Berasal Dari Desa, Gaji Bapak Saya Rp. 50.000; per bulan, Tapi Bisa Sekolah ke Universitas dan Tinggal di Singapura

Banyak kawan bertanya, "kok bisa di Singapura? Nikah dengan orang luar, kah, nikah dengan orang Singapura, kah?". Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali ditanyakan, hingga saya bosan menjawabnya. Tapi saya bisa memahami apa yang ada dalam pikiran mereka, secara nyata sulit untuk dipercaya, saya yang notabene asal dari desa, punya bapak juga bukan siapa-siapa, tapi bisa sekolah kebangku universitas, kemudian pindah dan menetap di Singapura. Boleh percaya, boleh tidak, bapak saya gajinya cuma Rp. 50.000; per bulan, tentu secara nalar semua itu mustahil untuk saya raih, tapi itulah kehidupan yang selalu saya bilang "my wonderful journey".

Cerita berawal ketika bapak kehilangan pekerjaan serta kehabisan uang. Dulu-dulunya bapak adalah seorang pekerja sukses disebuah perusahaan besar didaerah kami. Meskipun hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama, namun bapak orangnya rajin dan mau belajar, karena pada dasarnya orangnya sangat pintar dan cerdas, hanya karena kondisi saja yang membuat ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Waktu itu, disaat orang-orang sekitar/ tetangga-tetangga kami bergelut mencari uang untuk makan sehari-hari, kami sudah bisa membeli apa yang kami mau. Setelah bekerja keras selama 20 tahun dimulai dari "zero" alias NOL, karir bapak melejit, lulusan Sekolah Menengah Pertama tapi bisa mendapatkan posisi bekerja dibelakang meja alias kerja kantoran, disukai perusahaan bahkan menerima penghargaan sebagai karyawan teladan, juga dibiayai kursus komputer oleh perusahaan. Maklum tahun 1990-an apalagi didaerah, orang yang bisa pegang komputer masih jarang dan orang-orang seperti ini akan sangat berharga bagi perusahaan. Kesuksesan karir itu membawa petaka, bapak dituduh melakukan sesuatu diperusahaan yang sebenarnya tidak pernah dilakukannya, kata gampangnya "someone set him up", dan saya tahu tidak hanya seorang saja, namun beberapa teman kantornya yang notabene adalah kawan sendiri, "menjebak" bapak dalam"permainan kotor dan licik" mereka. Tujuannya adalah "menendang" jauh-jauh bapak keluar dari perusahaan untuk selamanya.

Setahun lamanya bapak "bertarung" dipengadilan, sampai akhirnya menyerah karena uang sudah habis dan saya/penulis sudah akan lulus Sekolah Dasar. Selama setahun itu status bapak masih karyawan perusahaan namun sejak kasus bergulir bapak sudah tidak diberi gaji. Menurut saya sangat aneh karena keputusan pengadilan belum keluar/ hakim belum "ketok" palu. Ya, terlihat sekali disana banyak orang beramai-ramai bekerja sama untuk "menendang" bapak penulis. Pernah bapak berkata bahwa ia akan memenangkan kasus ini yaitu dengan naik banding ke Jakarta, tapi apa yang terjadi? Menurut saya ini ya, dengan sungguh licik dan keji "mereka" memberi ancaman pada bapak, "percuma kamu banding ke Jakarta, kamu akan kalah karena kami punya uang, kamu banding ke Jakarta kamu akan kalah dan masuk penjara, tapi kalau kamu tidak banding "kami" akan menutup kasus dengan syarat kamu harus mengundurkan diri secara tidak terhormat dari perusahaan." Terlihat sekali "mereka" beramai-ramai menjatuhkan bapak penulis. Yang saya yakini "mereka" telah merencakan perbuatan keji itu sejak lama. Kasus itu bergulir sejak penulis kelas 5 Sekolah Dasar sampai kelas 6 Sekolah Dasar hingga akan masuk Sekolah Menengah Pertama. Sejak itulah saya sudah mengerti sebutan "hakim disuap", "saksi mata palsu", "penghilangan bukti", dan sebagainya. Akhirnya bapak memilih mengundurkan diri secara tidak terhormat yang saya yakini itu adalah pilihan tersulit dalam hidupnya. Tapi kami masih bersyukur selama proses setahun pengadilan ada orang baik yang mendampingi bapak yaitu seorang pengacara yang juga teman bapak sendiri. Saya tidak tahu siapa pengacara ini, namanya, juga tempat tinggalnya, dan secara pribadi dalam tulisan ini saya sangat berterimakasih padanya karena telah mendampingi bapak disaat tersulit. Ya, Pekerja teladan, berprestasi, pintar, dan jujur itu akhirnya tumbang dengan harga diri terinjak-injak. Hanya karena iri dengki dengan kesuksesan seorang teman, "mereka" sanggup melakukan hal keji pada kawan sendiri, memfitnah sampai bersekongkol mengorak-arik kehidupan karir bapak. Hal ini tidak hanya berdampak pada bapak yang harus kehilangan karirnya tapi juga saya yang terancam putus sekolah dan tidak tahu akan bagaimana masa depan saya dan adik saya nantinya. 

Sejak saat itu bapak, juga saya/ penulis memulai "babak" baru dalam hidup dimana bapak bekerja sebagai seorang buruh pabrik dengan gaji Rp. 50.000; per bulan. Gaji ini bertahan hingga satu tahun pertama bekerja, ya bekerja 8 jam kerja dengan pekerjaan kasar dan berat hanya digaji 5 SGD perbulan. Dengan gaji itu hanya mampu bertahan untuk biaya makan mungkin kurang dari seminggu karena ada biaya SPP disekolah yang harus dibayarkan tiap bulan. Ditambah lagi saat itu tahun 1996 saya/ penulis akan memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama atau SMP. Saat itu bapak penulis tidak punya uang sepeserpun untuk memasukkan penulis kebangku Sekolah Menengah Pertama! Kenaikan gaji dipabrik tempat bapak bekerja tiap tahun hanya sedikit sekali, kalau tidak salah selama penulis dibangku Sekolah Menengah Pertama atau SMP, gaji bapak hanya naik sampai diangka Rp. 150.000; (seratus lima puluh ribu rupiah) per bulan. Selama dibangku Sekolah Menengah Atas atau SMA, gaji bapak kalau tidak salah paling tinggi sekitar Rp. 250.000; (dua ratus lima pulus ribu rupiah) per bulan, naik menjadi Rp. 400.000; (empat ratus ribu rupiah) per bulan itu saat penulis dibangku kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Setelah memasuki bangku Universitas gaji bapak masih berkisar Rp. 400.000; (empat ratus ribu rupiah) sampai naik lagi Rp. 500.000; (lima ratus ribu rupiah) per bulan.  Dan ini juga menjadi awal kehidupan keras untuk saya. Mengapa demikian? Karena saya juga harus bekerja, mengumpulkan uang demi memenuhi kebutuhan sekolah, seperti tas sekolah, sepatu sekolah, buku-buku tulis, text books (buku-buku panduan dll), pena, pensil dsb...ya semua itu saya penuhi sendiri dengan uang yang saya kumpulkan dari hasil saya bekerja. Semua kebutuhan sekolah saya penuhi sendiri. Saya memutuskan untuk bekerja karena saya kasian melihat bapak saya itu. Dengan bekerja paling tidak bisa meringankan beban bapak meski hanya sedikit.

