Pasti akan banyak orang atau malah kebanyakan orang memandang sebelah mata seorang ibu rumahtangga. Tak jarang banyak yang merendahkan, bukan? Dan hampir semua orang (terutama orang Indonesia ya) yang bertanya, "sejak kapan ibu rumahtangga itu adalah sebuah karier? Namanya berkarier ya mesti kerja diluar rumah (kantor, pabrik, dll...). Apalagi bagaimana bisa seorang ibu rumahtangga punya karya? Bukan sebuah karier kok tapi punya karya, bagaimana ceritanya?
Jauh hari sebelum memutuskan untuk menikah, saya dan suami (waktu itu masih status hanya sebatas pacar
), sudah membicarakan banyak hal terutama masa depan nantinya kita itu pengennya bagaimana. Untuk kami berdua pernikahan adalah sebuah ikatan dimana kami berdua menyatukan cita-cita serta impian yang hendak kami raih dimasa depan. Suami saya waktu itu sudah sangat paham dan tahu bahwa saya punya cita-cita ingin sekolah keluar negeri dan ingin bersekolah setinggi-tingginya. Sementara suami tentu saja ingin sukses dalam berkarier. Langkah awal yang kami rencanakan waktu itu adalah pindah ke Jakarta setelah menikah. Dan memang iya, 6 bulan setelah menikah kami pindah ke Jakarta, waktu itu kami tinggal di Setiabudi-JakSel. Kurang lebih 2,5 tahun di Jakarta, kami pindah ke Singapura. Ada yang bilang pada penulis, "alah kebanyakan rencana-rencana tapi gak ada tujuan bla bla..."
Oh, really? Justru saya dan suami merencanakan ini dan itu karena kami punya
"goal" atau impian yang hendak kami capai dimasa depan. Puji syukur karena kami merencanakan detail langkah apa yang hendak kami lakukan,
step by step, diumur 27 tahun saya (dan suami) pindah domisili ke Singapura dan puji syukur hidup kami berkualitas yaitu hidup dengan standart tinggi. Semisalnya kami saat itu masih tetap memilih tinggal di Jakarta, diumur 27 tahun itu kami sudah membeli apartement di Jakarta.
Kemudian mengapa saya ini memutuskan untuk menjadi seorang ibu rumahtangga setelah menikah, padahal kan saya impiannya ingin sekolah setinggi-tingginya? Keputusan ini kami sepakati bersama dan sudah kami bicarakan sebelum menikah. Bahkan kami juga memutuskan untuk tidak memikirkan punya anak dulu, karena ada hal lain yang ingin kami raih, apa itu? Yaitu kami ingin menata masa depan sebaik mungkin, kalau bisa yang terbaik, dan saya ingin terbaik diantara yang terbaik. Dan masa depan terbaik ini tentu saja kami persiapkan untuk anak-cucu kami kelak. Dan saya yakin kebanyakan orang tidak akan paham apa itu namanya
menata masa depan. Harap maklum kalau di Indonesia kebanyakan orang setelah menikah langsung punya anak seperti sudah sebuah kewajiban, sementara kami (saya dan suami) beda, kami tidak seperti kebanyakan orang Indonesia, dan saya sendiri sejak masih tinggal dikampung saya memang tidak seperti anak kampung kebanyakan. Kawan dan kenalan semasa menempuh Strata 1 pernah bilang, "saya iri dengan kehidupanmu, bisa melakukan apa saja, mau kursus/ sekolah bisa, tinggal diluar negeri." Padahal jika diingat kembali justru kenalan dan kawan saya itu punya kesempatan luas untuk menata masa depan lebih cemerlang karena ia orangtuanya mampu/ punya uang untuk membiayainya sekolah hingga Master. Tapi sayang kesempatan untuk menata masa depan cemerlang itu tidak digunakan oleh kawan dan kenalan ini, malah justru menganggap enteng kehidupan. Sementara, bapak saya cuma buruh pabrik, jadi bila hendak dipikir-pikir lagi, kenapa harus iri dengan saya ini yang cuma seorang ibu rumahtangga dan anak dari seorang buruh pabrik?
