaritahunya dulu. 

Tea tree oil adalah bahan alami untuk antibakteri/ membunuh bakteri berbahaya, jamur, juga kuman-kuman. Witch hazel sendiri juga antibakteri dimana ada kandungan alkohol dalam witch hazel ini.  Secara alami tanaman Witch hazel mengandung 8% sampai 12% alkohol. Kemudian setelah penyaringan/ menyulingan alkohol Witch hazel ini sekitar 14% sampai 15 %. Singkat cerita, Witch Hazel adalah alkohol alami. Sementara aloe vera juga membunuh kuman-kuman atau germ-killing. Manfaat lainnya dari aloe vera tentu saja untuk melembabkan kulit. Lah saya tidak mau bila suami saya memakai hand sanitizer sering-sering kulitnya jadi kering. Maka dari itu saya suka dengan bahan aloe vera ini. Nanti kalau sudah membeli vitamin E oil, maka bahan ini akan saya tambahkan yaitu hanya 1 atau 2 tetes saja cukup. Kalau lavender oil bagaimana, apakah ada kandungan yang menguntungkan? Lavender oil juga merupakan antibakteri, membunuh jamur, juga membunuh virus-virus. Manfaat lainnya bila menggunakan Lavender oil dalam hand sanitizer yang kita buat tentu saja keharuman yang kita dapatkan. Itulah manfaat yang bisa didapat bila menggunakan bahan-bahan ini untuk membuat hand sanitizer. 



Hand sanitizer hasil buatan sendiri - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Dirumah saya/ penulis bahan-bahan pembuatan hand sanitizer ini sebenarnya sudah ada. Karena dirumah saya itu terbiasa menyediakan lavender oil, tea tree oil. Artinya barang ini sudah menjadi kebutuhan harian, misal lavender oil ini bisa dipakai bila merasa pusing-pusing, kadang suka saya bawa kalau pergi jauh atau travel keluar. Tea tree oil sendiri dirumah ada persediaan karena saya pakai misal untuk campuran dengan shampoo untuk menghilangkan ketombe. Bahkan dirumah kami pun punya persediaan alkohol yaitu isopropyl alcohol yang saya gunakan untuk melap toilet juga untuk lampu alkohol yang saya pakai untuk membakar/ membentuk bunga-bunga pita. Yup! isopropyl alcohol bisa menjadi bahan untuk pembuatan DIY hand sanitizer juga. Nah witch hazel ini baru saya beli waktu akan membuat sanitizer kemarin minggu. Sebelumnya saya/ penulis belum pernah membelinya sebagai persediaan untuk kebutuhan dirumah. Sementara aloe vera gel sebenarnya bukan barang baru dirumah, karena kadang-kadang membelinya untuk kebutuhan dirumah. Jadi sebenarnya saya sudah tidak asing dengan bahan-bahan pembuatan hand sanitizer diatas karena beberapa bahan ternyata saya sudah punya dirumah. Tapi saya memilih menggunakan witch hazel ketimbang isopropyl alcohol. 

Kalau ingin menggunakan 2 bahan saja juga bisa menghasilkan homemade hand sanitizer.

Bahan: alkohol paling tidak 70 % dan aloe vera gel

Takarannya: adalah alkohol separuh lebih banyak dari aloe vera gel-nya. Misal 150 ml alkohol, dan 70 ml aloe vera gel. Dua bahan dicampur, diaduk-aduk, dan TA DA...jadi siap untuk dipakai!🤩

Bagaimana, tertarik untuk membuat hand sanitizer sendiri dirumah? Buat saya dari pada beli-beli hand sanitizer ditoko, kalau bisa membuat sendiri dirumah ya saya lebih suka membuat sendiri. Memang sih awalnya membeli bahan-bahan diatas ada biayanya, apalagi tea tree oil dan lavender oil harganya lumayan mahal. Tapi dengan bahan-bahan itu saya bisa membuat hand sanitizer berkali-kali, karena kan tidak habis dalam sekali pembuatan. Atau beli patungan bareng tetangga supaya biaya lebih hemat.😉 Selamat mencoba! 😊

Note:
  • Written by Acik Mardhiyanti
  • Photographed by Acik Mardhiyanti 
  • Do not copy this article without permissions
  • Do not reuse these photographs anywhere else without permissions

10 Tahun Berkarier Sebagai Ibu Rumahtangga, Kegiatan Dan Karya Apa Yang Sudah Saya Hasilkan?

Pasti akan banyak orang atau malah kebanyakan orang memandang sebelah mata seorang ibu rumahtangga. Tak jarang banyak yang merendahkan, bukan? Dan hampir semua orang (terutama orang Indonesia ya) yang bertanya, "sejak kapan ibu rumahtangga itu adalah sebuah karier? Namanya berkarier ya mesti kerja diluar rumah (kantor, pabrik, dll...). Apalagi bagaimana bisa seorang ibu rumahtangga punya karya? Bukan sebuah karier kok tapi punya karya, bagaimana ceritanya?

Jauh hari sebelum memutuskan untuk menikah, saya dan suami (waktu itu masih status hanya sebatas pacar), sudah membicarakan banyak hal terutama masa depan nantinya kita itu pengennya bagaimana. Untuk kami berdua pernikahan adalah sebuah ikatan dimana kami berdua menyatukan cita-cita serta impian yang hendak kami raih dimasa depan. Suami saya waktu itu sudah sangat paham dan tahu bahwa saya punya cita-cita ingin sekolah keluar negeri dan ingin bersekolah setinggi-tingginya. Sementara suami tentu saja ingin sukses dalam berkarier. Langkah awal yang kami rencanakan waktu itu adalah pindah ke Jakarta setelah menikah. Dan memang iya, 6 bulan setelah menikah kami pindah ke Jakarta, waktu itu kami tinggal di Setiabudi-JakSel. Kurang lebih 2,5 tahun di Jakarta, kami pindah ke Singapura. Ada yang bilang pada penulis, "alah kebanyakan rencana-rencana tapi gak ada tujuan bla bla..." Oh, really? Justru saya dan suami merencanakan ini dan itu karena kami punya "goal" atau impian yang hendak kami capai dimasa depan. Puji syukur karena kami merencanakan detail langkah apa yang hendak kami lakukan, step by step, diumur 27 tahun saya (dan suami) pindah domisili ke Singapura dan puji syukur hidup kami berkualitas yaitu hidup dengan standart tinggi. Semisalnya kami saat itu masih tetap memilih tinggal di Jakarta, diumur 27 tahun itu kami sudah membeli apartement di Jakarta.