Kehidupan kami berubah 360 derajat. Bapak yang tadinya berpakaian licin, wangi, bersepatu mengkilap, dan bekerja duduk diruangan ber-AC namun kini bekerja sebagai buruh pabrik berpakaian lusuh bersepatu boot dengan kaos kaki bolong bekas saya, harus bergelut dengan bau busuk dipabrik setiap hari, dan menaiki sepeda butut setiap harinya. Kadang saya sering khawatir bila hujan badai tengah malam dan bapak berangkat kerja. Karena bapak berangkat kerja ditengah malam buta, naik sepeda butut, dan hanya memakai jas hujan seadanya dengan berpayung ditengah hujan angin lebat. Ya pabrik beroperasi 24 jam, maka para pekerja seperti bapak bekerja 3 shift, masuk kerja pagi pulang sore, masuk sore pulang tengah malam, dan masuk tengah malam pulang pagi hari. Belum lagi cemo'oh dan kata-kata merendahkan dari para tetangga juga saudara. Dulu saat bapak masih kerja kantoran saudara juga tetangga segan dengan bapak, bila ada kesulitan saudara akan meminta bantuan bahkan bapak menyekolahkan 2 adiknya. Hal itu bapak lakukan supaya suatu saat bila bapak kesulitan gantian saudara akan membantunya. Namun setelah bapak tidak punya uang kerja hanya buruh pabrik, saudara "menutup mata" dan tetangga yang tadinya datang di Hari Raya kini hanya lewat sebelah rumah saja. Menyedihkan, bukan? Ya, sangat menyedihkan. Itulah manusia, kalau kita punya uang orang-orang mendekat, tapi kalau kita jatuh miskin orang-orang menjauh.

Saat itu saya/ penulis bekerja setelah jam sekolah, jam 1.30 siang, jam 4.30 sore kembali kerumah untuk membantu pekerjaan rumah dan mandi. Setelah itu kembali lagi bekerja, atau terkadang tidak kembali bekerja karena harus belajar dulu. Tapi kadang kembali lagi bekerja setelah jam 7 malam kemudian kembali kerumah jam 9 malam kadang 9.30 malam. Pekerjaan saya adalah membungkus makanan ringan, seperti kerupuk dan keripik. Kebetulan sekitar rumah bapak saat itu banyak industri kecil rumahan. Diakhir pekan dan libur sekolah saya bekerja dari jam 8 pagi (setelah selesai membantu pekerjaan dirumah) sampai diatas jam 9 malam, kadang bisa sampai jam 11 malam baru pulang kerumah. Ya, saya hanya istirahat tengah hari, pulang dan makan dirumah, kemudian kembali bekerja. Jam 4.30 sore kembali lagi kerumah untuk membantu pekerjaan dirumah, mandi, kemudian kembali bekerja lagi. Pekerjaan ini saya lakukan hingga kebangku Sekolah Menengah Atas atau SMA saja. Karena saat belajar di Universitas, fokus saya cuma satu yaitu lulus S1 secepat mungkin untuk kemudian mulai setapak semi setapak meraih kehidupan yang cerah dimasa depan. Karena saya tidak punya waktu banyak untuk berleha-leha. Puji syukur saya/ penulis lulus S1 Ekonomi  Management dalam waktu 3,5 tahun dan sebagai lulusan terbaik. Mungkin lain waktu saya/ penulis akan menuliskan diartikel lain tentang bagaimana perjuangan penulis saat sekolah dibangku Universitas.

Berapa gaji yang saya/ penulis dapat dari pekerjaan membungkus makanan ringan saat itu? Gaji diberikan seminggu sekali, dalam seminggu itu saya bisa mendapatkan gaji kurang lebih Rp. 7.000; ya tujuh ribu rupiah per minggu. Bila libur sekolah tiba, gaji saya seminggu bisa sampai Rp. 15.000; (lima belas ribu rupiah per minggu), ya karena libur sekolah bekerja dari pagi hingga malam hari. Dengan penghasilan itu saya bisa membeli peralatan sekolah sendiri serta memenuhi kebutuhan sekolah lainnya, juga buku-buku bacaan lainnya. Saat itu saya suka membaca majalah Bobo, dan biasa membeli majalah Bobo bekas dipasar. Sebenarnya saya suka membaca buku tetapi hanya majalah Bobo bekas inilah yang bisa saya beli. Itu pun majalah Bobo bekas dengan harga Rp. 3.000; (tiga ribu rupiah) sudah sangat mahal untuk saya. Satu hal kebiasaan saya, yaitu menabung uang saku yang tiap hari diberi ketika berangkat sekolah. Uang saku saya ketika Sekolah Menengah Pertama berkisar Rp. 200; (dua ratus rupiah) per hari, kadang Rp. 500; (lima ratus rupiah) untuk 3 hari. Sewaktu dibangku Sekolah Menengah Atas uang saku penulis berkisar Rp. 1.000; (seribu rupiah) per hari, kadang kalau ada uang diberi Rp. 5.000; (lima ribu rupiah) untuk 3 hari. Uang saku ini biasanya saya masukan tabungan alias celengan kendi yang terbuat dari tanah liat. Saya masih ingat harga celengan kendi tanah liat ini harganya Rp. 300; (tiga ratus rupiah satu biji) ini yang paling kecil kendi celengannya. Tiap tiga bulan "kendi" saya pecah untuk kemudian saya belikan buku-buku text disekolah dan LKS (Lembar kerja siswa). Waktu itu sekolah masih punya sistem catur wulan ya, jadi celengan saya buka tiap tiga bulan untuk membeli keperluan buku-buku disekolah tadi. Sementara uang dari hasil kerja membungkus makanan digunakan untuk menambah-nambah membeli buku disekolah, membeli tas sekolah, sepatu, buku-buku tulis dsb... Ya, semua kebutuhan sekolah saya penuhi sendiri. Bahkan kebutuhan pribadi saya beli sendiri, misal beli body lotion, pembersih muka, tali rambut, dan ketika ada undangan ulang tahun dari teman, hadiahnya saya beli dengan uang saya sendiri. Kebutuhan pribadi itu saya beli dengan harga murah saja diwarung. Kalau begitu, bila uang saku itu saya tabung dicelengan, disekolah saya tidak pernah jajan? Saya tidak pernah jajan disekolah, hanya sesekali saja. Kadang-kadang saya itu malah membawa pulang siomay atau permen cokelat untuk adik saya dirumah. Padahal waktu Sekolah Menegah Atas atau SMA, saya itu baru sampai dirumah sore hari, kadang jam 4 sore, jam 4.30 sore, paling cepat sampai rumah jam 3 sore (tapi ini jarang sekali). Menahan rasa lapar itu sudah biasa untuk penulis.