Lantas kenapa ada keputusan dimana saya memilih sebagai ibu rumahtangga setelah menikah? Hal ini tak lain dan bukan adalah untuk men-
support penuh suami penulis. Kalau ada istilah bilang, "dibalik kesuksesan seorang pria, ada wanita hebat dibelakangnya." Saya ingat akan kata-kata almarhum simbah putri saya/ penulis, simbah saya bilang, "seorang laki-laki atau seorang suami bisa sukses atau tidak, itu tergantung siapa wanita yang mendampinginya, tipe wanita/ istri apa yang ada disebelahnya..", itu kata beliau. Semisal saya tetap memilih untuk berkarier diluar rumah alias bekerja diperusahaan misalnya, bisa kah kami sekarang ada di Singapura? Jawabannya adalah
TIDAK. Karena namanya berumahtangga suami-istri harus bekerja sama untuk menggapai impian bersama. Nomer satu adalah men
-support suami, itu artinya ada pengorbanan yang saya lakukan yaitu "mengubur" impian saya untuk sementara. Karena toh pada akhirnya setelah suami mendapatkan apa yang ia inginkan, kini gilaran saya untuk meraih impian dan cita-cita saya.
Banyak orang bilang, "tapi kan sekolah sampai sarjana, rugi kalau tidak bekerja.." Ada juga orang berkata, "harusnya wanita juga kerja supaya punya duit sendiri paling tidak buat beli bakso.." Ada lagi yang berkata, "jadi seorang istri harusnya bekerja (diluar rumah misal perusahaan) juga biar paling tidak bisa beli bedak sendiri..." Dan masih banyak kata-kata lainnya... Perlu untuk diketahui bahwa saya itu sudah bekerja sejak umur 11 tahun dan membiayai kebutuhan sekolah sendiri sejak itu sampai Sekolah Menengah Atas atau SMA. Bisa dibaca kisahnya disini
https://ichi-journey.blogspot.com/2019/06/berasal-dari-desa-gaji-bapak-saya-rp.html Dan sebenarnya saat menempuh
study S1 Ekonomi/
Management, saya sudah sempat bekerja selama 6 bulan dibidang
marketing dimana saat itu saya senang karena bisa kenal banyak orang diluar kampus dan belajar banyak hal. Tetapi pekerjaan itu terpaksa saya tinggalkan karena saya harus fokus dengan kuliah yang saya target 3,5 tahun harus sudah selesai. Dan benar, saya/ penulis menyelesaikan Strata 1 atau S1 dalam waktu hanya 3,5 tahun dengan biaya bulanan minim dan tidak punya komputer. Skripsi saya selesai dalam waktu hanya 2 bulan saja. Dan sekarang meskipun saya sudah menikah, tapi masih mengurusi adik saya satu-satunya, segala macam biaya saya tanggung hingga detik ini. Bahkan sebelumnya saya memberi uang bulanan untuk saudara/ anggota keluarga lainnya. Untuk orang yang punya pikiran picik , sempit, dan negatif pasti akan bilang, "alahh uang hanya dengan mengandalkan suami aja..." Lagi, lagi..inilah kata-kata almarhum simbah putri saya, "cari pasangan hidup (baik istri maupun suami), harus orang pekerja keras, apalagi bila kita seorang wanita ya harus cari pasangan hidup (yaitu calon suami) yang punya pekerjaan tetap, bisa diandalkan.." Simbah putri saya yang satunya, beliau suka dengan tipe orang pekerja keras, yang mau berusaha keras dalam hidup. Simbah putri saya ini tidak suka jika melihat seorang laki-laki (suami) tidak punya kerja tetap. Itulah simbah putri penulis, dua-duanya memiliki pesan yang sama bila mencari pasangan hidup ya harus bisa diandalkan, apalagi mencari calon suami. Lah semisal suami saya dulu tidak bagus dalam dunia akademik (minimal setara dengan saya tingkat pendidikannya), tidak punya pekerjaan tetap, bukan tipe pekerja keras, tidak punya impian dalam hidupnya, tentu saja saya tidak mau menikah dengannya. Lagipula bila sudah menikah suami-istri harus bisa bekerja sama, sama-sama membangun pondasi "rumah" dengan kuat. Kami misalnya, suami saya bekerja diluar rumah, saya bekerja didalam rumah. Kami berdua sama-sama saling mengandalkan satu dengan lainnya. Seperti suami penulis tentu saja apa-apa urusan rumah mengandalkan saya. Penting untuk diketahui bahwa kami tidak punya si mbak alias pembantu dirumah, jadi semuanya saya kerjakan sendiri. Ditambah lagi tinggal diluar negeri, jelas apa-apa ya harus mandiri dikerjakan sendiri.
