Lawan Bullying: Bungkam Para Pembuli Dengan Prestasi

Tentu kawan sekalian sudah pada tahu maksud dari kata "bullying", bukan? Nah, dimasyarakat, tentu di Indonesia yang saya maksud dalam artikel ini ya, banyak sekali kasus seperti ini. Boleh percaya, boleh tidak, disemua lapisan masyarakat ada, mau miskin mau kaya, mau dikota atau didesa, ada banyak kasus bullying ini, hanya saja mungkin para pembuli ini tidak menyadari akan tindakannya itu yang bisa ditindak secara formal (hukum). Tahu kah kawan sekalian, bahwa para pembuli ini bisa kita lawan dengan prestasi. Yup, prestasi! 

Beberapa waktu lalu penulis sempat melihat video viral di YouTube dimana seorang anak penjual makanan  diganggu saat sedang  berjualan. Dan diganggunya itu sampai harus disakiti secara fisik. Melihat aksi itu serasa darah ini mendidih dan geregetan. Bila diperhatikan secara seksama dari tampang para pembuli, mereka-mereka terlihat tidak punya prestasi, tidak punya karya, sekolah mungkin hanya sekolah-sekolahan, kerja-pun tidak ada prestasi, malah mungkin sedikit banyak tergantung dengan orangtua. Kalau saya lihat para pembuli itu hanya sekelompok pemuda yang banyak gaya, motor-motor-an sana sini, merasa diri paling OK, aslinya Zero! Seorang anak/ pemuda/ pemudi, atau sekelompok remaja bila hidupnya diisi dengan berkarya dan prestasi, pasti kerjaan-nya bukan keluyuran motor-motoran sana-sini apalagi mengganggu anak lain yang sedang berkarya. Jangan salah lho, meskipun hanya berjualan makanan/ jajanan kecil begitu itu namanya sedang berkarya. Dan penulis salut, masih kecil belum juga berumur remaja sudah mulai mencari uang dengan berjualan makanan/ snack tradisional. Luar biasa! 👍👍

Dalam artikel ini penulis tidak akan membahas kasus pembulian yang dialami oleh si anak penjual makanan itu. Tapi, dalam artikel ini penulis ingin menyerukan pada anak-anak atau kawan sekalian diluar sana yang mungkin saat ini sedang mengalami pembulian, dipandang rendah oleh orang lain, suka diejek, penulis serukan untuk melawan para pembuli dengan prestasi, bungkam mereka dengan prestasi kalian. Percayalah, pada akhirnya prestasi-lah yang berbicara. Bagaimana caranya? Sekolahlah yang baik dan benar, rajin belajar dan tekun, dan semangat sekolah! It's true!  Penulis bisa bilang begini karena dulu saya banyak di buli oleh saudara sendiri dan orang-orang sekitar hanya karena saya berbeda dari kebanyakan anak kampung. Jadi, ini adalah pengalaman penulis bagaimana saya ini melawan para pembuli dengan prestasi. Pengalaman ini dibagikan karena saya berharap anak-anak atau kawan sekalian diluar sana yang sedang mengalami pembulian saat ini untuk menata hidup, bangkit, mencetak prestasi dan berkaryalah! Siapa yang mengajari penulis untuk melawan pembuli dengan prestasi? Beliau adalah bapak penulis sendiri.

