Sudah sejak lama saya ingin menuliskan topik ini menjadi sebuah artikel tapi nampaknya belum sempat dan belum ada waktunya. Maklum saya ini ibu rumahtangga tapi banyak sibuk dengan pekerjaan yang harus diurus. Ya, merokok sepertinya sekarang sudah menjadi "budaya" ya di Indonesia? Heh...budaya kok merokok ya? Pastinya ini adalah sebuah budaya tidak bagus dan tidak bisa ditiru serta tidak mendidik. Dan saya adalah salah satu orang yang sangat, sangat, sangat, tidak suka dengan perokok. Jika ini sudah menjadi budaya, maka ini adalah sebuah budaya yang mematikan.
Bertahun-tahun lalu saat penulis masih dibangku Sekolah Dasar mungkin kelas 2 atau 3, saat itu sore hari mungkin sekitar jam 7 malam bapak penulis merokok diruang tamu. Saya langsung protes keras karena bau asapnya menyesakkan hidung dan sangat mengganggu. Boleh percaya, boleh tidak, bapak penulis langsung mematikan rokoknya tanpa marah atau merasa tidak suka. Dan sejak itu tidak pernah merorok dirumah. Ya, saya tidak tahu apakah dikantor merokok (waktu itu bapak penulis masih bekerja di sebuah perusahaan besar), tapi setahu saya dikantong baju kerjanya hanya ada permen dan tidak pernah ada bau rokok dibaju kerjanya. Dirumah masih ada sedia rokok tapi itu hanya untuk tamu yang datang. Tapi setelah tidak bekerja di perusahaan besar tadi, bapak penulis sudah tidak menyediakan rokok dirumah untuk tamu yang datang. Ya, bapak penulis itu orang realistis, tidak mau membuang-buang uang hanya untuk membeli rokok, karena untuknya dari pada dibelikan rokok lebih baik dibelikan makanan/ jajan untuk anaknya, misal untuk beli bakso. Apalagi setelah kondisi keuangan berubah 360 derajat pada tahun 1995.
Saya lahir dan besar didesa kecil ditanah sumatera. Di lingkungan desa waktu itu, orang-orang desa memang kebanyakan bapak-bapak adalah perokok dimana kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani, tukang bangunan, dan kerja serabutan. Tapi intensitas merokok mereka jarang, karena mencari uang untuk makan sehari-hari saja susah. Untuk mereka lebih baik uang yang didapat dibelikan beras dari pada untuk membeli sebungkus rokok. Ya bapak-bapak warga desa ini perokok tetapi mereka tidak serta merta menggunakan uang hasil kerjanya untuk membeli rokok. Tidak semudah itu. Setahu dan seingat penulis, para bapak-bapak ini merokok kala ada kendurian dimana rokok disediakan disana. Atau kala mereka kerja membangun rumah seseorang, istirahat jam makan siang mereka baru merokok, itu pun kalau rokoknya disediakan oleh pemilik rumah. Untuk mereka rokok bukanlah sebuah kebutuhan penting yang harus dibeli tiap hari, untuk mereka yang penting adalah bisa membeli beras setiap hari untuk makan anak dan istrinya dirumah. Simple dan sederhana kan cara berpikir mereka. Jadi untuk anak-anak masih punya lingkungan bagus dimana kami masih bisa menghirup udara segar.
Bagaimana dengan pemuda/ remaja-remaja dilingkungan desa saat itu. Generasi seangkatan dengan penulis, banyak diantara mereka adalah generasi bagus dan patut ditiru. Kenapa? Karena banyak diantara kawan yang penulis kenal saat itu mereka adalah generasi yang memiliki aktifitas positif dalam lingkungan masyarakat. Namun generasi selanjutnya adalah generasi perokok dimana kebanyakan dari mereka pada putus sekolah (karena tidak ada niat untuk sekolah), hidup tergantung orangtua, tidak punya pekerjaan/ punya pekerjaan tapi serabutan. Kerjaannya setiap hari hanya naik motor kesana-kemari, nongkrong disana-sini, sambil merokok dan haha hihi... Tidak hanya itu, mereka juga suka minum-minuman keras. Saat itu banyak kejadian para remaja-remaja mengalami kecelakaan dikarenakan mereka kebut-kebutan dijalan. Diantaranya meninggal dan salah satunya adalah tetangga penulis sendiri. Sayang sekali, orangtua sangat jelas sekali mampu membiayai sekolah sampai jenjang universitas tapi si anak memilih menjadi anak liar. Miris sekali melihatnya... Kadang penulis tidak habis pikir, banyak diantara mereka berkata tidak sekolah karena tidak punya uang tapi mereka malah kredit motor dan ber-hape ria, merokok setiap hari, minum kopi... Untuk saya ini tidak masuk akal sama sekali. Padahal saya dan kawan -kawan penulis pulang sekolah kami bekerja, tapi generasi selanjutnya pulang sekolah nongkrong, atau bahkan ponteng sekolah (membolos).