Saya punya teman orang Jepang, hingga kini umurnya sudah 42 tahun tapi tidak pernah sekalipun membicarakan kapan ia akan menikah. Punya
boyfriend-pun ia sama sekali tidak menyinggung kapan segera menikah. Untuknya menikah punya komitmen tinggi dimana setelah menikah ia punya tanggungjawab besar, apa itu? Yaitu menjadi ibu rumahtangga. Bagi orang Jepang menjadi seorang ibu rumahtangga adalah pekerjaan sangat berat, makanya seperti kawan saya ini ia masih mikir-mikir panjang dulu dengan komitmen pernikahan. Karena apa? Karena disana tidak ada budaya punya pembantu apalagi
babysitter. Dinegara-negara Eropa juga USA, disana juga tidak ada namanya budaya punya pembantu maupun
babysitter. Dan yang membuat saya salut, wanita-wanita yang berkarier sebagai ibu rumahtangga baik di Jepang, negara-negara Eropa, juga USA, mereka menghasilkan karya. Sambil mengurus rumah, mengurus anak (bagi yang sudah memiliki anak), mereka juga menghasilkan karya. Itulah ibu rumahtangga jaman
modern. Ibu rumahtangga jaman
modern seperti sekarang aktif melakukan banyak hal misal menulis buku,
blogging, membuat karya (
handicraft), berkarya dibidang
digital dll... Dan semua karya yang mereka hasilkan itu dikerjakan dirumah. Kalau ada yang bilang, "tidak bosen kah dirumah terus setiap hari?." Maka inilah jawaban saya, rumah adalah tempat ternyaman, tidak ada tempat senyaman dan sebaik dirumah. Bila dibandingkan dengan kata "bosen" saya lebih condong kata "capek" bahkan capeknya itu capek sekali karena banyak kerjaan dan macam hal yang harus diselesaikan setiap harinya.
Lantas apa sih yang saya lakukan/ kerjakan setelah menikah dan memutuskan menjadi ibu rumahtangga? Nomer satu adalah mengurus keluarga. Sambil mengurus keluarga saya sambil berkarya, berkarya sekecil apapun itu. Bahkan saya sudah mulai belajar bunga pita sejak sebelum menikah. Setelah menikah saya masih belajar bunga pita ini sampai suatu ketika saya memutuskan untuk menulis. Kenapa saya memutuskan untuk menulis? Karena saya punya pengetahuan dan pengalaman yang mungkin bisa saya bagi pada orang lain. Waktu itu pernah saya menguji kemampuan saya alias coba-coba mengirim artikel pengalaman hidup kami kesebuah majalah wanita ternama di Indonesia. Hasilnya 2 bulan kemudian tulisan saya dimuat dan tentu saja dibaca oleh para pembaca dari penjuru nusantara. Dan saya tetap berusaha untuk menulis sampai detik ini. Artinya saya sudah menulis selama 10 tahunan.