Bapak penulis sebelum tahun 1995 adalah seorang dengan karier bagus/ sukses. Diantara warga desa yang saat itu kebanyakan bekerja bertani, beternak, dan kerja serabutan, bapak penulis adalah pekerja kantoran diperusahaan besar didaerah kami dimana setiap hari berpakaian licin dan wangi serta bersepatu mengkilap. Tahun 1988 banyak rumah warga desa masih beratapkan ilalang dan berdinding bambu, bapak sudah mulai membangun rumah batu bata, orang-orang sibuk mencari uang untuk makan sehari-hari sementara kami bisa membeli makanan yang kami inginkan, punya baju bagus-bagus, bahkan sejak dibangku Taman Kanak-kanak saya sudah punya perhiasan emas lengkap seperti (kalung, cincin, anting) yang dibelikan oleh bapak. Karena berbeda dari kebanyakan warga desa, banyak orang termasuk saudara sendiri berkata bahwa bapak saya itu orang sombong, tidak mau kenal saudara dan tetangga bla bla macam-macam hal. Padahal bapak saya itu memang orangnya sibuk, setiap hari berangkat kantor jam 5.30 pagi, pulang sampai rumah sudah jam 5.30 sore lagi, kadang jam 8 malam baru sampai dirumah. Meski sehari-hari sibuk, bila ada yang datang kerumah setelah jam 6 sore bapak selalu membuka pintunya meskipun capek baru pulang kerja. Apa yang bisa dilakukan untuk komuniti bapak akan melakukan, misal ada acara gotong royong dihari minggu bapak ikut, tetangga punya acara bapak mengusahakan untuk selalu datang, memberi sumbangan kegiatan RT, atau ada tetangga datang untuk keperluan lain bapak akan dengan sumringah menerima. Tidak pernah sekalipun bapak penulis itu mengganggu kehidupan orang lain atau tetangga, ikut campur urusan orang juga tidak pernah dan tidak berminat, pinjam-pinjam uang dengan orang-orang pun tidak. Tapi dalam kenyataannya, banyak orang tidak suka dengan bapak saya itu. Meskipun begitu, bapak penulis tidak merespon apa kata orang, cuek-cuek saja. Yang penting adalah bekerja, menuai prestasi ditempat kerja, bisa memenuhi sandang pangan serta pendidikan anak, itu prioritas utama bapak penulis. Tidak pernah mengurusi dan mendengarkan apa kata orang, bapak saya punya goal dalam hidupnya. Fokus dengan goal-nya itu.

Setelah tahun 1995, bapak penulis terpaksa harus mengundurkan diri dari perusahaan dan bekerja hanya sebagai buruh pabrik dengan gaji tidak layak. Bisa dibaca disini kenapa bapak penulis harus terpaksa mengundurkan diri dan melepas pekerjaannya https://acikmdy-journey.blogspot.com/2019/06/berasal-dari-desa-gaji-bapak-saya-rp.html   Dan sejak saat itu bapak penulis dihujani dengan kata-kata merendahkan, bahkan saya serta adik penulis. Siapa mereka yang merendahkan kami? Mereka adalah saudara sendiri juga orang-orang sekitar. Mungkin kalau orang sekitar/ orang lain tidak masalah ya, tapi kalau saudara sendiri? Maka penulis katakan mereka bukanlah saudara saya. Buat saya, saudara adalah mereka-mereka yang support kami terutama dalam keadaan susah dan tidak harus punya hubungan darah. Itulah kenyataannya bahwa saudara saya malah orang lain yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Dan penulis bersyukur karena dipertemuan dengan banyak orang-orang baik dalam kehidupan saya bahkan sampai kenegara Eropa. 