Dengan uang hasil kerja membungkus makanan itu saya bisa membeli baju lebaran sendiri, ya murah-murahan dipasar kadang saya/ penulis hanya membeli kain Rp. 5000; per meter untuk baju lebaran. Kadang-kadang kainnya dikasih, ya si mbah putri yang memberi. Makanya ketika itu baju saya jelek-jelek tidak ada yang "fancy"/ bagus. Uang hasil kerja ini juga dipakai untuk membeli kado ulang tahun untuk adik satu-satunya. Mungkin saya ceritakan sedikit, waktu bapak masih memiliki pekerjaan bagus saya dan adik selalu diberi hadiah ulang tahun. Setiap tahun kami selalu menunggu saat-saat ini. Ketika bapak hanya seorang buruh tentu kebiasaan ini hilang. Untuk saya, saya bisa mengerti dan memahami kondisi bapak tapi untuk adik yang seorang tunagrahita hal ini sulit untuk ia pahami. Makanya sayalah yang membelikan hadiah ulang tahun untuknya setiap tahun, ya mungkin hanya mainan seharga Rp. 1.500; atau tas sekolah seharga Rp. 15.000; atau kaos kaki bergambar. Itu saja adik saya sudah sangat senang. Saya masih ingat, ketika ulang tahunnya tiba, adik saya ini suka berdiri didepan pintu kamar penulis karena ia tidak sabar menunggu kado apa yang hendak saya berikan.

Untuk diketahui saja, setelah bapak hanya menjadi seorang buruh kami tidak pernah membeli-beli pakaian. Kalaupun iya membeli pakaian biasa saya membeli pakaian bekas dengan harga Rp. 500; (lima ratus rupiah satu potong- entah atasan atau bawahan). Padahal sebelumnya biasa dibelikan pakaian terbaik kadang paling mahal dipasar, kadang sampai dibelikan kepusat kota oleh bapak. Kadang kalau saya meminta sesuatu yang tak lazim (pernah saya minta tas koper sekolah) maka bapak akan mencari dan membelikannya di pusat kota. Beli sepatu sekolah tadinya juga dibelikan sepatu bagus dan bermerk. Miris dan sedih nasib kami waktu itu. Tapi kami tidak akan pernah menyerah begitu saja, kalau bapak bisa tetap berdiri tegak  meski "berkeringat darah", mengapa saya tidak? Itulah pedoman hidup saya, dan itulah mengapa saya selalu  bersemangat sekolah dan tidak  menghiraukan rasa lelah dan kata-kata merendahkan serta cemo'oh dari orang sekitar. Bekerja setelah pulang sekolah, atau bekerja seharian bahkan sampai larut malam. Semua itu saya lakukan agar saya tetap bisa terus bersekolah dan meraih pendidik setinggi-tingginya agar suatu saat tidak akan ada orang yang berani merendahkan bapak saya. Serta memberi tanda pada "mereka" yang telah menjatuhkan bapak bahwa kami tetap tegak berdiri. Mungkin saat itu "mereka" tertawa-tawa karena berhasil "menjatuhkan" bapak saya hingga berkeping-keping, namun masa depan kita tidak pernah tahu... "The future hasn't written yet"..

Pekerjaan penulis lainnya saat itu adalah bekerja membantu tetangga membuat kue-kue pesanan untuk Hari Raya/ Lebaran. Karena jelang Lebaran biasanya produsen snack libur sementara. Saya bekerja setelah pulang sekolah, sore hari jam 4.30 sore kembali kerumah. Kadang kembali lagi bekerja membantu membuat kue-kue Lebaran sampai jam 9 malam. Kalau saya pulang sekolahnya sampai sore, jam 7 malam saya bantu tetangga buat kue-kue. Dan upahnya bukan uang lhooo...upahnya adalah sekantong kue. Buat saya meski upahnya bukan dalam bentuk uang, namun saya sudah senang. Mengapa? Karena dengan begitu saya/ penulis bisa makan kue-kue Lebaran tanpa membelinya. Terutama adik penulis, dia suka makan kue Hari Raya/ Lebaran jenis tertentu. Jadi, dengan cara bekerja membantu tetangga membuat kue-kue pesanan Lebaran, paling tidak saya bisa memberikan kue untuk adik saya itu tanpa harus mengeluarkan uang/ membeli.  Dan biasanya setelah kue-kue pesanan untuk lebaran sudah terpenuhi, pemilik usaha ini mengajak saya untuk membuat kue bersama dimana saya diberi hasilnya. Oya, satu hal lagi yang saya lakukan saat jelang Hari Raya, saya menggunakan sebagaian uang hasil kerja saya itu untuk membeli bunga pot sebagai penghias meja. Tentu saja bunganya bunga palsu ya. Saya tahu bapak suka hiasan bunga untuk dimeja, dan saya membeli untuknya. Saya masih ingat, waktu itu saya membeli bunga mawar tiga tangkai dengan harga Rp 7.000; kalau tidak salah ya. Mawarnya bagus seperti kaca dengan sentuhan glitter, ditambah dengan vas bunga kaca panjang. Sampai beberapa tahun bunga mawar ini masih terpajang dimeja.