Diumur 16 tahun penulis sudah mulai merantau untuk merenda masa depan yaitu masuk bangku universitas. Waktu itu ketika menempuh
study strata 1 di kota Yogyakarta, kawan-kawan penulis adalah pribadi sopan dan menghormati yang lain. Artinya apa? Saya tahu banyak diantara mereka adalah perokok, bahkan diantara mereka ada yang biasa ke
club malam, namun mereka tidak pernah merokok dilingkungan kampus, atau merokok dijam istirahat. Dan kawan-kawan penulis ini tidak pernah sama sekali merokok didepan kawan-kawannya yang bukan perokok meski berada diluar lingkungan kampus. Itulah kawan penulis. Bagaimana dengan mahasiswa jaman sekarang? Saya pernah melihat disalah satu video tentang anak-anak mahasiswa disalah satu universitas negeri ternama di Indonesia dimana saya lihat ada yang merokok padahal masih berada dilingkungan kampus. Kadang kalau penulis pikir, status masih mahasiswa, uang masih dari orangtua tiap bulan, tapi merokok (membeli rokok)? Sementara para pelajar/ mahasiswa diluar negeri sana mereka sekolah sambil bekerja
part time.
Saya dan suami saat ini sudah hampir 8 tahun berdomisili di Singapura. Kami setiap tahunnya kadang sekali atau 2 kali datang berkunjung ke Indonesia. Dari kunjungan kami ini, saya/penulis suka memperhatikan sekitar terutama kota yang kami tuju, tahun demi tahun ada kah kemajuan atau ada kah yang berubah disana. Kadang saya pun suka berdiskusi ringan dengan suami dengan kemajuan yang ada. Dan sudah beberap tahun ini, mungkin kurang lebih 3 tahun belakangan kami berdiskusi masalah perokok, karena kami merasa sudah tidak nyaman lagi untuk datang dan jalan dikota yang kami tuju. Ya tahun demi tahun bisa dilihat, dimana-mana perokok.
Kami selalu berdiskusi kenapa selama bertahun-tahun dari dulu hingga sekarang harga rokok kok murah sekali, punya uang Rp. 10.000; saja sudah bisa membeli sebungkus rokok. Sementara di Singapura harga sebungkus rokok $13 atau sudah diatas seratus ribu rupiah bila dirupiahkan. Ini aja harganya akan naik lagi karena pemerintah Singapura akan menaikkan cukai rokok. Menurut saya dan suami harga $13 itu masih murah karena seharusnya naik lagi harganya. Seperti di Australia misalnya harga rokok paling tidak $30. Mahal ya, iya memang seharusnya rokok harganya mahal. Lha kalau harganya Rp. 10.000; per bungkus seperti di Indonesia ya sudah pasti semua kalangan pada merokok. Dan itulah yang terjadi di Indonesia kenapa jumlah perokok naik terus bila diperhatikan.