Kemudian mengapa saya ini memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumahtangga setelah menikah, padahal kan saya impiannya ingin sekolah setinggi-tingginya? Keputusan ini kami sepakati bersama dan sudah kami bicarakan sebelum menikah. Bahkan kami juga memutuskan untuk tidak memikirkan punya anak dulu, karena ada hal lain yang ingin kami raih, apa itu? Yaitu kami ingin menata masa depan sebaik mungkin, kalau bisa yang terbaik, dan saya ingin terbaik diantara yang terbaik. Dan masa depan terbaik ini tentu saja kami persiapkan untuk anak-cucu kami kelak. Dan saya yakin kebanyakan orang tidak akan paham apa itu namanya menata masa depan. Harap maklum kalau di Indonesia kebanyakan orang setelah menikah langsung punya anak seperti sudah sebuah kewajiban, sementara kami (saya dan suami) beda, kami tidak seperti kebanyakan orang Indonesia, dan saya sendiri sejak masih tinggal dikampung saya memang tidak seperti anak kampung kebanyakan. Kawan dan kenalan semasa menempuh Strata 1 pernah bilang, "saya iri dengan kehidupanmu, bisa melakukan apa saja, mau kursus/ sekolah bisa, tinggal diluar negeri." Padahal jika diingat kembali justru kenalan dan kawan saya itu punya kesempatan luas untuk menata masa depan lebih cemerlang karena ia orangtuanya mampu/ punya uang untuk membiayainya sekolah hingga Master. Tapi sayang kesempatan untuk menata masa depan cemerlang itu tidak digunakan oleh kawan dan kenalan ini, malah justru menganggap enteng kehidupan. Sementara, bapak saya cuma buruh pabrik, jadi bila hendak dipikir-pikir lagi, kenapa harus iri dengan saya ini yang cuma seorang ibu rumahtangga dan anak dari seorang buruh pabrik?

Lantas kenapa ada keputusan dimana saya memilih sebagai ibu rumahtangga setelah menikah? Hal ini tak lain dan bukan adalah untuk men-support penuh suami penulis. Kalau ada istilah bilang, "dibalik kesuksesan seorang pria, ada wanita hebat dibelakangnya." Saya ingat akan kata-kata almarhum simbah putri saya/ penulis, simbah saya bilang, "seorang laki-laki atau seorang suami bisa sukses atau tidak, itu tergantung siapa wanita yang mendampinginya, tipe wanita/ istri apa yang ada disebelahnya..", itu kata beliau. Semisal saya tetap memilih untuk berkarier diluar rumah alias bekerja diperusahaan misalnya, bisa kah kami sekarang ada di Singapura? Jawabannya adalah TIDAK. Karena namanya berumahtangga suami-istri harus bekerja sama untuk menggapai impian bersama. Nomer satu adalah men-support suami, itu artinya ada pengorbanan yang saya lakukan yaitu "mengubur" impian saya untuk sementara. Karena toh pada akhirnya setelah suami mendapatkan apa yang ia inginkan, kini gilaran saya untuk meraih impian dan cita-cita saya.

Banyak orang bilang, "tapi kan sekolah sampai sarjana, rugi kalau tidak bekerja.." Ada juga orang berkata, "harusnya wanita juga kerja supaya punya duit sendiri paling tidak buat beli bakso.." Ada lagi yang berkata, "jadi seorang istri harusnya bekerja (diluar rumah misal perusahaan) juga biar paling tidak bisa beli bedak sendiri..." Dan masih banyak kata-kata lainnya... Perlu untuk diketahui bahwa saya itu sudah bekerja sejak umur 11 tahun dan membiayai kebutuhan sekolah sendiri sejak itu sampai Sekolah Menengah Atas atau SMA. Bisa dibaca kisahnya disini https://ichi-journey.blogspot.com/2019/06/berasal-dari-desa-gaji-bapak-saya-rp.html Dan sebenarnya saat menempuh study S1 Ekonomi/ Management, saya sudah sempat bekerja selama 6 bulan dibidang marketing dimana saat itu saya senang karena bisa kenal banyak orang diluar kampus dan belajar banyak hal. Tetapi pekerjaan itu terpaksa saya tinggalkan karena saya harus fokus dengan kuliah yang saya target 3,5 tahun harus sudah selesai. Dan benar, saya/ penulis menyelesaikan Strata 1 atau S1 dalam waktu hanya 3,5 tahun dengan biaya bulanan minim dan tidak punya komputer. Skripsi saya selesai dalam waktu hanya 2 bulan saja. Dan sekarang meskipun saya sudah menikah, tapi masih mengurusi adik saya satu-satunya, segala macam biaya saya tanggung hingga detik ini. Bahkan sebelumnya saya memberi uang bulanan untuk saudara/ anggota keluarga lainnya. Untuk orang yang punya pikiran picik , sempit, dan negatif pasti akan bilang, "alahh uang hanya dengan mengandalkan suami aja..." Lagi, lagi..inilah kata-kata almarhum simbah putri saya, "cari pasangan hidup (baik istri maupun suami), harus orang pekerja keras, apalagi bila kita seorang wanita ya harus cari pasangan hidup (yaitu calon suami) yang punya pekerjaan tetap, bisa diandalkan.." Simbah putri saya yang satunya, beliau suka dengan tipe orang pekerja keras, yang mau berusaha keras dalam hidup. Simbah putri saya ini tidak suka jika melihat seorang laki-laki (suami) tidak punya kerja tetap. Itulah simbah putri penulis, dua-duanya memiliki pesan yang sama bila mencari pasangan hidup ya harus bisa diandalkan, apalagi mencari calon suami. Lah semisal suami saya dulu tidak bagus dalam dunia akademik (minimal setara dengan saya tingkat pendidikannya), tidak punya pekerjaan tetap, bukan tipe pekerja keras, tidak punya impian dalam hidupnya, tentu saja saya tidak mau menikah dengannya. Lagipula bila sudah menikah suami-istri harus bisa bekerja sama, sama-sama membangun pondasi "rumah" dengan kuat. Kami misalnya, suami saya bekerja diluar rumah, saya bekerja didalam rumah. Kami berdua sama-sama saling mengandalkan satu dengan lainnya. Seperti suami penulis tentu saja apa-apa urusan rumah mengandalkan saya. Penting untuk diketahui bahwa kami tidak punya si mbak alias pembantu dirumah, jadi semuanya saya kerjakan sendiri. Ditambah lagi tinggal diluar negeri, jelas apa-apa ya harus mandiri dikerjakan sendiri.