Bapak penulis banyak dicemo'oh oleh orang-orang sekitar setelah hanya bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji tidak layak. Selain bekerja menjadi buruh pabrik, bapak penulis juga beternak dimana setiap hari setelah pulang kerja masih harus mencari rumput-rumput diladang untuk pakan kambing. Banyak orang bilang bapak saya itu turun derajat, tadinya kerja kantoran sekarang jadi tukang "ngarit". Padahal, bapak saya itu tidak pernah mengganggu kehidupan mereka, apalagi minta-minta bantuan setelah tidak punya uang tapi mereka-mereka nampaknya terus saja tidak bisa diam, ketika bapak seorang karier man sukses dikatakan sombong, setelah hanya menjadi pekerja pabrik dan tidak punya uang masih juga direndahkan dan dicemo'oh.  Mereka-mereka merasa paling "wah" paling "ok", merasa diri kaya bisa bangun rumah bagus dan besar, bisa punya kendaraan (padahal motor kreditan, barang rumahtangga juga kreditan) dll...  Maklum kehidupan kami berubah 360 derajat setelah bapak harus terpaksa mengundurkan diri dari perusahaan dan melepas pekerjaannya. Dimana bapak tidak bisa melanjutkan upgrade rumah, hidup yang penting bisa makan. Bagaimana reaksi bapak penulis? Bapak saya tidak pernah sepatah kata pun membalas balik omongan mereka, tidak pernah menanggapi / merespon setiap kata-kata merendahkan dari mereka, tidak mempedulikan apa kata orang-orang sekitar juga saudara lainnya, sebaliknya bapak penulis terus rajin bekerja dipabrik, tetap mengurus kambing-kambing, berkebun menanam apa saja yang bisa dimakan atau dijual. Sampai suatu ketika mata mereka-mereka yang merendahkan bapak saya itu terbelalak dan kaget, kenapa? Karena saat itu penulis/ saya berangkat kekota Yogyakarta untuk sekolah Universitas mengambil sekolah Strata 1 atau S1 Ekonomi/ Management. Orang terheran-heran, cuma buruh pabrik sehari-hari kerjanya "ngarit" kata mereka, kok mampu mengirim anaknya sekolah universitas, sementara mereka-mereka sendiri anaknya tidak sekolah, atau sekolah tapi tidak sampai sekolah di S1 di Jogja padahal keuangan mereka jauh lebih bagus dari bapak. Maklum saat itu dalam pandangan orang kampung yang bisa mengirim anak sekolah S1 ke Jogja cuma mereka-mereka yang berduit. Sementara bapak saya bukan siapa-siapa hanya buruh. Penulis masih ingat suatu ketika hendak kembali ke Jogja dan sedang berada di agent bus tempat pemberangkatan, bapak saya ketemu dengan kawan lamanya dari perusahaan tempat dimana bapak pernah menuai sukses. Ya dulu biasanya bapaklah yang mengantar saya sampai keagent bus untuk kembali kekota Jogja. Saya melihat dari kejauhan, bapak saya itu berbicara dengan tegak berdiri dan tersenyum lebar, sementara kawan bapak saya itu terus memandangi saya seperti ada sesuatu hal yang luar biasa terjadi. Saya tidak tahu apa yang dibicarakan, tapi bisa ditebak dari sikap kawan lama bapak saya itu terlihat bahwa ia kaget dan tidak menyangka ternyata bapak bisa mengirim anaknya (saya) ke universitas untuk sekolah S1 di kota Jogja meskipun sudah hengkang alias ditendang dengan harga diri dicabik-cabik dari perusahaan. Bagaimana tidak kaget, bapak membiayai sendiri sekolah S1 saya itu, sementara kawan lama bapak mengandalkan perusahaan untuk membiayai anaknya sekolah universitas. Mungkin juga bapak membicarakan bahwa saya selalu berprestasi disekolah. Ya, bapak saya berdiri tegak tanpa ada rasa rendah diri ketika bertemu dengan kawan dari perusahaan lamanya itu. Terlihat kawan lamanya itu respect dengan bapak penulis. Jikalau saat ini bapak penulis masih hidup, beliau saat ini pasti bolak-balik ke Singapura untuk mengunjungi kami, jadi seorang buruh dan tukang "ngarit" pertama didesa atau bahkan mungkin jadi orang desa satu-satunya yang bakal sering keluar negeri, dan bisa memakai barang-barang bermerk karena untuk membelikan jam tangan untuk bapak saya dengan harga diatas $ 100 bukanlah masalah untuk penulis. Tapi itulah kehidupan, bapak penulis meninggal diumur 50 tahun, lebih awal dipanggil Yang Kuasa. 