Banyaknya perokok di Indonesia juga dikarena tidak ada aturan dari pemerintah Indonesia tentang rokok. Lha bagaimana ada aturan tentang merokok sementara para pejabatnya saja "pengabdi" rokok. Saya dan suami pernah datang kesalah satu kantor pemerintah daerah, wow disana kami disuguhi pemandangan dimana para pekerja yang katanya pengabdi masyarakat merokok secara bebas didalam kantor, yang lain nyanyi-nyanyi sambil main hape. Oh ini kah cermin para pengabdi negara di Indonesia yang seharusnya memberi contoh teladan bagi masyarakat. Di Singapura, disini ada aturan tentang merokok. Anak dibawah umur/ remaja tidak boleh membeli rokok. Merokok sembarangan juga ada dendanya, ingin tahu berapa dendanya? Dendanya bisa sampai $1,000 (silahkan dirupiahkan sendiri seribu dollars tuh berapa rupiah). Pernah saya baca tulisan orang Indonesia yang berwisata ke Singapura, katanya merokok tidak begitu ketat bisa kok merokok dimana saja. Lha coba saja tinggal dilingkungan
resident warga, terus merokok ditempat dilarang merokok contohnya
corridor, membuang puntung rokok sembarangan misal dilempar begitu saja dari jendela dapur
flat-nya, terus ada yang memotret prilaku ini dan dilaporkan ke
NEA (National Environment Agency), tak perlu menunggu waktu lama pasti langsung kena denda sampai $1,000. Jadi di Singapura perilaku seperti ini bisa dilaporkan kebadan pemerintah yaitu
NEA.
Suatu ketika kami makan disalah satu tempat perbelanjaan disalah satu kota di Indonesia, tempat itu semi terbuka. Jadi tempat makan ini adalah salah satu pintu masuk menuju kepusat perbelanjaan ini. Meski semi terbuka tapi jelas-jelas ada tulisan dilarang merokok. Tetapi apa yang terjadi, ketika kami sedang makan menikmati makanan seperti pecel, tahu goreng, dan bakso, tiba-tiba ada pengunjung yang juga makan ditempat tersebut mereka sambil merokok. Ketika jam kerja
shift berakhir para pekerja dipusat perbelanjaan tersebut duduk bersama teman-temannya ditempat makan tersebut dan sambil merokok (baik perempuan dan laki-laki). Dilain waktu kami memutuskan untuk makan dilantai atas dipusat perbelanjaan yang sama. Tujuan kami adalah menghindari tukang rokok ditempat makan dilantai bawah tersebut. Namun apa yang terjadi, ketika kami sedang menikmati makanan, tiba-tiba bau rokok. Siapa kah yang merokok ditempat makan yang katanya disebut
"food court"? Yang merokok adalah salah satu dari pekerja yang menjual makanan disitu. Saya geram dan marah sekali. Tanpa menunggu lama kami langsung meninggalkan tempat makan tersebut.
Jadi saya dan suami ketika berkunjung di Indonesia, saat ini selalu memutuskan untuk makan di tempat yang benar-benar bagus hanya untuk menghindari perokok. Padahal saya dan suami sangat suka sekali makan makanan yang dijual dipinggir jalan/ warung makan pinggir jalan atau tempat makan biasa. Namun kami sudah tidak bisa menikmati lagi karena dimana-mana perokok, baik penjualnya, pembelinya, serta orang-orang sekitarnya. Selain itu baru jalan kaki sebentar keluar hotel sudah ada perokok disana-disini. Pernah kami mengunjungi sebuah tempat wisata lokal, tadinya kami sangat
excited karena pemandangan sekitar hijau dimana-mana, eee...baru masuk dari pintu masuk wisata, baru saja beberapa menit saya sudah mencium bau rokok! Padahal disitu banyak anak-anak yang berkunjung. Parahnya lagi orang-orang ini merokok didepan anaknya, sambil jalan-jalan melihat pemandangan bersama anak-istrinya mereka merokok. Saya geleng-gelen kepala...Tadinya kami datang ke kota ini ingin istirahat sejenak melepas penat dan stress karena rutinitas harian, tapi disini kami malah tambah penat dan stress karena perokok dimana-mana... Sudah menjadi sebuah budaya kah merokok ini? Maka jawaban saya adalah
IYA. Nampaknya merokok sudah menjadi budaya di Indonesia.
Saya/ penulis selalu heran, bila diperhatikan orang-orang yang merokok ini pekerjaannya biasa (bukan bermaksud merendahkan pekerjaaan orang lho ya), tapi baik perempuan maupun laki-laki saat ini sudah biasa merokok. Bila ditotal dalam sebulan, misal sehari habis satu bungkus rokok saja, dalam sebulan sudah diangka 300 ribu - 500 ribu Rupiah? Lah Uang segitu apa tidak sayang hanya untuk membeli rokok apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga? Selain uangnya sayang, merokok juga artinya menabung penyakit. Tidak hanya merugikan bagi si perokok itu sendiri, namun juga kesehatan orang sekitar (misal anak-istri) juga ikut terganggu. Lucunya lagi bila si perokok ini adalah tenaga kesehatan/ medis atau memiliki istri/ suami tenaga medis/ kesehatan. Miris kan mendengarnya?