Saya punya teman orang Jepang, hingga kini umurnya sudah 42 tahun tapi tidak pernah sekalipun membicarakan kapan ia akan menikah. Punya boyfriend-pun ia sama sekali tidak menyinggung kapan segera menikah. Untuknya menikah punya komitmen tinggi dimana setelah menikah ia punya tanggungjawab besar, apa itu? Yaitu menjadi ibu rumahtangga. Bagi orang Jepang menjadi seorang ibu rumahtangga adalah pekerjaan sangat berat, makanya seperti kawan saya ini ia masih mikir-mikir panjang dulu dengan komitmen pernikahan. Karena apa? Karena disana tidak ada budaya punya pembantu apalagi babysitter. Dinegara-negara Eropa juga USA, disana juga tidak ada namanya budaya punya pembantu maupun babysitter. Dan yang membuat saya salut, wanita-wanita yang berkarier sebagai ibu rumahtangga baik di Jepang, negara-negara Eropa, juga USA, mereka menghasilkan karya. Sambil mengurus rumah, mengurus anak (bagi yang sudah memiliki anak), mereka juga menghasilkan karya. Itulah ibu rumahtangga jaman modern. Ibu rumahtangga jaman modern seperti sekarang aktif melakukan banyak hal misal menulis buku, blogging, membuat karya (handicraft), berkarya dibidang digital dll... Dan semua karya yang mereka hasilkan itu dikerjakan dirumah. Kalau ada yang bilang, "tidak bosen kah dirumah terus setiap hari?." Maka inilah jawaban saya, rumah adalah tempat ternyaman, tidak ada tempat senyaman dan sebaik dirumah. Bila dibandingkan dengan kata "bosen" saya lebih condong kata "capek" bahkan capeknya itu capek sekali karena banyak kerjaan dan macam hal yang harus diselesaikan setiap harinya.

Lantas apa sih yang saya lakukan/ kerjakan setelah menikah dan memutuskan menjadi ibu rumahtangga? Nomer satu adalah mengurus keluarga. Sambil mengurus keluarga saya sambil berkarya, berkarya sekecil apapun itu. Bahkan saya sudah mulai belajar bunga pita sejak sebelum menikah. Setelah menikah saya masih belajar bunga pita ini sampai suatu ketika saya memutuskan untuk menulis. Kenapa saya memutuskan untuk menulis? Karena saya punya pengetahuan dan pengalaman yang mungkin bisa saya bagi pada orang lain. Waktu itu pernah saya menguji kemampuan saya alias coba-coba mengirim artikel pengalaman hidup kami kesebuah majalah wanita ternama di Indonesia. Hasilnya 2 bulan kemudian tulisan saya dimuat dan tentu saja dibaca oleh para pembaca dari penjuru nusantara. Dan saya tetap berusaha untuk menulis sampai detik ini. Artinya saya sudah menulis selama 10 tahunan.

Yup, benar sekali segala macam tetek bengek urusan rumah menjadi tanggungjawab saya. Dari pagi sampai jam 2 siang biasa sibuk mengurusi rumah, membersihkan rumah, kepasar, masak, ngurusin laundry, dll... Yup, benar sekali, makan ya masak sendiri dirumah, tidak beli makan diluar. Jadi masak tiap hari itu wajib, kecuali saya dalam kondisi sakit atau ingin istirahat ya terpaksa beli makanan diluar. Karena tiap hari masak, maka saya jadi suka menulis atau membagikan resep masakan juga, bisa dibaca link-nya disini http://ichi-recipes.blogspot.com/ Setelah itu baru mulai menulis jam 3 sore sampai selesai. Dalam seminggu ada 2 artikel yang bisa saya publish. Itu dulu sebelum memulai kegiatan ikut sekolah dan memulai bisnis. Tahun 2016 saya memutuskan untuk mulai menambah ilmu pengetahuan yaitu dengan ikut sekolah jarak jauh yang diselenggarakan oleh Universitas ternama dunia seperti, Harvard University, University of California, Berkeley, dan Curtin University. Dari tahun 2016-2018 saya berhasil mengumpulkan 9 sertifikat dari beberapa program yang ditawarkan Universitas tersebut. Selain ikut program di universitas-universitas tersebut, saya juga ikut kelas di Bibliotheca Alexandrina belajar peradaban Mesir kuno, dan juga join kelas di Community Club tempat kami yaitu bahasa Jepang. Saya lulus dengan nilai 98% (mengerjakan exam tanpa nyontek) di Bibliotheca Alexandrina dan berhak mendapat sertifikat, namun sayang saya telat untuk mendaftar sertifikat. Jadi, jadwal saya setelah tengah hari, jam 2 atau 3 sore, saya mulai mengurus bisnis sampai tidak pasti jam selesainya (bisa selesai jam 6, jam 7 atau jam 9 malam). Yup, tahun 2017 saya memutuskan untuk membuat cat collars dan hiasan bunga pita, dimana penjualannya yaitu keluar negeri USA dan Eropa. Nah, ketika saya/ penulis join program study dari universitas-universitas diatas, saya mengambil jadwal bisnis saya ini, artinya untuk sementara waktu vakum dalam mengurus bisnis dan mengutamakan sekolah dulu. Biasanya kalau sudah urusan sekolah saya ini bisa tengah malam masih mengurus paper. Nah, tahun 2019 lalu saya vakum tidak ikut kelas-kelas dulu tapi mengurus usaha saya dulu sambil mengurus macam-macam hal ditahun 2019 lalu. Dan tahun 2020 ini gantian usaha/ bisnis saya vakum untuk dalam jangka waktu yang saya tidak tahu. Karena tahun 2020 ini saya fokus untuk mempersiapkan study saya. Yup, bulan Januari sampai Juli 2020 saya mengikuti sebuah kursus agar saya ini bisa lulus exam, dimana hasil exam ini digunakan sebagai syarat pendaftaran Master Business and Economics yang akan saya ambil. Setelah urusan exam selesai masih banyak hal lain yang harus saya kerjakan sampai akhir tahun 2020 dan pastinya sampai tahun 2021. Tidak hanya selesai sampai disitu, saya pun sudah memikirkan hendak melakukan riset apa untuk Ph.D saya nanti... Itulah saya yang pekerjaannya adalah seorang ibu rumahtangga.