Bagaimana dengan penulis sendiri, kenapa saya ini bisa di-bully dan direndahkan oleh saudara dan orang-orang sekitar? Saat bapak saya masih bekerja kantoran diperusahaan besar, tidak ada orang yang berani merendahkan penulis. Setelah bapak saya hanya buruh pabrik dan tukang "ngarit", mulai terlihat satu-persatu para pem-bully menampakkan diri. Pertama kali saya dengar kata merendahkan itu ketika saya masuk Sekolah Menengah Atas, kenapa? Karena menurut pem-bully saya tidak layak masuk SMA, menurut mereka kenapa saya ini sekolah segala palingan juga tidak akan lulus. Apa reaksi penulis? Penulis diam saja, tidak pernah menanggapi apa kata orang-orang sekitar. Maklum banyak anak kampung yang tidak pada sekolah, sekolah ya cuma main-main saja, belum lulus SMP atau belum lulus SMA sudah pada nikah, belum sampai 20 tahun sudah beranak. Ada juga yang berkata yaitu saudara sendiri, "tidak punya teman tidak bergaul bla bla...." Yup, menurut para pembuli, seorang anak yang punya teman itu  adalah mereka yang suka gerudak-geruduk sana-sini, nongkrong-nongkrong, motor-motor-an, haha hihi, main kesana-kemari. Sementara saya, pulang sekolah kerja dan belajar.  Kalau sudah membaca link artikel diatas pasti sudah pada tahu ya bahwa penulis sudah bekerja sejak umur 11 tahun. Dalam kenyataannya sejak dari SMA penulis sudah punya teman orang luar negeri, dan saya tidak berminat berteman dengan pembuli seperti mereka. Teman saya waktu itu adalah anak-anak sebaya penulis yang selalu bersemangat untuk kerja selepas pulang sekolah. Selain itu kawan-kawan saya ya kawan disekolah. Dan benar sekali, dilingkungan sekolah saya tidak pernah sekalipun mengalami pembulian, kawan-kawan sekolah respek dengan saya. Ya, benar sekali yang membuli kebanyakan saudara sendiri. Meskipun  para pembuli terus beraksi saya masih berbaik hati pada mereka dan masih mau menganggap mereka. Selama menempuh study dibangku SMA itu saya berusaha keras belajar sebaik-baiknya, mengukir prestasi. Puji syukur prestasi akademik saya bagus (punya peringkat dan diperhitungkan disekolah alias bukan sembarang pelajar), selain itu penulis mengukir prestasi dibidang ekstrakurikuler sekolah dimana terpilih menjadi salah satu pengkibar bendera tingkat Kabupaten, dan juga ikut mengibarkan bendera  disalah satu event besar. Sekalipun saya tidak pernah menanggapi perkataan mereka-mereka yang membuli saya, sebaliknya penulis semakin bersemangat sekolah dan rajin belajar, serta mencetak prestasi! Bagaimana dengan para pembuli, satupun tidak ada yang memiliki jejak prestasi.