Ya, merokok tidak ada untungnya sama sekali, kata suami penulis bilang merokok adalah membakar uang. Kalau orang realistis seperti kami, uang segitu lebih baik ditabung, atau digunakan untuk membeli bahan makanan sehat, buah misalnya. Apalagi di Singapura, pemerintah mengharuskan warganya menabung 20 persen penghasilannya untuk tabungan hari tua dan jaminan kesehatan supaya dihari tua nanti tidak minta-minta uang sama anak-anak. Bagaimana dengan para perokok di Indonesia? Bukan kah sebaiknya uang yang pakai untuk membeli rokok ditabung, bisa untuk tabungan keluarga, pendidikan anak, uang hari tua, atau untuk jaminan kesehatan. "Wah tapi saya kaya kok, punya cukup uang untuk itu semua jadi tidak masalah membeli rokok sampai 10 bungkus tiap hari!" Ya, silahkan saja merasa punya uang dan membeli rokok/ merokok. Tidak kah lebih baik kalau merasa kaya/ mampu menggunakan uangnya untuk membantu sesama? Melakukan hal positif dan bermanfaat untuk orang lain dan sekitarnya.
Menurut penulis, orang-orang perokok adalah orang arogan dan tidak peduli dengan sekitarnya. Waktu itu saya dan suami sedang berkunjung ke kota Yogyakarta, kala itu kami mampir dan ingin makan makanan ala orang kampung kalau orang bilang, seperti lodeh, sayur asem, tempe goreng, kerupuk dll... Warung makan ini cukup ternama dan kebetulan saat kami makan diwarung tersebut datanglah seseorang yang cukup dikenal dan ternama di Indonesia. Tadinya/ sebelumnya saya melihat orang ini bisa menjadi panutan/ teladan
public. Tetapi setelah ia beserta koleganya/ kawan-kawannya merokok sambil makan sambil ngobrol, tanpa memperhatikan orang sekitarnya, apakah orang sekitarnya perokok atau bukan, saya melihat sosok orang ini tidak lebih dari seorang perokok yang arogan. Saya dan suami saat itu sempat berpindah meja sampai 2 kali untuk menghindari asap rokok orang-orang ini. Dan pada akhirnya kami langsung angkat kaki dari tempat makan tersebut. Saya pun sudah tidak melihatnya sebagai
public figure yang baik. Karya-karyanya bagus memang, tapi karena perilakunya itu membuat saya tidak
respect lagi. Ya, baik seorang
public figure dan orang biasa, kalau mereka adalah perokok, maka mereka sudah pasti orang yang
selfish (hanya mementingkan diri sendiri), arogan dan tidak peduli sekitarnya. Dengan hanya membeli rokok saja sudah termasuk arogan dan
selfish menurut saya/ penulis, kenapa? Membeli rokok kan tidak ada manfaatnya dan tidak ada hal positifnya baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Bukan kah seharusnya uang yang pakai untuk merokok itu dibelikan sesuatu yang bermanfaat untuk keluarganya misalnya, atau..disumbangkan diberikan pada mereka yang berkurangan.
Ada hal menarik lainnya tentang perokok. Buat penulis ini aneh, bayangkan ada orang suka pergi ke tempat
fitness atau
gym tetapi mereka pulang
fitness merokok? Lah terus maksudnya masuk tempat
fitness/ gym itu apa? Hanya ingin punya badan keliatan bagus saja biar terlihat bagus/ keren dimata lawan jenis, atau biar terlihat sehat dimata orang, tetapi aslinya adalah
"zero". Dimata penulis orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang hanya berpura-pura menjadi orang sehat saja. Ya itu tadi hanya ingin punya badan terlihat bagus saja tetapi didalamnya "keropos". Ada kah orang-orang seperti ini? Jawaban saya adalah
ADA! Menarik bukan topik ini? Ya, sangat menarik!