Dengan cara bekerja itulah saya bisa terus bertahan untuk terus bersekolah. Waktu itu umur saya/ penulis 11 tahun dan sudah mulai bekerja. Saya tidak bekerja sendirian, namun ada beberapa kawan penulis (yaitu sahabat baik penulis) juga bekerja. Mereka bekerja membantu orangtuanya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan harian seperti kebutuhan makan. Bisa dibilang saya lebih beruntung karena saya bekerja mencari uang dan uangnya untuk memenuhi kebutuhan dan peralatan sekolah sendiri.  Sementara kawan-kawan saya itu uang hasil kerjanya dipakai untuk membantu orangtuanya membeli beras atau lauk makan sehari-hari. Ya, kalau tidak bekerja begini mungkin saya dropout dari sekolah atau hanya lulus Sekolah Dasar saja. Bayangkan, bapak kehilangan pekerjaan, tidak punya uang sepeserpun untuk memasukkan saya ke bangku Sekolah Menengah Pertama atau SMP. Sekalinya dapat pekerjaan gaji bapak hanya Rp. 50.000; per bulan. Dengan kondisi seperti itu secara nalar jelas saya tidak bisa sekolah apalagi bisa sekolah sampai Strata 1 di kota Yogyakarta. Tapi saya tidak patah semangat untuk terus sekolah, justru dengan keadaan bapak yang seperti itu membuat semangat saya terus membara untuk terus bersekolah. Yang ada dalam benak bahwa sekolah itu penting, karena sekolah ini adalah paspor saya mendapatkan kehidupan yang lebih baik dimasa depan, karena saya tidak hanya memikirkan masa depan saya sendiri namun juga masa depan adik saya satu-satunya. Maka dari itu saya/ penulis berusaha keras sebaik mungkin disekolah/ dalam bidang akademik, bahkan sampai detik ini penulis masih terus menuntut ilmu, belajar, dan masih akan terus bersekolah.

Bagaimana dengan bapak penulis? Meski bergaji Rp. 50.000; per bulan, namun bapak tidak pernah mengeluh. Alih-alih mengeluh bapak penulis malah rajin bekerja dan mempunyai pekerjaan sampingan lainnya, yaitu beternak dan berkebun. Kebetulan rumah bapak itu punya halaman dan pekarangan luas. Dengan halaman dan pekarangan rumah yang cukup luas, semua ditanami tanaman/ buah yang bisa dijual, seperti ditanami singkong, pohon nangka, pohon pepaya, nanas, lemon, jeruk nipis, dan kami juga punya pohon mangga, belimbing, rambutan, jambu air, tanaman bambu dsb...! dihalaman depan rumah bapak membuat taman bunga yang ditanami beragam jenis bunga seperti, bambu hias, anggrek merpati & jenis anggrek lainnya, melati, crape gardenia, bougainville, palm, black face general, lidah buaya, tanaman kuping gajah, bird nest plant, dll..! Tidak tahu kenapa, tiap jelang Hari Raya/ Lebaran bunga-bunga dihalaman rumah bapak itu bermekaran disaat yang bersamaan. Disaat itulah salah seorang tetangga meminta dan memetik bunga-bunga itu untuk kemudian dijual dipasar oleh tetangga kami. Dan bapak tidak pernah meminta uang bagian dari hasil penjualan bunga-bunganya itu. Ya dengan kehidupan yang sulit bapak masih membantu orang lain dengan caranya sendiri. Hasil ternak kambing bapak lumayan, tiap tahun bisa menghasilkan uang yang bisa dipakai untuk membayar kost penulis di Yogyakarta. Ternak ayam bapak juga lumayan, bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan mendadak, seperti misal mendadak butuh uang Rp. 50.000; atau Rp. 100.000; bisa menjual ayam. Hasil kebun yaitu lemon, jeruk nipis, nangka, nanas, pisang, juga pepaya, dipakai untuk memenuhi kebutuhan makan harian seperti membeli tempe dan sayuran. Sementara hasil panen singkong baik dari pekarangan sebelah rumah maupun dari ladang bisa panen tiap 3 bulan atau 4 bulan sekali, hasilnya lumayan antara Rp. 250.000; sampai Rp. 500.000; bisa didapat. Itu bapak saya sendiri yang mencangkul, menanam, dan merawat singkong dipekarangan rumah. Kadang-kadang ada tanaman cabe, bayam, tomat, tumbuh dengan sendirinya dipekarangan, kemudian dirawat oleh bapak dan kemudian bisa dipakai untuk makan harian. Yup benar sekali sering kami makan daun singkong dimana daunnya metik dari pekarangan sendiri. Sampai tanaman serai, daun pandan, lengkuas, kunyit, kencur, kami  punya dipekarangan. Bapak saya itu memang orangnya rajin, tidak ada waktu untuknya bersantai-santai menonton TV (kami punya TV tapi jarang berbunyi), ngopi-ngopi sambil baca-baca atau merokok, TIDAK, bapak tidak mengajarkan saya sebagai anaknya untuk menjadi orang malas-malasan. Justru bapak saya memberikan contoh teladan agar saya ini berkreatifitas, berkarya sekecil apapun itu. Yup, Sampai kotoran kambing-pun dikumpulkan oleh bapak, tiap pagi dan sore hari kandang kambing disapu untuk kemudian dikumpulkan kotoran kambing itu. Ya, kotoran kambing ini dijual  pada tetangga untuk memupuk tanaman sayuran diladang, ya berapa pun tetangga memberi uang untuk setiap kantong kotoran kambing bapak akan menerimanya. Itulah cara bapak membantu sesama, sama-sama saling membantu antar sesama orang "kere" kalau orang bilang. Dengan berkebun dan beternak inilah cara bapak penulis bertahan hidup dan menghidupi keluarganya, sampai bisa menyekolahkan penulis ke bangku universitas di Yogyakarta. Ya maklum, didesa saat itu (desa kecil di daerah Lampung) orang yang bisa menyekolahkan anak ke luar daerah ke Yogyakarta bisa dibilang hanya orang "berduit" saja. Sementara bapak saya itu bukan siapa-siapa tapi ternyata bisa mengirim saya sekolah ke kota Yogyakarta.