Yup, benar sekali segala macam tetek bengek urusan rumah menjadi tanggungjawab saya. Dari pagi sampai jam 2 siang biasa sibuk mengurusi rumah, membersihkan rumah, kepasar, masak, ngurusin
laundry, dll... Yup, benar sekali, makan ya masak sendiri dirumah, tidak beli makan diluar. Jadi masak tiap hari itu wajib, kecuali saya dalam kondisi sakit atau ingin istirahat ya terpaksa beli makanan diluar. Karena tiap hari masak, maka saya jadi suka menulis atau membagikan resep masakan juga, bisa dibaca link-nya disini
http://ichi-recipes.blogspot.com/ Setelah itu baru mulai menulis jam 3 sore sampai selesai. Dalam seminggu ada 2 artikel yang bisa saya
publish. Itu dulu sebelum memulai kegiatan ikut sekolah dan memulai bisnis. Tahun 2016 saya memutuskan untuk mulai menambah ilmu pengetahuan yaitu dengan ikut sekolah jarak jauh yang diselenggarakan oleh Universitas ternama dunia seperti,
Harvard University, University of California, Berkeley, dan Curtin University. Dari tahun 2016-2018 saya berhasil mengumpulkan 9 sertifikat dari beberapa program yang ditawarkan Universitas tersebut. Selain ikut program di universitas-universitas tersebut, saya juga ikut kelas di
Bibliotheca Alexandrina belajar peradaban Mesir kuno
, dan juga
join kelas di
Community Club tempat kami yaitu bahasa Jepang. Saya lulus dengan nilai 98% (mengerjakan
exam tanpa nyontek) di
Bibliotheca Alexandrina dan berhak mendapat sertifikat, namun sayang saya telat untuk mendaftar sertifikat. Jadi, jadwal saya setelah tengah hari, jam 2 atau 3 sore, saya mulai mengurus bisnis sampai tidak pasti jam selesainya (bisa selesai jam 6, jam 7 atau jam 9 malam). Yup, tahun 2017 saya memutuskan untuk membuat
cat collars dan hiasan bunga pita, dimana penjualannya yaitu keluar negeri USA dan Eropa. Nah, ketika saya/ penulis
join program
study dari universitas-universitas diatas, saya mengambil jadwal bisnis saya ini, artinya untuk sementara waktu vakum dalam mengurus bisnis dan mengutamakan sekolah dulu. Biasanya kalau sudah urusan sekolah saya ini bisa tengah malam masih mengurus
paper. Nah, tahun 2019 lalu saya vakum tidak ikut kelas-kelas dulu tapi mengurus usaha saya dulu sambil mengurus macam-macam hal ditahun 2019 lalu. Dan tahun 2020 ini gantian usaha/ bisnis saya vakum untuk dalam jangka waktu yang saya tidak tahu. Karena tahun 2020 ini saya fokus untuk mempersiapkan
study saya. Yup, bulan Januari sampai Juli 2020 saya mengikuti sebuah kursus agar saya ini bisa lulus
exam, dimana hasil
exam ini digunakan sebagai syarat pendaftaran
Master Business and Economics yang akan saya ambil
. Setelah urusan
exam selesai masih banyak hal lain yang harus saya kerjakan sampai akhir tahun 2020 dan pastinya sampai tahun 2021. Tidak hanya selesai sampai disitu, saya pun sudah memikirkan hendak melakukan riset apa untuk
Ph.D saya nanti... Itulah saya yang pekerjaannya adalah seorang ibu rumahtangga.