Saya bersyukur bapak penulis sadar bahwa merokok adalah hal buruk apalagi didepan anak-anak. Selain asapnya mengganggu orang-orang sekitar, merokok juga menabung penyakit. Bapak penulis pun sadar bahwa merokok tidak ada untungnya malah membuang-buang uang. Ya, bapak penulis adalah orang yang rajin menabung, menghemat uang, dan bekerja keras serta menggunakan waktu sebaik-baiknya dengan melakukan hal positif dan bermanfaat. Artinya tidak ada waktu santai-santai/ menganggur sambil merokok. Waktu yang ada dipakai sebaik mungkin untuk berkarya meski hanya sebuah karya kecil. Itulah hal yang saya pelajari dari bapak penulis. Dan saya pun bersyukur karena suami penulis bukanlah perokok. Lah kalau perokok saya tidak mau menikah dengannya. Untuk saya/ penulis, memiliki suami perokok tidak ada dalam "kamus" penulis. Penulis bukan seorang wanita yang mau memiliki seorang suami perokok, suka minum kopi, apalagi yang suka menggosok batu akik, suami seperti ini tidak ada dalam "kamus" saya/ penulis. Maka dari itu untuk para lajang/
single (baik laki-laki maupun perempuan) diluar sana, jadilah seseorang yang berpikir cerdas dan realistis, jangan mau menikah dengan seorang perokok.
Hal menarik lainnya tentang perokok ini adalah ketika membawa perilaku buruknya ini sampai dinegeri orang. Tidak usah jauh-jauh misal Singapura. Saya pernah membaca tulisan pengalaman orang Indonesia yang sedang berkunjung ke Singapura. Disana ia menuliskan bahwa ia dengan bangga telah mengelabui pihak hotel dimana ia merokok ditoilet kamarnya. Satu hal pertanyaan penulis, kok tidak malu dengan perilakunya itu? Alih-alih malah merasa bangga? Membawa kebiasaan/ perilaku buruk sampai dinegeri orang ini sungguh memalukan dimata penulis. Dari pada memperlihatkan perilaku buruk, bukan kah lebih baik kita menunjukkan prestasi kita dinegeri orang, hal positif apa yang kita lakukan dinegeri orang. Karena ketika kita datang kenegeri asing, disana dengan serta merta kita membawa nama negara asal yaitu Indonesia.
Ya, kini nampaknya merokok sudah menjadi budaya di Indonesia. Memang sudah sejak dulu banyak perokok, tetapi bedanya kalau sekarang hampir disetiap sudut tempat dimana-mana akan mudah ditemui orang merokok. Bukan hal asing lagi ya, sesudah makan merokok, sedang istirahat kerja merokok, sehabis kerja merokok, nongkrong merokok sambil minum kopi,
chit chat haha hihi dengan teman-teman sambil merokok, atau bahkan sedang jalan ditempat umum/
public sambil merokok. Tanpa canggung dan malu para perokok ini merokok dimana saja, sesuka mereka tanpa memikirkan orang lain apakah orang lain terganggu dengan asap rokok mereka, apakah orang sekitar ada yang sedang sakit. Yang membuat hati saya miris para perokok ini merokok santai didepan anak-anak mereka/ dilihat oleh anak mereka baik dirumah maupun ketika berada diluar rumah. Hal seperti ini selalu saya lihat di Indonesia. Tidak sadar kah mereka adalah orangtua yang tugasnya mendidik anak dengan baik dan memberi contoh teladan yang baik untuk anak-anaknya. Dengan perilaku merokok didepan anak-anak artinya para perokok yang berstatus sebagai orangtua, mereka mengajarkan anak mereka untuk merokok dan memberitahu bahwa merokok adalah hal biasa. Maka tidak heran, ketika anak-anak ini dewasa mereka menjadi generasi perokok juga, atau kalau pun tidak merokok mereka menikah dengan seorang perokok. Mengapa demikian? Karena menurut mereka merokok adalah hal biasa dan lumrah serta tidak ada yang salah dengan perilaku ini. Maka ketika sudah menjadi orangtua berhati-hatilah dalam bersikap, berbicara, serta berperilaku.
Note
- Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
- Do not copy this article without permissions