Siapa yang menyangka bapak menjadi "role model" untuk teman-teman sesama buruh dipabrik. Saya masih ingat setiap Hari Raya ada seorang teman bapak datang kerumah hanya untuk bertemu saya.  Karena ia kagum dengan bapak, buruh tapi bisa mengirim anaknya sekolah universitas. Teman bapak ini meneladani apa-apa yang bapak lakukan dalam menambah penghasilan. Jadi, teman bapak ini beternak kambing juga menarik becak selepas pulang kerja. Luar biasa bukan, bapak yang notabene seorang buruh pabrik bisa menularkan semangat hidupnya pada teman-temannya. Menjadi suri tauladan bagi orang lain. Luar biasa bapak penulis.

Ada satu lagi kebiasaan bapak saat itu yaitu setiap pulang kerja selalu membawa sebungkus nasi beserta sayur (biasanya sayur daun singkong dan ikan asin goreng). Tidak banyak hanya satu atau dua porsi. Ya, nasi dan sayur ini saya pastikan sisaan dari kantin pabrik dimana bapak bekerja. Mungkin dari pada sayang dibuang, bila ada sisaan makanan dikantin bapak akan membawanya pulang. Tidak ada gengsi atau bergaya-gaya-an, kalau memang ada sisa makanan dikantin pasti akan dibawa pulang oleh bapak saya. Kalau begitu apakah kami kekurangan makan? Saya katakan, saat itu dirumah nasi dan lauk seperti tempe kadang ikan asin selalu ada, karena selalu ada kebaikan yang kami dapatkan. Seperti misalnya dibelikan ikan oleh tetangga kami yang baik hati.

Satu hal lagi yang selalu saya syukuri yaitu ada tangan baik yang dikirimkan untuk membantu bapak. Ada seorang asing yaitu keturunan Chinese, ia bukan anggota keluarga dan tidak ada hubungan darah sama sekali, seseorang ini datang untuk membantu bapak disaat yang tepat, yaitu memberi bantuan tiap bulan pada kami, ia ingin membantu saya supaya bisa terus sekolah. Bantuan ini diberikan sejak penulis masuk bangku Sekolah Menengah Pertama / SMP hingga lulus Strata 1. Dan tangan-tangan Tuhan yang datang dimana saya/ penulis dipertemukan oleh orang baik dari Jepang saat kelas 3 Sekolah Menengah Atas atau SMA. Orang Jepang ini selalu men-support saya untuk semangat memasuki bangku kuliah. Bahkan saat saya sudah bekerja, orang Jepang ini masih terus memberi dukungan. Ada 3 kali ia mengirim bantuan uang pada saya karena dimasa itu saya mengalami kesulitan hidup. Oleh karenanya, sekarang giliran saya/ penulis membalas kebaikannya. Hingga detik ini kami bukan lagi teman, namun sudah seperti keluarga dan keluarganya (parent, sister, etc..) dengan sangat terbuka menerima saya. Ya, itulah kebaikan Yang Maha Kuasa dimana saya menemukan saudara-saudara dibelahan bumi lainnya, seperti Jepang, Belgia, Perancis, dan mungkin akan terus menemukan saudara baru  dibelahan bumi lainnya, tentu saja Singapura. Itulah yang saya sebut "A Beautiful life". Untuk saya, mereka-mereka yang mau membantu kita dalam keadaan susah, tidak menyakiti kita, dan akan tertawa bahagia bersama kita ketika kita bahagia dan sukses, mereka inilah saudara saya meskipun tidak ada hubungan darah sama sekali. Buat saya/ penulis, saudara tidak harus punya hubungan darah. Bahkan saya punya hubungaan baik dengan satu keluarga di kota Yogyakarta, dimana kami kenal sejak penulis masih sekolah dikota gudeg tersebut.

Disaat susah tidak ada saudara membantu, jangankan membantu dalam bentuk uang ya, hanya men-support menengok bapak-pun tidak, atau menanyakan apakah saya dan adik saya punya uang saku sekolah, apakah punya uang untuk beli tas sekolah/ sepatu sekolah juga tidak. Alih-alih membantu, mereka malah banyak mem-bully saya dengan menyebut saya adalah orang gila dan pengkhayal (gila  dan pengkhayal karena bapaknya tidak punya uang malah sekolah ke universitas dan punya cita-cita tinggi). Bahkan setelah bapak meninggal, waktu itu setahun setelah saya mendapatkan gelar Strata 1, mereka masih terus mem-bully dengan mengatakan bahwa saya adalah "pembunuh" bapak karena bapak meninggal gara-gara saya menghabiskan banyak uang untuk sekolah universitas. Kata "mereka" lagi, setelah lulus S1 katanya saya ini masih minta uang pada bapak dan menyusahkan saja. Katanya lagi, "sudah habis uang banyak ke universitas tapi saya tidak menghasilkan apa-apa dan tidak menjadi apa-apa". Ya itulah "mereka", menyebut dirinya saudara, berkata turut berduka cita atas meninggalnya bapak saja tidak, apalagi membantu menyekolahkan adik saya yang tunagrahita itu. Alih-alih membantu menyekolahkan adik saya, "mereka" malah merendahkan adik saya. Saya masih ingat, satu-satunya orang yang datang dan memeluk erat saya saat bapak meninggal adalah beliau yang membantu saya sekolah yaitu orang keturunan Chinese. "mereka" yang katanya masih saudara malah berkata kotor pada penulis (ini tidak layak saya tulis disini ya). Saya ingat betul saat bapak penulis meninggal, waktu itu saya mau pinjam uang pada "mereka" yang katanya saudara, sebesar Rp. 200.000; (dua ratus ribu rupiah) tetapi tidak diberi. Jangankan setelah bapak meninggal, sewaktu bapak hendak mengirim saya ke kota Jogja, bapak mau pinjam uang 1 juta pada saudara saja tidak diberi. Ada sedikit cerita dimana setelah saya wisuda Strata 1, kota Yogyakarta gempa besar yang memaksa saya harus keluar kota tersebut untuk memulai hidup dan mencari kerja. Tujuan saya saat itu adalah pergi ketempat salah satu saudara bapak penulis, yaitu kota pahlawan. Apa yang terjadi? 3 hari disana saya diusir disuruh pulang. Dipikir saya dan kawan saya ini bakal menumpang hidup disana. Padahal saat itu saya dan seorang teman makan dirumah "mereka" pun tidak. Yup, saya dan kawan saya ini tiap jam makan kami keluar membeli makanan sendiri. Dan kami saat itu sedang berdiskusi dimana saya akan mencari kost dan mulai mencari kerja dikota tersebut karena tidak mungkin mencari pekerjaan dikota Jogja setelah gempa besar. Yang miris lagi, orang yang katanya saudara ini tidak menanyakan apakah saya kondisinya baik/ tidak setelah mengalami gempa besar. Percayalah, kaki saya waktu itu keseleo dan bengkak. Saya masih ingat, waktu itu dihari ke-4 diantar kawan saya ini berjalan kaki sejauh 1 kilometer lebih untuk mencapai rumah tukang pijat. Itu, kah yang namanya saudara? Hari ke-5 pagi-pagi saya dan kawan saya angkat kaki dari rumah saudara ini dan kembali kekota Yogyakarta (padahal kami tahu kota Jogja menjadi seperti kota mati setelah gempa).