Boleh percaya, boleh tidak, 2 tahun pertama menulis, saya/ penulis itu menulis artikel dengan smartphone.  Yup, tiap hari pegang hape bukan haha hihi media sosial-an tapi menulis guys...! Kemudian saat mengikuti kelas/ study ini sejak tahun 2016 lalu, saya juga lebih banyak menggunakan smartphone. Hanya ketika ujian proctor, mengerjakan paper, serta kegiatan yang tidak bisa menggunakan smartphone, maka saya/ penulis baru menggunakan notebook atau laptop. Yup, benar sekali membaca modul-modul serta diskusi, dan juga mengerjakan ujian kecil, saya itu menggunakan smartphone. Maka kalau ada yang complain pada saya/ penulis, "kok dikirimi pesan tidak dibales sih", "kok mbales pesen dua hari kemudian atau bahkan tidak dibales-bales sih..", atau ada yang bilang, "ditelpon kok tidak diangkat sih, tidur atau gimana sih..". Well... sorry guys I am not a free woman, I am a busy woman. Buat saya tidur siang apalagi rujakan dengan tetangga siang hari itu cuma ngimpi saja. Karena waktu saya kalau boleh dibilang padat, seperti sudah ada jadwalnya. Mungkin ada yang bilang, "alah cuma ibu rumahtangga aja kan gak ada kerjaan dan gak punya kerja..." Ya, maaf, saya bukan seorang ibu rumahtangga seperti yang anda bayangkan. Bahkan saya pun masih gardening alias berkebun dirumah, padahal tidak punya halaman lhoo... Buat apa saya berkebun dirumah? Simple saja, saya tanam cabe ya lumayan kalau berbuah bisa digunakan untuk masak, tanam daun sirih bisa saya gunakan juga, tanam kaffir lime daunnya bisa untuk masak, tanam bunga dari biji saya bisa mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang bisa saya bagi ilmunya dalam artikel berkebun saya, bisa dibaca link-nya disini http://ichi-garden.blogspot.com/  Bahkan pengalaman saya merawat bunga Melati atau Jasmine flower beserta cerita didalamnya sudah pernah dibagikan dalam sebuah exhibition atau pameran tanaman dan bunga disebuah botanic garden di Jepang, dimana salah satu kawan saya yaitu orang Jepang bekerja disana. Cool, huh? 👍 Dan saya pun suka berbagi pengalaman dan bertukar informasi seputar tanaman dan bunga dengan kawan ini. Dan sejak tahun 2013, saya sudah mulai melakukan kegiatan untuk membantu sesama, bisa dibaca disini http://ichikraft-give-care.blogspot.com/ Tentu saja kegiatan saya membantu sesama ini dibantu oleh kawan di Indonesia. Itulah kegiatan/ pekerjaan saya sehari-hari beserta hasilnya.

Lantas kenapa sih ibu rumahtangga seperti saya ini kok masih ikut kelas alias sekolah pendek segala bahkan masih mau lanjut Master dan Doctoral? Ini semua saya lakukan agar saya ini bisa menambah pengetahuan/ ilmu pengetahuan. Lah kalau tidak sekolah bagaimana saya tahu strategi marketing McDonals adalah glocalisation, Burbary menggunakan strategi marketing storytelling, Coca cola menggunakan strategi marketing personalize product etc... Semua pengetahuan itu saya dapatkan dibangku universitas yaitu ketika saya ambil program Micro Master di Curtin University. Bila ada yang bilang, "kan jaman sekarang kita gampang bisa belajar apa saja lewat internet, menuntut ilmu tidak harus dibangku university..gelar tidak penting bla bla..." Untuk saya ya (mungkin orang lain beda dengan saya), saya berpikir secara logis dan realistis saja, jaman sekarang orang kalau tidak sekolah bisa tertinggal dibelakang. Kenapa? Dunia ini berputar cepat sekali, apalagi buat kami yang tinggal diluar negeri, akan terasa sekali bagaimana dunia ilmu pengetahuan berkembang pesat, juga dunia kerja. Baru luar negerinya sebelah Indonesia, Singapura. Nah kalau di Eropa misal Jerman, ijazah SMA (Sekolah Menengah Atas) kita di Indonesia hanya setara SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Jerman. Dalam dunia kerja contoh gampangnya, orang yang bekerja disebuah perusahaan bila tidak mau belajar, upgrade degree atau ambil sertifikasi, maka pekerjaanya ya tidak akan pernah meningkat, kata gampangnya stuck. Lah saya kan ibu rumahtangga apa kaitannya dengan upgrade degree dan ambil sertifikasi? Kita itu kan tidak pernah tahu bagaimana masa depan nantinya, ambil sekolah lagi atau ambil sertifikat itu untuk kebaikan masa depan saya juga keluarga saya nantinya. Terutama kalau sudah ada anak, bagaimana saya menyuruh anak saya untuk sekolah universitas kalau saya sendiri tidak sekolah universitas.., terus kalau saya tidak punya pendidikan tinggi bagaimana saya bisa mengajari anak saya nantinya? Mungkin ada yang bilang, "gampang masukkan saja si anak ketempat kursus..banyak kan tempat kursus anak-anak...." Buat saya, anak ya diajarin sendiri. Dan tentu saja bila kita sudah menjadi orangtua dan punya pendidikan tinggi, tentu akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri untuk anak kita dan menjadi contoh teladan untuk anak kita. Suatu saat bila saya ini bisa masuk dunia riset, itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bila bisa menemukan, menciptakan sesuatu yang hasilnya (hasil riset saya) bisa dipakai baik masyarakat, umum, atau oraganisasi/ perusahaan. Bila ada orang bilang, "semakin tinggi tingkat pendidikan kita, maka kita akan tahu bahwa ternyata ada banyak hal yang kita tidak tahu."Kata-kata ini benar adanya. Ya, meski saya ini ibu rumahtangga tapi saya masih mengejar sekolah saya hingga Doctoral dan masih akan mem-publish buku. Mengapa saya masih mengejar Doctoral? Lah bagaimana saya bisa masuk dunia riset dan menemukan/ menciptakan sesuatu kalau tidak sekolah Doctoral?... Tentu saja bila kita hendak masuk dunia riset kita harus memiliki gelar pendidikan tinggi. Mungkin ada orang bilang, "alahhh gelar mah gak penting, yang penting kita kreatif bla bla..." Buat saya mendapatkan gelar tinggi ya penting karena cita-cita saya/ impian saya dimasa depan adalah ingin mengabdikan diri dalam dunia riset.

Selama 10 tahun berkarier menjadi ibu rumahtangga, itulah kegiatan/ hal yang saya kerjakan selama ini. Karya yang saya hasilkan mungkin hanya kecil, tidak seberapa, tidak ada uangnya atau ada uangnya tapi sedikit sekali. Masa depan itu misteri, hasn't written yet. Apa yang saya kerjakan saat ini mungkin kecil, tapi kita tidak pernah tahu mungkin dimasa depan akan menjadi sesuatu yang berguna atau menghasilkan. Itulah yang diajarkan oleh bapak penulis untuk terus berkarya sekecil apapun itu. Bila kawan sekalian sudah membaca link artikel diatas pasti sudah tahu bahwa bapak saya adalah seorang buruh gaji hanya 50 Ribu perbulan. Meski bergaji kecil tapi bapak saya tidak meninggalkan pekerjaan itu, terus rajin bekerja/ berkarya, pun tidak mengeluh, dan malah masih mengerjakan/ berkarya hal lain seperti berkebun dan berternak. Siapa yang menyangka karena justru dari hal-hal kecil bapak saya bisa mengirim saya kebangku universitas. Itulah pentingnya kita harus mau untuk terus berkarya sekecil apapun itu, dan mau untuk terus belajar. Karena semua itu demi kebaikan akan masa depan kita juga keluarga kita. Bagus lagi bila kita bisa menemukan/ menciptakan sesuatu yang bisa dipakai oleh orang banyak/ masyarakat umum, ataupun organisasi/ perusahaan.