Ketika penulis memasuki bangku universitas untuk menempuh strata 1 atau S1, pem-bully-an itu makin keras, kenapa bisa terjadi? Karena banyak orang berpikir baik saudara maupun orang-orang sekitar bahwa saya benar-benar tidak layak masuk bangku universitas. Menurut para pem-bully, bapak saya itu orang kere alias miskin tidak punya uang jadi kenapa harus kuliah segala yang akan banyak menghabiskan uang dan sia-sia. Kata mereka, "bapaknya miskin ya gak usah gaya pake kuliah segala, anak tidak tahu diri!", itu kata para pem-bully, padahal mereka saudara sendiri bukannya membantu bapak saya malah membuli penulis. Apa reaksi penulis? Penulis sama sekali tidak merespon juga tidak menanggapi apa kata mereka. Tidak pernah sekali pun saya angkat bicara, fokus dengan study. Penulis bekerja keras untuk study saya itu, semakin bersemangat untuk mengukir prestasi. Puji syukur, 3,5 tahun saya sudah menggenggam Sarjana Ekonomi dan menjadi lulusan terbaik saat wisuda. Sementara para pem-bully? Tidak ada satupun diantara mereka atau anak-anak mereka yang bisa menyamai rekor penulis hingga tulisan ini di publish. Pernah ada saudara berkata, "oh saya sih tidak ada bangga-bangganya sama kamu bla bla...." Well, lah ngapain harus bangga sama saya, kan saya yang meraih gelar Sarjana Ekonomi hanya dalam waktu 3,5 tahun dengan menyandang sebagai lulusan terbaik, kerja keras saya itu adalah hanya untuk kebanggaan bapak saya sendiri bukan untuk orang lain, carilah sendiri kebanggan itu dan berprestasilah sendiri jangan membanggakan prestasi hasil kerja keras orang lain, benar tidak? Bekerja keraslah untuk mencetak prestasi sendiri. Maklum pembuli ini tidak bisa sekolah S1 dikota Jogja, dan ia tidak menyangka bahwa penulis bisa sekolah S1 di kota Jogja, apalagi sebagai lulusan terbaik. Maka ada istilah, "tong kosong nyaring bunyinya." Baru juga sekolah S1 Ekonomi dikota Jogja ya, padahal saat ini penulis sudah mengenggam sertifikat dari hasil kelas saya di Harvard University, California of University, Berkeley, serta Curtin University. Dan penulis masih akan lanjut sekolah terus untuk meraih Ph.D. Hmm..bisa dibayangkan bagaimana reaksi para pembuli pada penulis, jelas makin benci dan tidak suka. Peduli kah saya? Tentu saja penulis tidak peduli, sebaliknya saya/ penulis terus mengibarkan sayap lebar-lebar untuk terbang tinggi, tinggi, dan tinggi.

Satu tahun setelah wisuda bapak saya meninggal,  para pem-bully nampaknya belum juga puas merendahkan dan mengolok penulis. Ini kata mereka, "mana hasilnya sudah disekolahin habis duit banyak tidak jadi apa-apa!", mereka juga berkata bahwa saya ini pembunuh bapak saya karena menghabiskan uang banyak untuk sekolah tapi tidak jadi apa-apa. Sampai penulis sudah menikah para pem-bully itu juga merendahkan suami penulis karena dipikir suami saya bukan orang berpendidikan. Tidak hanya itu, mereka pun merendahkan penulis yang katanya hanya ibu rumahtangga tidak punya kerja bla bla... Dipikir saya ini seperti ibu rumahtangga kebanyakan. Baca disini apa yang sudah saya raih selama menjadi ibu rumahtangga https://acikmdy-journey.blogspot.com/2020/02/10-tahun-berkarier-sebagai-ibu.html Ketika penulis pindah domisili di Singapura, para pembuli itu berkata bahwa saya sombong lupa daratan, lupa saudara, lupa teman bla bla... Ada juga yang sampai berkata, "alah asal saja dari kampung, rumah cuma samping tanggul, tapi bergaya tinggal diluar negeri segala..." Yup, pembulian itu luar biasa kejamnya bukan sampai harus menyangkut-nyangkut rumah jelek bapak saya yang samping tanggul itu. Para pem-bully itu baik saudara sendiri juga orang sekitar didesa sana tidak pernah puas merendahkan, mengolok-olok, serta mengejek penulis. Padahal saya tidak pernah mengganggu hidup mereka, minta-minta tolong juga tidak, ikut campur urusan mereka juga tidak berminat. Apa reaksi penulis dengan semua itu? Saya memilih diam dan fokus dengan apa yang hendak saya raih dimasa depan. Sementara para pem-bully itu dalam kenyataannya tidak pernah bisa meraih prestasi yang saya punya, kehidupan mereka/ para pembuli biasa seperti kebanyakan orang, dan saya/ penulis masih akan terus mengukir prestasi hingga detik ini.