Setelah bapak meninggal, "mereka" yang katanya saudara beramai-ramai meng-claim bahwa "mereka" peduli dengan bapak penulis. Malah ada yang mengklaim telah membantu saya mulai dari saya sekolah universitas sampai menikah, ada yang bilang membantu saya membeli rumah etc...Wow! Kebohongannya sungguh luar biasa. Sewaktu menikah memang saya dan suami menikah dirumah seseorang yang katanya saudara karena saat itu saya masih berpikir positif pada "mereka". Tetapi percayalah bahwa kami hanya menikah registrasi saja, tidak ada pesta, maupun makan besar mewah dan enak, tidak ada. Ya, waktu itu modal menikah kami hanya sebesar 2 juta rupiah saja berasal dari tabungan sendiri selama 2 tahun, dan hanya syukuran seadanya. Yang miris lagi uang "angpao" pernikahan tidak ada sepeserpun yang diberikan pada kami. Jangankan diberikan ya, diberitahu siapa-siapa yang memberi "angpao" pernikahan pada kami pun tidak. Sampai suatu ketika ditahun 2015, salah satu orang pemberi "angpao" bertanya pada saya apakah saya ini menerima "angpao" pernikahan darinya. Dari situ saya tahu bahwa uang "angpao" pernikahan kami tidak ada yang diberikan pada kami. Orang yang memberi "angpao" pernikahan pun sungguh sangat kecewa karena ia dan ibunya memberi "angpao" bukan cuma seratus atau dua ratus rupiah, namun diangka 800 ribu rupiah. Si pemberi "angpao" pernikahan kami bertanya, "lantas kemana uang-uang "angpao"? Jawab saya, "saya tidak tahu." Ya, itulah yang terjadi setelah bapak penulis meninggal, beramai-ramai "mereka" serasa peduli dengan bapak dan beramai-ramai meng-claim banyak hal. Padahal dulu pernah bapak saya itu sakit parah jatuh dari atap rumah yang saya yakini tangan dan pinggangnya patah, "mereka" yang katanya saudara tidak ada yang muncul dipintu rumah bapak hanya sekedar menengok atau bertanya butuh bantuan biaya kerumah sakit tidak. Hanya teman sesama buruh saja yang datang menengok bapak saya itu. Saat itu bapak penulis tidak pergi kerumah sakit karena tidak punya uang. Hanya pergi ketempat pijat khusus. Itulah mirisnya hidup kami dulu, pergi kerumah sakit saja tidak punya uang.

Itulah "mereka" katanya saudara tapi tidak pernah tahu bahwa bapak saya itu buruh bergaji Rp. 50.000; per bulan, "mereka" tidak tahu saya sudah bekerja sejak umur 11 tahun demi bisa terus melanjutkan sekolah serta memenuhi kebutuhan sekolah sendiri, "mereka" juga tidak tahu bahwa saya sekolah universitas di Yogyakarta dengan penuh peluh, "mereka" pun tidak tahu bahwa saya adalah lulusan terbaik. Tidak, "mereka" tidak pernah tahu semua itu. Ya, uang terakhir yang diberikan bapak pada saya adalah saat saya wisuda S1 di kota Yogyakarta sebesar Rp. 1.000.000; (satu juta rupiah). Setelah itu saya mencari kehidupan sendiri, mencari pekerjaan sendiri, tidak minta bantuan saudara/ famili, saya berjalan dengan kaki-tangan sendiri sejak hari dimana saya wisuda S1 dan sampai menikah-pun saya tidak menggunakan uang bapak. Bila ada yang bilang bahwa saya menggunakan uang bapak setelah saya wisuda Strata 1, apalagi sampai menjual tanahnya, itu hanyalah "mereka" yang berkepentingan di "belakang". Karena sejatinya "mereka" menginginkan "apa-apa" peninggalan bapak saya. Bila ada kasak-kusuk dimana setelah bapak saya meninggal para saudara yaitu dua pihak saling rebutan harta peninggalan bapak, maka itu adalah benar. Bapak saya memang bukan orang kaya, tapi punya rumah, tanah pekarangan, ladang, serta uang yang jumlahnya terus bertambah, dan banyak orang "ngiler" dengan peninggalan bapak saya.  Biar saja "mereka" saling berebut, saya tidak peduli. "Mereka" tidak tahu harta bapak saya yang paling berharga adalah investasinya ketika menyekolahkan penulis. Mengirim anak sekolah bukanlah menghambur-hamburkan atau menghabiskan uang dan sia-sia. Kalau bapak saya tidak mengirim saya ke universitas, bisa kah saya sampai di luar negeri? Jawaban saya adalah TIDAK. Dan hingga detik ini, tulisan ini publish, belum ada satu pun diantara para "pem-bully" itu yang bisa menyamai rekor penulis yaitu lulus strata 1 atau S1 dalam waktu 3,5 tahun dengan menyandang lulusan terbaik. Sebagian diantara "mereka" tidak sekolah, beberapa hanya sampai Diploma saja.  Dan yang sekolah strata 1 tidak bisa lulus dalam waktu 4 tahun, apalagi punya nilai terbaik, tidak ada. Malah sedikit banyak "mereka" masih menggantungkan diri pada orangtua meskipun sudah menikah dan punya anak. Itulah manusia yang kerjanya sibuk mem-bully orang lain karena merasa diri paling "OK" dan "mereka" lupa mempersiapkan masa depannya sendiri.