Note:

  • Written by Acik Mardhiyanti 
  • Do not copy this article without permissions





COVID-19: Status Dinaikkan, Benar Kah Warga Singapura Panik Menimbun Bahan Makanan?


Produk beras di hypermarket dekat rumah kami banyak yang kosong hari Sabtu minggu lalu - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Hari senin kemarin ini saya mendengarkan radio bisa sampai tertawa. Kenapa? Karena toilet paper jadi topik hangat di Singapura bahkan hingga hari Selasa. Hari Rabu (12 Februari 2020) saya tidak tahu karena saya harus pergi ke polyclinic. Seperti yang sudah diberitakan dimana-mana, mulai hari Jum'at minggu lalu atau tepatnya setelah status Coronavirus atau nama barunya menjadi COVID-19 dinaikkan levelnya oleh pemerintah Singapura, banyak bahan pangan makanan bahkan toilet paper habis disupermarket bahkan kosong. Kalau begitu benar kah warga Singapura panik karena status Coronavirus di Singapura naik level menjadi orange?

Hari sabtu kemarin, malam hari, kebetulan  saya dan suami hendak berbelanja beberapa sayuran, seperti bayam dan brokoli karena kulkas saya sudah tidak ada persediaan brokoli, serta belanja beberapa barang lain seperti wet wipe, pewangi kamar mandi. Biasanya sih belanja sayur dipasar. Tapi kalau tidak sempat ke pasar ya pergi ke hypermarket terdekat. Yup, jarak dari blok kami hanya 3 station bus saja. Tetapi sampai ditempat saya sempat menggerutu, kenapa? Karena bisa-bisanya ya itu sayuran bayam, bahkan beragam macam bayam, mulai daun bulat, lancip, bayam merah, bayam kecil dll...habis tidak ada sisa! Yang membuat saya aneh segala macam jenis sayuran hijau kosong, kecuali sayuran produk USA. Huh?! Tiba-tiba orang-orang jadi memborong sayuran, lah kemarin-kemarin apakah tidak makan sayur tiap harinya..?😕 Sabtu malam itu banyak barang kosong di hypermarket ini. Barang apa saja kah itu, ada beras, tisu basah antibakterial (wet wipe), tissue kering, toilet paper. Banyak makanan kaleng, biskuit-biskuit, instant noodles, mie-mie kering (biasa digunakan untuk mie goreng), produk-produk pembersih (terutama antiseptik atau disinfektan produk) ikut-ikutan mulai habis. Sebagian produk saat itu di-stock ulang seperti beras, juga toilet paper. Jadi rak-rak disupermarket itu kosong bukan karena benar-benar tidak ada stock lagi, tetapi karena untuk memindahkan stock dari gudang itu butuh waktu/ perjalanan. Seperti yang sudah disampaikan Perdana Menteri bahwa stock makanan itu cukup, jadi kita itu tidak perlu memborong mie instant, makanan kaleng, dan toilet paper. Beli ya sesuai kebutuhan saja...

Karena bayam yang hendak saya beli kosong, maka saya jadi pusing menggantinya. Akhirnya saya pun membeli french beans, dan brokoli sisaan. Dan saya lega karena tidak ada yang "menyentuh" alias memborong produk Jepang. Dan kami pun membeli soba, biskuit dari Tesco. Yup, saat ini saya memang banyak membeli bahan makanan Japanese, juga memilih biskuit Tesco. Untuk saat ini mulai banyak produk Tesco yang kami gemari, seperto tomato soup, vegetables soup, dan beragam potatoes. 

Bila hendak diperhatikan sebenarnya masih ada beberapa barang out of stock semenjak ada ramai-ramai Coronovirus ini. Masker dan termometer sudah lama out of stock, 2 barang ini barengan sudah lama habisnya. Dari termometer yang murah hanya $ 6 samapai $ 60 kosong semua. Selain itu beragam cuci tangan tanpa sabun alias sanitizer ikutan kosong. Parahnya lagi sampai macam-macam pembersih berbahan alkohol pun ikutan out of stock. Nah ada satu lagi yang juga ikutan ludes yaitu vitamin C. Huh??! 😒 Yup, banyak orang memborong vitamin C ditoko farmasi/ obat. Padahal melimpah sayuran dan buah yang banyak mengandung vitamin, tapi kenapa harus membeli vitamin C di farmasi?...


Tiba-tiba sayuran hijau (bayam, kailan dll) ikutan ludes hari Sabtu minggu lalu - Photographed by Acik Mardhiyanti

Kenapa banyak barang habis di supermarket? Apakah karena status Coronavirus dinaikkan menjadi orange, lantas warga Singapura panik semua terus memborong kebutuhan pokok? Kalau saya bilang sih, ya hanya sebagian warga bereaksi panik terus memborong bahan makanan. Kalau orang Singapura bilang, kiasu. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kata "kiasu" ini, yang pasti artinya itu kearah rasa takut yang menyebabkan orang itu jadi selfish, mungkin kata gampangnya panik, takut, gelisah, dan paniknya berlebihan gitu ya... Ditambah lagi di Singapura itu kan banyak sekali pendatang yang bekerja dan tinggal disini. Saya mulai mempertanyakan, itu yang memborong-borong bahan makanan itu benar-benar warga Singapura atau kah warga pendatang tadi? Karena dikantor suami yang hampir semua pekerjanya adalah warga lokal (Singaporeans), mereka bereaksi biasa tidak panic buying. Malah beberapa teman kantor suami membagi-bagikan masker pada yang membutuhkan, juga ada yang menyediakan wet wipe, sanitizer juga. Itulah yang selalu disebut sebagai orang Singapura yang sebenarnya, dimana kita saling bantu dengan yang lain, tidak memikirkan diri sendiri apalagi memborong semua sampai ludes. Bahkan kami sempat bercerita dengan tetangga, tetangga pun menanggapi biasa saja tentang status orange.. 