Boleh percaya, boleh tidak, 2 tahun pertama menulis, saya/ penulis itu menulis artikel dengan
smartphone. Yup, tiap hari pegang hape bukan haha hihi media sosial-an tapi
menulis guys...! Kemudian saat mengikuti kelas/
study ini sejak tahun 2016 lalu, saya juga lebih banyak menggunakan
smartphone. Hanya ketika ujian
proctor, mengerjakan
paper, serta kegiatan yang tidak bisa menggunakan
smartphone, maka saya/ penulis baru menggunakan
notebook atau laptop. Yup, benar sekali membaca modul-modul serta diskusi, dan juga mengerjakan ujian kecil, saya itu menggunakan
smartphone. Maka kalau ada yang
complain pada saya/ penulis, "kok dikirimi pesan tidak dibales sih", "kok mbales pesen dua hari kemudian atau bahkan tidak dibales-bales sih..", atau ada yang bilang, "ditelpon kok tidak diangkat sih, tidur atau gimana sih..".
Well... sorry guys I am not a free woman, I am a busy woman. Buat saya tidur siang apalagi rujakan dengan tetangga siang hari itu cuma ngimpi saja. Karena waktu saya kalau boleh dibilang padat, seperti sudah ada jadwalnya. Mungkin ada yang bilang, "alah cuma ibu rumahtangga aja kan gak ada kerjaan dan gak punya kerja..." Ya, maaf, saya bukan seorang ibu rumahtangga seperti yang anda bayangkan. Bahkan saya pun masih
gardening alias berkebun dirumah, padahal tidak punya halaman lhoo... Buat apa saya berkebun dirumah?
Simple saja, saya tanam cabe ya lumayan kalau berbuah bisa digunakan untuk masak, tanam daun sirih bisa saya gunakan juga, tanam
kaffir lime daunnya bisa untuk masak, tanam bunga dari biji saya bisa mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang bisa saya bagi ilmunya dalam artikel berkebun saya, bisa dibaca link-nya disini
http://ichi-garden.blogspot.com/ Bahkan pengalaman saya merawat bunga Melati atau
Jasmine flower beserta cerita didalamnya sudah pernah dibagikan dalam sebuah
exhibition atau pameran tanaman dan bunga disebuah
botanic garden di Jepang, dimana salah satu kawan saya yaitu orang Jepang bekerja disana.
Cool, huh? 👍 Dan saya pun suka berbagi pengalaman dan bertukar informasi seputar tanaman dan bunga dengan kawan ini. Dan sejak tahun 2013, saya sudah mulai melakukan kegiatan untuk membantu sesama, bisa dibaca disini
http://ichikraft-give-care.blogspot.com/ Tentu saja kegiatan saya membantu sesama ini dibantu oleh kawan di Indonesia. Itulah kegiatan/ pekerjaan saya sehari-hari beserta hasilnya.
Lantas kenapa sih ibu rumahtangga seperti saya ini kok masih ikut kelas alias sekolah pendek segala bahkan masih mau lanjut Master dan
Doctoral? Ini semua saya lakukan agar saya ini bisa menambah pengetahuan/ ilmu pengetahuan. Lah kalau tidak sekolah bagaimana saya tahu strategi marketing
McDonals adalah
glocalisation,
Burbary menggunakan strategi marketing
storytelling, Coca cola menggunakan strategi marketing
personalize product etc... Semua pengetahuan itu saya dapatkan dibangku universitas yaitu ketika saya ambil program
Micro Master di
Curtin University. Bila ada yang bilang, "kan jaman sekarang kita gampang bisa belajar apa saja lewat internet, menuntut ilmu tidak harus dibangku
university..gelar tidak penting bla bla..." Untuk saya ya (mungkin orang lain beda dengan saya), saya berpikir secara logis dan realistis saja, jaman sekarang orang kalau tidak sekolah bisa tertinggal dibelakang. Kenapa? Dunia ini berputar cepat sekali, apalagi buat kami yang tinggal diluar negeri, akan terasa sekali bagaimana dunia ilmu pengetahuan berkembang pesat, juga dunia kerja. Baru luar negerinya sebelah Indonesia, Singapura. Nah kalau di Eropa misal Jerman, ijazah SMA (Sekolah Menengah Atas) kita di Indonesia hanya setara SMP (Sekolah Menengah Pertama) di Jerman. Dalam dunia kerja contoh gampangnya, orang yang bekerja disebuah perusahaan bila tidak mau belajar,