Lantas bagaimana hingga saya/penulis bisa tinggal dan menetap di Singapura? Sewaktu pindah ke Singapura umur penulis adalah 27 tahun. Saya dan suami berusaha keras untuk menggapai impian bersama. Ada kawan bertanya, apakah saya punya saudara di Singapura atau bagaimana, jawabnya adalah "tidak". "Oh, kalau begitu menikah dengan orang yang "berduit" ya?". Saya katakan bahwa suami saya itu orang biasa namun ia sekolah sampai universitas. Saya pribadi punya impian tinggi, kelas 5 Sekolah Dasar saya sudah punya impian masuk universitas. Masuk kelas 1 Sekolah Menengah Pertama atau SMP saya sudah memutuskan akan masuk universitas jurusan ekonomi, kemudian kelas 2 Sekolah Menengah Atas saya sudah memutuskan akan sekolah keluar negeri. Dikarenakan bapak saya adalah orang biasa hanya buruh pabrik yang sangat tidak mungkin bisa mengirim saya sekolah keluar negeri, maka kelas 3 Sekolah Menengah Atas atau SMA saya memutuskan untuk masuk universitas di Yogyakarta. Mengapa? Karena saya akan menggapai impian setapak demi setapak. Sewaktu hampir lulus S1 itu sebenarnya saya menemukan beasiswa ke Rusia, Master of Economics. Tapi saya tidak punya uang untuk datang ke Kedutaan Besar Rusia di Jakarta. Dan saya memutuskan untuk "mengubur" sementara impian itu. Sampai detik ini saya masih ingin sekolah ke Rusia atau negara Eropa sekitar. Jadi, bagaimana ceritanya bisa tinggal dan menetap di Singapura? Jawab saya adalah semua berawal dari sebuah impian yang saya bangun sejak kelas 5 Sekolah Dasar, dan saya bekerja keras menggapainya. Bagaimana caranya saya menggapai impian itu? caranya adalah dengan SEKOLAH dan mau untuk terus belajar. Dan Tuhan memberi kebaikan pada saya juga suami yaitu memberi bonus pada kami untuk tinggal di Singapura. Kalau tidak sekolah ya mungkin sekarang masih tinggal didesa, tidak punya pendidikan, atau keluar dari desa tapi bekerja pekerjaannya rendahan. Ada orang bilang pada saya, "oh, kalau begitu kamu bisa tinggal di Singapura karena suamimu kerja disana, ya?." Saya beri gambaran sedikit, suami bekerja di Singapura belum tentu istri bisa serta merta ikut tinggal di Singapura juga. Banyak orang terheran-heran dengan status saya yaitu ibu rumahtangga tapi saya adalah permanent resident di Singapura. Kok, bisa? Itulah rahasia Yang Maha Kuasa. "Education is the passport to the future, for tomorrow belongs to those who prapare for it today" - MalcolmX

Ketika sudah menikah saya dan suami berusaha sendiri untuk menggapai impian masa depan kami TANPA bantuan orangtua, saudara, kerabat, ataupun famili. Kami memulai hidup dengan jumlah tabungan 0 rupiah. Sedikit demi sedikit kami "merangkak" dari yang tadinya tinggal dikota Semarang-Jawa Tengah, dan 6 bulan setelah menikah kami pindah ke Jakarta. Bagaimana caranya bisa pindah ke Jakarta? tentang kisah saya dan suami bagaimana kami pindah dari kota Semarang-Jawa Tengah ke Jakarta sudah pernah dimuat disalah satu majalah wanita ternama di Indonesia tahun 2011 (bulan Desember 2011). Kami pindah ke Jakarta bulan Agustus 2009, saya masih ingat kami tinggal di Setiabudi-Jakarta Selatan dan suami bekerja disalah satu perusahaan IT di Jl. Jend. Sudirman - Jakarta Pusat. Mungkin orang akan berpikir cuma pindah dari Semarang ke Jakarta saja sampai punya cerita ya, iya kami punya perjuangan untuk pindah ke Jakarta. Artinya bila cerita perjuangan kami ini sampai dimuat di sebuah majalah wanita ternama di Indonesia, berarti cerita perjalanan/ perjuangan kami ini adalah inspiratif, layak dimuat, dan bisa menjadi contoh/ teladan bagi orang lain. Kurang lebih 2,5 tahun di Jakarta kami berhasil menabung dan siap membeli apartemen. Tapi takdir berkata lain, kami pindah ke Singapura. Kami pindah dan memulai hidup di Singapura, semua atas usaha sendiri dan uang sendiri. Diakhir bulan Desember 2011 suami diterima bekerja di Singapura. Saya masih ingat waktu itu kami hanya membawa beberapa potong pakaian, sepasang gelas, sepasang piring, dan buku-buku saja. Semua peralatan dapur serta macam-macam peralatan rumahtangga lainnya serta pakaian-pakaian kami berikan pada tetangga yang mau menggunakannya. Ya, kami pindah ke Singapura tidak membawa apa-apa. Dan tidak terasa sekarang sudah masuk tahun ke-8 kami di Singapura. Waktu berjalan begitu cepat...

Bersyukur sekarang suami pekerjaan sudah bagus, sementara saya bagaimana? Saya sudah mulai menulis sejak masih tinggal di Jakarta (tahun 2010) dan sampai detik ini saya masih menulis. Waktu di Jakarta saya memulai berbisnis yaitu menjual pakaian kedaerah asal, namun bisnis terpaksa saya hentikan (padahal baru mulai usaha) karena rekan bisnis mengambil uang modal usaha. Akhir tahun 2013 saya diajak untuk membuat buku oleh salah satu penerbit di Indonesia karena melihat tulisan-tulisan saya. Tapi saya tolak.  Setahun kemudian saya sempat dikontak untuk menulis lagi, tapi saya memilih menulis di blog saya sendiri, ya saat ini saya memiliki 4 blog dimana salah satunya ya ini My Wonderful Journey. Blog tentang resep masakan disini link-nya https://acikmdy-recipe.blogspot.com/ Blog tentang tanaman dan bunga disini link-nya https://acikmdy-garden.blogspot.com/ Kemudian ditahun yang sama saya dikontak untuk ikut acara talk show TV swasta lokal di Indonesia sebagai narasumber, lagi, lagi saya menolak. Tahun berikutnya saya diajak  diskusi bersama dan diminta untuk mendampingi pejabat dari Jakarta yang berkunjung ke Singapura dan...saya tolak. Saya tolak semua itu padahal ada uangnya artinya saya dibayar, tapi saya menolak. Padahal orang lain akan melakukan apa saja biar populer atau mendapatkan popularitas, lah saya kok malah menolaknya? Jalan untuk mendapatkan popularitas itu datang sendiri didepan mata saya, uang pun datang sendiri pada saya tanpa harus mencarinya. Tapi saya menolak semua itu. Ya mungkin saja saya dibilang sombong dan susah ditemui. Tapi saya punya alasan tersendiri mengapa saya menolak semua itu. Alasan saya pertama, saya lebih mementingkan keluarga. Sekali saja saya menerima tawaran-tawaran yang datang itu, maka saya akan menjadi sibuk riwa-riwi di Indonesia dan kemungkinan akan sering meninggalkan rumah, meninggalkan suami. Padahal kami berdomisili di Singapura, buat saya dan suami keluarga adalah nomer satu. Itulah alasan pertama mengapa saya menolak tawaran-tawaran yang datang. Kedua, saya (dan suami) lebih suka menjadi orang biasa tetapi melakukan banyak hal positif dibelakang layar. Saya tidak suka dengan popularitas! Beberapa tahun lalu pernah bertemu mahasiswa satu almamater, ia bertanya mengapa saya tidak mencoba menjadi dosen saja dialmamater karena mengingat IPK saya tinggi, jawaban saya tentu saja tidak karena saya berdomisili di Singapura.