Jadi bagaimana kondisi sebenarnya sih di Singapura? Untuk dilingkungan tempat tinggal kami orang-orang beraktifitas normal saja. Bila diperhatikan orang-orang disekitar lingkungan kami ya masih pergi ke pasar seperti hari biasa, belanja kebutuhan normal. Orang-orang juga masih riwa-riwi kepasar terutama saat jam makan. Jalanan ramai seperti biasa, bahkan ditempat kami ini jalanan ramai kendaraan 24 jam. Mungkin kalau melihat berita-berita atau membaca berita disupermarket sayur-sayuran sampai ikutan kosong, tapi percayalah dipasar sayuran masih normal stock-nya, toko-toko kelontong kecil atau biasa disebut minimart dekat rumah juga tidak kehabisan barang, bahkan saat ini minimart dekat rumah jualan hand sanitizer. Bahkan ada seorang nenek, salah satu langganan saya beli sayuran sampai ngantuk-ngantuk nunggu dagangan karena sayurannya masih banyak padahal hari sudah siang dan sebentar lagi mau tutup. Lah, sayuran yang kosong itu hanya di supermarket-supermarket saja? Bahan kebutuhan makanan yang kosong itu hanya disupermarket saja? Yup, benar sekali, kalau dipasar bahan makanan banyak, sayuran dll.. Maka saran saya untuk para warga pendatang di Singapura, sesekali belanjalah dipasar.  Kecuali masker, kalau mencari ini ditoko farmasi dipasar atau toko obat tradisional dipasar out of stock. Tapi kita pun tidak perlu khawatir, kan bisa membuat masker sendiri... Contohnya saya, saya bikin masker sendiri. Seperti kata kawan saya yang merupakan warga Jepang, "The virus is no longer maskable, isn't it?". Yup, kawan saya inipun tidak beli-beli masker, pun tidak memakai masker. Yang penting itu personal hygiene, social responsible, etc... segala sesuatu yang dianjurkan pemerintah itu yang harus didengarkan. Makanya kalau pemerintah berbicara itu didengarkan dengan seksama, jangan percaya message yang beredar di facebook, instangram... Dengarkan dengan baik nasihat dari pemerintah.


Tersisa paprika hijau - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Jadi kalau saya bilang sih kondisi di Singapura setelah status Coronavirus orange, itu tidak seperti yang dibayangkan banyak orang diluar Singapura atau gambaran diberita media luar Singapura dimana status Coronavirus naik lantas warga Singapura panik semua dan memborong barang-barang seperti yang sudah disebut diatas. Kondisinya tidak seheboh berita-berita itu, hanya media luar Singapura saja yang membesar-besarkannya, Lah contohnya itu salah satu media ternama Indonesia cari nara sumber saja tidak akurat 😏 Tidak semua warga Singapura sepanik yang banyak diberitakan diluar. Diwilayah kami, dimana MP kami adalah Perdana Menteri sendiri, keadaan dilingkungan kami normal. Seperti senin pagi ketika saya pergi kepasar misalnya, orang-orang biasa saja tidak memakai masker, hanya satu-dua orang saja yang memakai masker (karena ada yang pilek gitu..). Tadi kebetulan pas jam makan siang, orang-orang ya seperti biasa makan di hawker (warung-warung makan dipasar), malah masih seperti biasa ada yang mengantri-ngantri. Yang belanja sayur atau buah ya belanja seperti biasa tidak berlebihan. Tetangga kami keluar rumah ya seperti biasanya tanpa memakai masker. Saya pun kalau hanya keluar sebentar juga tidak memakai masker. Kecuali sudah 2 kali ini saya pergi ke polyclinic ya saya pakai masker. Suami penulis pun berangkat kerja seperti biasanya. Yang beda itu ketika travel dari rumah kekantor memakai masker. Dikantor suami, teman-temanya juga beraktifitas normal, tidak ada yang menimbun/ membeli bahan pangan berlebihan dirumahnya. Hal yang terlihat berbeda itu karena mulai hari Senin kemarin orang yang bekerja (bukan dirumah), sekolahan, sebelum masuk gedung mereka wajib ambil termometer. Sebelum pulang kerja atau sekolah ambil termometer lagi. Bahkan sekolahan didekat blok kami juga masih beraktifitas olahraga. Jadi, tidak semua warga Singapura itu pada panik semua, hanya sebagian warga saja.

Bila ada yang bertanya, "ada kah rencana untuk kembali ke Indonesia mengingat status Coronavirus di Singapura sudah orange?". Maka jawaban saya adalah bahwa di Singapura tidak ada apa-apa.  Keadaan hypermarket normal lagi, seperti biasa sayuran hijau ada sebagian yang sampai layu tidak ada yang beli (padahal waktu itu ada yang memborong sayuran hijau sampai ludes!). Lagian kehidupan kami disini, cari uang juga disini, Singapore is our home. Status naik jadi warna orange itu bukan berarti Coronavirus itu mewabah di Singapura seperti yang banyak diberitakan diluar. Maksudnya status orange itu karena virusnya kemungkinan sudah bersirkulasi tapi masih bisa di-contain, di-track jelas asalnya. Saya pribadi, saya percaya dengan pemerintah Singapura. Apalagi nanti tanggal 22 Februari ini akan ada vaksin pneumonia diwilayah kami. Misal tidak sabar ikut vaksin dari pemerintah, kita pun bisa vaksin sendiri ke polyclinic terdekat. Artinya kita bisa kapan saja vaksin pneumonia secara mandiri. Ya, saya itu bukanlah seseorang yang percaya kabar tidak jelas dimedia sosial, baca berita dari sumber yang terpercaya. Yup, benar sekali, saya ini bukan orang yang suka bermedia sosial-an, chit chat haha hihi..


Tiba-tiba orang-orang membeli sayuran hijau sampai ludes hari Sabtu minggu lalu, tersisa lettuce - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Jika menengok kebelakang, saya sendiri pernah mengalami bencana gempa Jogja tahun 2006. Silahkan dicari ya di Google tentang bencana itu. Bayangkan saat itu saya baru saja wisuda, masih menyelesaikan sebuah kursus sambil mencari kerja, uang pas-pas-an, tanpa diduga terjadi bencana. Tidak ada persiapan apa-apa, tidak punya stock makanan meski hanya mie instant, semua pusat perbelanjaan, toko-toko, warung-warung kelontong, warung makan seketika tutup semua, dan listrik pun mati seketika. Dan waktu itu saya tidak langsung "kabur" kembali kerumah bapak saya, tetapi tetap melanjutkan hidup. Belajar dari kejadian itu saya belajar untuk tidak mudah panik dan berusaha untuk berpikir jernih. Lantas apa hubungannya dengan COVID-19? Fear and panic are more dangerous than the virus itself. Dan itu benar sekali adanya. Jadi justru kita ini harus bersama-sama fight, kalau bisa menolong yang lainnya atau membantu yang lain (misal punya masker banyak ya disumbang pada yang membutuhkan). Dan saya salut dengan orang-orang seperti ini. Bahkan ketika banyak orang pada memborong ludes bahan makanan, malah ada orang yang membagi-bagi makanan pada yang membutuhkan. Itulah yang disebut orang Singapura sebenarnya.

Jadi, inti dari penjelasan diatas bahwa tidak semua warga Singapura itu panik dan memborong-borong bahan makanan karena status COVID-19 menjadi Orange. Tidak semuanya ya. Seperti saya ini misalnya, membeli barang ya sesuai kebutuhan saja. Bahkan sabtu minggu lalu itu kami hanya membeli wet wipe satu pack saja. Mungkin kalau orang lain dah diambil habis dibeli semua karena waktu itu baru saja stock ulang. Bahkan kami ini tidak pernah mengantri membeli masker. Yup, di hypermarket dekat rumah itu menjual masker dimana tiap orang dibatasi hanya boleh membeli satu  atau 2 pack saja. Dan tiap kami pergi belanja itu antrinya luar biasa. Alih-alih ikut antri membeli masker, saya malah membuat masker sendiri yang kami gunakan bila dibutuhkan saja.