Adik penulis-pun yang merupakan seorang tunagrahita tidak luput dari pem-bully, malah adik penulis direndahkan secara lisan bahkan secara fisik disakiti sejak masih balita. Ini sebuah kenyataan bahwa adik penulis itu tidak diterima dilingkungan keluarga sendiri (salah satu orangtua tidak bisa menerimanya), dijauhi saudara dimana tidak ada saudara yang mau main dengannya (saudara cuma lewat depan rumah, menyapa adik penulis-pun tidak), direndahkan orang-orang sekitar, disekolah diganggu, saat sudah mulai bekerja diumur 15 tahun adik saya dicelakakan ditempat kerja oleh para pembuli. Ya, meskipun seorang tunagrahita adik saya itu sudah mulai kerja ketika umur 15 tahun karena seseorang yang punya bisnis berbaik hati dengan mengajak adik bekerja. Adik saya ketika itu semangat sekali bekerja, tidak pernah mengeluh, dan pendapatannya (tiap bulan) sama seperti anak-anak normal sebayanya. Tapi dibuli dan dicelakakan ditempat kerja, malang sekali.  Para pembuli adik saya ditempat kerjanya itu adalah anak-anak kampung yang katanya normal tapi tidak mau sekolah dan berakhir bekerja hanya serabutan dan tidak jelas. Sampai sekarang adik penulis itu masih ingat dengan kejadian pahit dimasa lalunya. Karena adik saya tunagrahita itu ada saudara yang secara tidak langsung merendahkan penulis. Katanya, "adik saya bukan orang sekolahan, tidak mampu sekolah bla bla...". Bahkan setelah bapak penulis meninggal-pun tidak ada satupun saudara (apalagi yang meng-claim kaya) untuk membantu penulis mengirim adik saya itu kesekolah. Puji syukur, pada akhirnya penulis mampu mengirimnya sekolah. Puji syukur, adik saya itu punya pengalaman hidup yang bahkan orang normal pun tidak bisa dengan mudah mendapatkannya. Para pembuli/ mereka-mereka tidak ada satu pun yang memilki pengalaman hidup seperti adik penulis, his life is wonderful! 👍😊. Bahkan budi pekerti dan moralnya jauh lebih baik adik saya yang tunagrahita itu dibandingkan dengan para pembuli-nya. Dan saya pastikan kehidupan para pembuli itu biasa saja. 

Penulis/ saya bersyukur karena punya bapak yang bisa memberikan contoh serta teladan yang baik untuk saya. Ya, saya bisa melewati masa-masa sulit itu karena bapak saya mengajarkan untuk fokus dengan sekolah dan tidak perlu mengurusi para pembuli. Karena apa? Karena masa depan adalah hal terpenting yang harus dipersiapkan ketimbang mengurusi dan merespon para pembuli. Biarkan saja terserah-serah para pembuli mau berkata apa, diamkan saja. Fokus study, study, study! Bapak saya mengajarkan saya bahwa dengan sekolah kehidupan kita dimasa depan akan lebih baik atau bahkan bisa terbaik diantara yang terbaik. Benar sekali, bapak saya sendirilah yang menanamkan dan men-set up otak saya sejak masih kanak-kanak bahwa sekolah itu penting dan harus punya impian tinggi. Apa yang kita tanam itulah yang kita petik, menanam kebaikan berkah akan kita dapat, bekerja keras untuk menggapai impian masa depan terbaiklah yang akan kita dapat. Saya juga melihat kesabaran yang luar biasa pada bapak saya itu, ketika kehidupannya jatuh dan banyak direndahkan orang, bapak saya malah terus bersemangat bekerja meski hanya buruh pabrik, tapi hasilnya luar biasa beliau mampu mengirim saya sekolah Strata 1 Ekonomi kekota Yogyakarta, dan semua orang tercengang, kaget, dan shock!. Maka dari itu penulis belajar untuk bersabar juga ketika diejek-ejek, direndahkan, dan dibuli. Tak butuh waktu lama, diumur 27 tahun saya (dan suami) pindah domisili ke Singapura dimana sebelum pindah domisili ke Singapura kami tinggal di Jakarta Selatan, dan adik penulis-pun saya kirim sekolah dimana ia sangat bahagia punya banyak teman dan saudara baru. Artinya hanya kurang lebih 5 tahun setelah lulus S1 saya bisa menikmati hasil kerja keras saya. Buah dari kesabaran selama bertahun-tahun dibuli dan direndahkan. Itulah sebabnya kenapa penulis/ saya selalu bilang, "my life is wonderful!". Sekarang bila ditengok kebelakang, orang-orang yang membuli penulis kehidupan mereka tidak sehebat aksi pembuliannya. "When they go low, we go high." -  Michelle Obama "Always stay true to yourself and never let what somebody else says distract you from your goals." - Michelle Obama