upgrade degree atau ambil sertifikasi, maka pekerjaanya ya tidak akan pernah meningkat, kata gampangnya
stuck. Lah saya kan ibu rumahtangga apa kaitannya dengan
upgrade degree dan ambil sertifikasi? Kita itu kan tidak pernah tahu bagaimana masa depan nantinya, ambil sekolah lagi atau ambil sertifikat itu untuk kebaikan masa depan saya juga keluarga saya nantinya. Terutama kalau sudah ada anak, bagaimana saya menyuruh anak saya untuk sekolah universitas kalau saya sendiri tidak sekolah universitas.., terus kalau saya tidak punya pendidikan tinggi bagaimana saya bisa mengajari anak saya nantinya? Mungkin ada yang bilang, "gampang masukkan saja si anak ketempat kursus..banyak kan tempat kursus anak-anak...." Buat saya, anak ya diajarin sendiri. Dan tentu saja bila kita sudah menjadi orangtua dan punya pendidikan tinggi, tentu akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri untuk anak kita dan menjadi contoh teladan untuk anak kita. Suatu saat bila saya ini bisa masuk dunia riset, itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bila bisa menemukan, menciptakan sesuatu yang hasilnya (hasil riset saya) bisa dipakai baik masyarakat, umum, atau oraganisasi/ perusahaan. Bila ada orang bilang, "semakin tinggi tingkat pendidikan kita, maka kita akan tahu bahwa ternyata ada banyak hal yang kita tidak tahu."Kata-kata ini benar adanya. Ya, meski saya ini ibu rumahtangga tapi saya masih mengejar sekolah saya hingga
Doctoral dan masih akan mem-
publish buku. Mengapa saya masih mengejar
Doctoral? Lah bagaimana saya bisa masuk dunia riset dan menemukan/ menciptakan sesuatu kalau tidak sekolah
Doctoral?... Tentu saja bila kita hendak masuk dunia riset kita harus memiliki gelar pendidikan tinggi. Mungkin ada orang bilang, "alahhh gelar mah gak penting, yang penting kita kreatif bla bla..." Buat saya mendapatkan gelar tinggi ya penting karena cita-cita saya/ impian saya dimasa depan adalah ingin mengabdikan diri dalam dunia riset.
Selama 10 tahun berkarier menjadi ibu rumahtangga, itulah kegiatan/ hal yang saya kerjakan selama ini. Karya yang saya hasilkan mungkin hanya kecil, tidak seberapa, tidak ada uangnya atau ada uangnya tapi sedikit sekali. Masa depan itu misteri,
hasn't written yet. Apa yang saya kerjakan saat ini mungkin kecil, tapi kita tidak pernah tahu mungkin dimasa depan akan menjadi sesuatu yang berguna atau menghasilkan. Itulah yang diajarkan oleh bapak penulis untuk terus berkarya sekecil apapun itu. Bila kawan sekalian sudah membaca link artikel diatas pasti sudah tahu bahwa bapak saya adalah seorang buruh gaji hanya 50 Ribu perbulan. Meski bergaji kecil tapi bapak saya tidak meninggalkan pekerjaan itu, terus rajin bekerja/ berkarya, pun tidak mengeluh, dan malah masih mengerjakan/ berkarya hal lain seperti berkebun dan berternak. Siapa yang menyangka karena justru dari hal-hal kecil bapak saya bisa mengirim saya kebangku universitas. Itulah pentingnya kita harus mau untuk terus berkarya sekecil apapun itu, dan mau untuk terus belajar. Karena semua itu demi kebaikan akan masa depan kita juga keluarga kita. Bagus lagi bila kita bisa menemukan/ menciptakan sesuatu yang bisa dipakai oleh orang banyak/ masyarakat umum, ataupun organisasi/ perusahaan.
Note:
- Written by Acik Mardhiyanti
- Do not copy this article without permissions