Hingga Rabu minggu ini, total jumlah case di Singapura sudah 50, dimana 8 orang masih kritis, dan 15 orang sudah discharged alias sudah sembuh. Jadi, jagalah kebersihan diri (cuci tangan misalnya), makan diet alias makan makanan sehat/ bernutrisi (jangan cuma makan sayur dan buah hanya saat diet atau karena Coronavirus) sebaiknya jadikanlah kebiasaan hidup makan sayur dan buah tiap hari, dan rajin bersih-bersih rumah (misal rumah di pel tiap hari, cuci baju rutin tiap hari), dan jangan lupa untuk tidak selfish. Selfish disini yang saya maksud adalah memborong bahan makanan maupun produk antibakterial, karena...karena ada orang lain juga yang membutuhkan. Stay alert but don't anxious.

Note:

  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Do not copy this article without permissions
  • Do not reuse these photographs anywhere else without permissions






Tidak Punya History Pergi ke Cina Tapi Kok Bisa Positif Coronavirus?

Bagi kawan sekalian pasti ada sebagian yang bingung, katanya kan hanya orang yang mengunjungi Cina saja yang bisa kena Coronavirus, ya. Tapi kok bisa sih orang yang tidak punya history pergi ke Cina, atau tidak mengunjungi Cina bisa positif Coronavirus. Tentu ini menjadi sebuah pertanyaan dalam kepala kita, bukan? Bagaimana ceritanya Coronavirus bisa menjangkiti orang yang tidak berkunjung ke Cina sebelumnya?

Bila kawan sekalian sudah membaca artikel saya sebelumnya tentang hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk menghindari atau mengantisipasi agar kita tak terjangkiti Coronavirus, link disini https://acikmdy-journey.blogspot.com/2020/01/merebaknya-coronavirus-hal-apa-yang.html pasti bertanya-tanya karena salah satu hal yang bisa kita lakukan itu adalah.. menghindari untuk berkunjung ke Cina sana. Lah kemudian yang terjadi adalah ramai diberitakan dimedia Indonesia dimana WNI yang merupakan pekerja domestic helper di Singapura, positif Coronavirus. Padahal tidak punya history bepergian ke Cina. Dan case ini juga dibarengi oleh beberapa case dimana warga lokal yaitu orang Singapura (tidak bepergian ke Cina), tapi mereka positif Coronavirus. Bagaimana hal ini bisa terjadi sih? 

Bila dirunut kebelakang, case pertama di Singapura dikonfirmasi pada tanggal 23 Januari 2020, adalah seorang turis dari Cina yang datang ke Singapura positif Coronavirus. Setelah case pertama, case lain terus bertambah dimana mereka yang positif Coronavirus adalah turis dari Cina sana. Oleh karenanya ada peringatan untuk tidak travel ke Cina untuk menghindari Coronavirus ini. Namun kemudian yang terjadi di Singapura adalah... orang yang tidak bepergian ke Cina sebelumnya bisa positif Coronavirus. Kok, bisa? Sudah menyebar kah virusnya di Singapura? Simak penjelasan selanjutnya dalam artikel ini.

Media-media Singapura selalu memberikan update tentang Coronavirus, terutama case yang ada di Singapura. Bisa dipercaya kah berita media itu? tentu saja media Singapura bisa dipercaya keakuratannya, baik media televisi (dalam berita-beritanya), radio, juga koran seperti salah satunya Channel news Asia, juga Straits Times. Itu pengalaman saya selama tinggal di Singapura dimana media Singapura itu informasinya akurat. Lah kalau tidak akurat dalam memberikan informasi pada warga bisa di "sentil" oleh pemerintah. Dari media itulah kami bisa memantau perkembangan atau berita terkini tentang Coronavirus, terutama case yang ada di Singapura.

Case 19 di Singapura membuat banyak orang tercengang, karena case ini masuk transmisi lokal pertama di Singapura dimana orangnya ini dinyatakan posistif pada tanggal 3 Februari 2020 dan sudah mengalami gejala seperti demam dan sakit tenggorokan pada tanggal 29 Januari 2020. Dari case 19 ini novel Coronavirus kemudian menjangkiti suami (case 27), bayinya yang berumur 6 bulan (case 28) dan juga domestic helper-nya yang merupakan WNI (case 21). Sementara itu case 24 dan case 25 (suami-istri) juga membuat kita bertanya-tanya karena orangnya juga tidak memiliki history travel ke Cina tapi positif. Bagaimana bisa? Ini jawabannya! Case 24 itu yang positif adalah seorang wanita (Singapore Resident) yang bekerja sebagai pemandu wisata dan membawa group turis dari Cina kesebuah toko obat (semacam toko obat tradisional Cina). Dari kontak langsung dengan turis Cina inilah pemandu wisata ini terjangkit Coronavirus dan dinyatakan positif pada tanggal 4 Februari 2020, dan suaminya yang merupakan Singaporeans (case 25), juga dinyatakan positif pada tanggal yang sama, dimana suami ini bekerja di disebuah perusahaan perhiasaan dan group turis dari Cina ini juga mengunjungi toko perhiasaan ini. Nah, penjual ditoko obat yang dikunjungi tadi menjadi case 19 yaitu istri (Singapore resident) dinyatakan positif pada tanggal 3 Februari 2020, domestic helper-nya yang merupakan WNI (case 21) dinyatakan positif ditanggal yang sama. Sementara sang suami yang merupakan Singaporeans (case 27)  dinyatakan positif tanggal 5 Februari 2020, dan bayinya yang berumur 6 bulan (case 28) dinyatakan positif ditanggal yang sama. 

Yup, benar sekali. Coronavirus ini dibawa masuk ke Singapura oleh para turis dari Cina. Di Singapura, orang yang tidak punya history travel ke Cina pun bisa terkena Coronavirus karena adanya kontak langsung dengan mereka yaitu group turis dari Cina. 2 diantara group turis dari Cina ini dinyatakan positif oleh otoritas Cina. Rantai sebarannya seperti yang sudah saya tuliskan diparagraf diatas, dimulai dari seorang pemandu wisata yang memandu group turis dari Cina ini, kemudian mereka  mengunjungi toko obat tradisional, toko perhiasan, yang berakibat menjangkiti penjual serta keluarganya termasuk bayi berusai 6 bulan, termasuk pemandu wisata itu sendiri beserta suaminya. 