Pesan apa sih yang hendak penulis sampaikan dalam artikel ini? Jangan pernah takut ketika kita di-bully dan dipandang rendah. Sekalipun kita asalnya orang biasa/ orang kampung/ rumah jelek&reyot, jangan pernah merasa rendah diri. Karena diluar sana banyak anak-anak kampung, anak-anak desa, anak-anak dari pulau terpencil, bahkan anak-anak yang asalnya dari gunung, mereka bisa berprestasi sampai keluar negeri, ada yang sekolah ke Amerika, dan negara Eropa seperti Jerman dan negara Eropa sekitarnya. Ukirlah prestasi dengan semangat sekolah dan rajin belajar. Tidak harus punya nilai matematika 10 dan juara 1 terus dikelas, tapi tentukanlah cita-cita setinggi bintang diangkasa dan belajarlah dengan rajin disekolah untuk menggapai cita-cita itu, tekun dan ulet. Jangan pernah takut untuk punya impian tinggi dan cita-cita tinggi, pepatah orang di Singapura bilang, "kalau tidak punya impian ya seperti ikan asin." Kalau sampai ada yang mengatakan kita gila dan tukang khayal karena kita punya impian tinggi, abaikan saja karena sejatinya para pembuli itu sendiri tidak tahu kedudukan mereka sendiri dan tidak tahu dimana ia berada serta tidak tahu mau bagaimana. Bila seseorang punya impian tinggi maka orang itu tidak punya waktu atau tidak mau membuang waktunya sia-sia hanya untuk merendahkan orang lain, benar tidak?  Maka, bangkitlah, tata, dan rencanakan masa depan sebaik-baiknya. Jangan sampai pembulian itu membuat hidup kita jatuh dan menelantarkan impian kita. Dulu pernah ada yang merendahkan saya dengan berkata, "alah kebanyakan rencana tapi tidak ada tujuan, dasar tukang khayal, gelo bla bla...." Dan yang terjadi kemudian adalah, justru karena saya merencanakan hidup dengan baik, bercita-cita sekolah setinggi-tingginya itulah yang mengantarkan saya bisa sampai saat ini. Harap maklum orang yang mengatakan penulis tukang khayal dan gila itu ia tidak bisa meraih prestasi seperti saya serta kehidupan yang saya punya. Diakui atau tidak diakuinya, pada dasarnya ia iri dengan apa yang orang lain raih, dan ia mengekpresikan rasa iri dengki-nya itu dengan merendahkan orang. Kenapa begitu? Karena ia merasa diri paling "wah" paling "ok" merasa diri paling pintar, merasa dirinya pasti akan punya masa depan yang lebih bagus dari orang sekitarnya, dan...reality-nya atau kenyataannya orang lain seperti penulislah yang bisa punya prestasi, berpendidikan tinggi dengan kehidupan masa depan terbaik, sementara dirinya tidak bisa meraih itu semua. Itulah reality para pembuli dimana sebenarnya mereka kecewa dengan dirinya sendiri, percaya atau tidak percaya para pembuli itu biasanya  kehidupannya tidak beres, hidupnya penuh dengan serba-serbi masalah. 

"What other people think about you is none of your business. So move on, let it go." Tidak perlu didengarkan apa kata mereka/ para pembuli. Jangan pernah engage dan jangan pernah respon atau menanggapi apa kata pembuli pada kalian. Fokuslah dengan apa yang ingin diraih dimasa, belajarlah dengan sungguh-sungguh disekolah. Kenapa sekolah? Karena sekolah adalah tempat untuk mengantarkan kita kepintu gerbang masa depan yang gemilang serta membukakan pintu masa depan itu. Memang ketika kita di-bully, direndahkan ada rasa sakit hati, tapi berusahalah untuk tegar dan kuat, tegak berdiri dan menguatkan sayap untuk terbang tinggi. Jadikan rasa sakit itu sebagai cambuk untuk semangat menggapai impian, berkarya, dan melakukan banyak hal positif. Percayalah, pada akhirnya prestasilah yang berbicara. Penulis pun merasa sakit hati ketika dibuli dan direndahkan apalagi ketika saudara sendiri yang membuli, tapi saya lebih jauh sakit hati bila nilai akademik sekolah saya jelek, saya jauh lebih sakit hati bila tidak bisa sekolah setinggi-tingginya, dan hati saya seperti tercabik-cabik bila saya ini tidak bisa membantu orang lain atau melakukan hal positif/ bermanfaat/ berguna untuk orang lain. Jadi rasa sakit hati karena dibuli buat penulis bukanlah perkara besar, yang saya lakukan move on , step forward, left them behind. Itu juga yang saya ajarkan pada adik saya untuk tidak usah mengingat-ingat rasa sakit hati yang dilakukan oleh para pembuli, lupakan dengan fokus sekolah, belajar, berkarya, serta nikamati kehidupan yang dipunya sekarang dimana dikelilingi oleh orang-orang dan teman-teman yang luar biasa sayang padanya. "our life is wonderful", itulah yang saya ajarkan pada adik saya satu-satunya itu. Maka untuk kawan sekalian diluar sana yang saat ini mengalami pembulian dan direndahkan orang, fokuslah dengan masa depan yang hendak diraih dimasa depan, move on! Rencanakan kehidupan dengan baik dan matang, dan ukirlah prestasi. Dan jangan pernah takut mengalami kegagalan, terus berusaha, bekerja keras, dan jangan pernah menyerah. Ada pribahasa berkata, "gajah mati meninggalkan gadingnya", jangan sia-siakan waktu yang ada, gunakan waktu yang ada sebaik mungkin untuk berkarya, berkarya dalam bidang apa saja selagi positif dan membangun, jangan pedulikan apa kata pembuli. Hidup ini cuma sekali, maka gunakan kesempatan dikehidupan ini untuk membangun prestasi, menghasilkan karya, sekolah yang tinggi, dan membantu sesama. Bila suatu saat kita telah tiada, maka jejak kebaikan serta prestasi itulah yang kita tinggalkan. Percayalah, prestasi yang akan berbicara.

Maka, untuk anak-anak diluar sana atau kawan sekalian diluar sana yang saat ini mungkin sedang mengalami pembulian atau direndahkan orang, mulailah untuk bangkit dan tata hidup kalian, serta fokus dengan apa yang hendak diraih dimasa depan. Jangan pernah dengarkan apa kata mereka/ pembuli, tetap fokus dan semangat belajar disekolah. Sekolahlah yang tinggi. Jangan sia-siakan energi dan waktu hanya untuk mengurusi/ merespon para pembuli. Sebaliknya gunakan waktu yang ada untuk melakukan banyak hal positif, berguna/ bermanfaat untuk orang lain maupun komuniti. Bungkam mereka/ para pembuli dengan prestasi 👍👍

Note:
  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Do not copy this article without permissions
  • Dedicate to my father, the best of the best father in the world, Happy Father's Day 2020


No comments:

Post a Comment

After 2 Years of Stepping Down, Where is Ichikraft Now?

About two years ago, I made the decision that the Ichikraft Etsy shop closed temporarily. However, even until this day, I am still with the ...