Informasi 6 Februari 2020, ada 2 lagi yang positif Coronavirus, dan mereka ini tidak ada history pergi ke Cina kebelakangan ini. Dan MOH (Ministry of Health) sedang meninvestigasinya, siapa saja orang-orang yang mereka temui, dan pergi/ berkunjung kemana sebelumnya, agar diketahui asal muasal bagaimana Coronavirus menjangkiti 2 orang ini. Seperti yang diberitakan satu diantara 2 orang ini menghadiri private meeting tanggal 20-22 Januari 2020 disebuah hotel di Singapura, dimana yang hadir disana ada partisipan dari Cina termasuk Hubei Province. Informasi Jumat ini, 7 Februari 2020, case di Singapura bertambah lagi 3. 3 orang ini adalah warga lokal Singapura (Singaporeans) yang juga tidak berkunjung ke Cina kebelakangan ini.  Dan total untuk saat ini ada 33 case di Singapura, 2 diantaranya sudah boleh pulang sementara 2 lainnya dalam kondisi kritis.

Takut? Tentu saja ada rasa itu, namun kita jangan panik apalagi berlebihan. Hal yang bisa kita lakukan adalah mengantisipasinya seperti cuci tangan sering-sering, memakai masker bila berada ditempat yang ramai orang terutama jika mengunjungi tempat-tempat yang biasa dikunjungi turis, dan juga makan sayur dan buah banyak-banyak (makan sehat). Atau bisa membaca artikel yang sudah saya tulis sebelumnya, hal-hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk menghindari Coronavirus, link sudah ada diparagraf 2 diatas. 


Note:
  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Do not copy this article without permissions





Pemerintah Singapura Membagikan Masker Untuk Warga


4 Buah masker yang dibagikan Pemerintah Singapura - Photographed by Acik Mardhiyanti

Masker, oh masker... Yup, saat ini kita sudah sulit untuk mendapatkan masker. Dimana-mana baik toko obat, farmasi, masker sudah out of stock. Dan keadaan ini kita tidak tahu sampai kapan akan ada stock masker lagi, dimana-mana habis! Yeah, sesulit itulah untuk membeli masker. Tapi mungkin ditoko-toko online masih menyediakan ini. Tapi... saya bersyukur karena pemerintah, pemerintah Singapura, mulai membagikan masker yang dimulai tanggal 1 februari lalu.

Senang ya pastinya karena dengan adanya pembagian masker ini bisa membuat kita agak lega sedikit. Paling tidak kita memiliki persediaan masker bila sewaktu-waktu kita sakit, dalam hal ini sakit batuk/ pilek gitu ya. Karena memang sudah jadi hal standart disini, Singapura, bila kita sakit batuk/ pilek baiknya kita menggunakan masker kala kita keluar/ bepergian (bertemu banyak orang). Supaya apa? Supaya orang lain tidak tertular batuk/ pilek-nya kita. Biar virusnya tidak menjangkiti orang lain. 

Nah, diwilayah kami sendiri, masker diambil tanggal 4 februari 2020, tepatnya hari Selasa lalu. Hari Selasa lalu suami lah yang mengambil masker setelah pulang kerja sekalian pulang kerumah. Dimana RC (Residents Committee) kami letaknya hanya disebelah block kami. Waktu itu pukul 8.30 malam. Yup benar sekali, kita bisa mengambil masker sampai jam 9 malam, dan mengambilnya di Residents  Committee atau biasa disebut RC kita (sesuai dengan block tempat tinggal kita). Kalau kita tidak sempat mengambil di RC, kami pun bisa mengambil masker ini di tanggal 5 Februari 2020 di Community Club kami. Jadi, tidak boleh sembarangan ambil ya, misal kita dari block A terus mau ambil masker di RC B atau Community Club C. Itu tidak boleh ya, jadi kami yaitu warga mengambil masker di RC atau Community Club masing-masing (sesuai wilayah dimana kita tinggal).

Lantas siapa saja kah yang bisa mengambil masker yang dibagikan pemerintah ini? Yang boleh mengambil masker ini adalah Singaporeans dan PR (Permanent Resident). Ketika mengambil masker ini kita menunjukkan NRIC atau kalau di Indonesia disebut KTP. Jadi, hanya orang Singapura (Singaporeans) dan PR sajalah yang boleh mengambil masker. Artinya apa? Artinya meskipun kita domisili atau kerja di Singapura tapi kalau kita bukan PR ya tidak boleh mengambil masker. Selain itu turis-turis yang datang ke Singapura juga tidak bisa mengambil masker yang dibagikan oleh pemerintah Singapura. 

Berapa masker kah yang dibagikan pemerintah Singapura pada warganya? Kita itu diberi 4 buah masker tiap rumahtangga. Ya, itulah gunanya saat pengambilan masker harus menunjukkan NRIC, jadi pemerintah tahu flat mana / rumah mana yang sudah mengambil/ belum mengambil masker. Seperti kami misalnya, suami saya sudah mengambil, dan saya kalau misalnya datang ke RC atau Community Club pasti tidak diberi masker lagi. Kenapa? Karena saat mengambil masker itu, NRIC suami sudah dicatat, yang pastinya alamat kami sama. Dan ada hal yang mungkin kalau saya bilang tidak akurat serta tidak dicek kebenarannya, dimana kemarin malam saat melihat selintas berita disalah satu media Indonesia ternama dimana nara sumbernya yaitu orang Indonesia di Singapura, nara sumber ini berkata dalam sambungan telpon-nya bahwa pemerintah Singapura membagikan masker 4 box tiap rumahtangga. Huh? 😏 Bukan 4 box ya, tapi 4 masks tiap rumahtangga. Dan nara sumber ini tidak bisa memberi jawaban pasti tentang siapa saja yang bisa mengambil masker yang dibagikan pemerintah Singapura ini.

Nah, Seperti pada gambar diatas ya, dimana maskernya sudah dimasukkan plastik rapi yang dilengkapi dengan selembar kertas yang bertuliskan tentang bagaimana menggunakan masker dan kapan kita menggunakan masker. Jadi kita hanya menggunakan masker saat kita sakit saja, batuk/ pilek gitu ya. Kalau kita sehat ya sebaiknya tidak perlu menggunakan masker. Untuk dilingkungan tempat tinggal kami, orang-orang beraktifitas seperti biasanya atau normal dan tidak menggunakan masker. Cuma memang bagi mereka yang setiap hari mobile, misal berangkat dan pulang kerja naik kereta/ bus, terutama mereka-mereka yang tempat kerjanya berdekatan dengan tempat wisata/ banyak turis suka kesana-sini, ya sebaiknya memakai masker.

Baca juga artikel terkait tentang hal apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari / mengantisipasi Coronavirus disini link-nya https://acikmdy-journey.blogspot.com/2020/01/merebaknya-coronavirus-hal-apa-yang.html

Note:
  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Do not copy this article without permissions
  • Do not reuse this photograph anywhere else without permissions


  


After 2 Years of Stepping Down, Where is Ichikraft Now?

About two years ago, I made the decision that the Ichikraft Etsy shop closed temporarily. However, even until this day, I am still with the ...