Sudah  2 tahun ini saya memulai bisnis rumahan, kali ini saya pegang sendiri yaitu usaha handicraft. Saya mulai dari NOL. Mungkin kalau orang sinis bilang, "walah bisnis apa cuma kecil dan tidak ada uangnya!" Seperti kata kawan baik penulis orang lokal Singapura, "semua perusahaan besar dimulai dari bisnis kecil, bila ditelateni pasti akan jadi besar." Hasil kerja saya yaitu design-design saya pembelinya dari USA, Canada, Australia, dan negara-negara Eropa seperti Belgia, Denmark, Perancis, UK, dll. Disini link toko saya di Etsy https://www.etsy.com/shop/ichikraft dimana customers saya bisa membeli baik lewat toko di Etsy ini maupun langsung beli pada saya dengan mengirim pesan pribadi. Dibawah adalah link dari Ichikraft Vlog


Ichikraft Youtube Channel, visit us and subscribe! Video creator, designer, business owner: Acik Mardhiyanti / Acik Mdy, Video Editor RDZ



Ichikraft Elastic cat collars - Designer, business owner, video creator, content creator: Acik Mardhiyanti / Acik Mdy



Ichikraft Poppy Ribbon flower - Designer, business owner, video creator, content creator: Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Dalam dunia pendidikan/ academics, saya juga masih akan terus belajar, terutama mengambil program study yang terkait dengan bisnis. Kalau saja suami saya ini mau ditinggal, saat ini saya sudah PhD. Ya, itulah komitmen pernikahan dimana keluarga nomer satu. Puji syukur sejak tahun 2016 - 2018 sudah ada 9 sertifikat saya kumpulkan diantaranya dari Harvard University, University of California, Berkeley, dan juga Curtin University. Salah satunya adalah Micromaster Marketing in a digital World program dari Curtin University. Apa itu Micromaster program? Yaitu sekolah Master selama satu tahun (9 bulan sampai 1 tahun), dan kita mendapat kredit 30% dalam program ini yaitu Master of Marketing. Artinya bila mau mendapatkankan gelar Master of Marketing ini kita tinggal melanjutkan sisa kredit 75 %. Untuk hal ini tidak saya lanjutkan meski tahun ini saya sudah diberitahu untuk mendaftar/ melanjutkan di Curtin University. Ya saya punya pertimbangan tersendiri dimana saya memutuskan untuk mengambil  Master Degree dan PhD di Belgia, kalau bisa sekalian Postdoctoral. Hal lain yang juga saya syukuri adalah bisa mengirim adik saya satu-satunya sekolah. Adik saya/penulis adalah seorang tunagrahita, namun siapa yang menyangka kini ia memiliki pengalaman hidup dimana orang lain yang normal -pun belum tentu mendapatkannya.

Saya (juga suami) bersyukur dimana kami sudah mulai membantu sesama sejak tahun 2013 (sekitar bulan Juli 2013, saya agak lupa). Pelan-pelan kami berusaha membantu, apa yang bisa kami bantu maka kami bantu. Tidak banyak memang tapi setidaknya kami sudah berusaha. Bisa dilihat aktifitas kami ini disini https://ichikraft-give-care.blogspot.com/  Dimana fokus kami adalah membantu anak-anak desa yang punya semangat sekolah namun berkekurangan/ miskin. Selain itu kami berusaha turut serta men-support tunagrahita.

Itulah kisah perjalanan hidup saya/ penulis yang berasal dari desa kecil didaerah Lampung, tapi bisa sekolah ke universitas, dan kini menetap di Singapura. Kalau mau diceritakan secara detail kisah saya ini bisa jadi sebuah novel. Yup, benar sekali perjalanan hidup saya bisa jadi novel mungkin bisa sampai 3 buku. Ditahun 2007 saya punya cerita dimana setelah bapak saya meninggal, saya itu hampir mati karena seseorang berusaha membunuh saya. Serem, banget ya? Iya, tidak hanya berusaha membunuh saya tetapi juga menghancurkan karier, hidup saya, bahkan merendahkan penulis. Kata teman saya (orang Jepang) bilang, "your stories just like a novel." Dan itu benar-benar terjadi dalam perjalanan kehidupan penulis karena waktu itu saya terlalu percaya 100 persen pada orang. Hikma yang saya ambil, jangan pernah percaya dan mudah mempercayai orang 100 persen meskipun orang itu adalah kenalan baik kawan kita atau orang dekat dari kawan kita. Tentang siapa orangnya, kenapa ia berusaha membunuh saya dan lain-lainnya, suatu saat akan saya buka dalam buku yang akan saya tulis. Selama beberapa tahun saya berusaha bangkit meski terseok-seok dan menata kembali impian-impian yang hendak saya capai. Setelah beberapa tahun kemudian apa yang terjadi? Tahun 2016 orang yang berusaha membunuh saya itu minta bantuan tanpa rasa malu yaitu uang. Are you kidding me? Memangnya tidak ada orang sekitar rumahnya atau sekitarannya yang bisa kasih bantuan uang? Itulah yang disebut banyak orang, "orang jahat hidupnya seret..." Ya, itulah manusia, kalau kita tidak punya uang keliatan "gembel", orang akan memandang rendah kita (padahal mereka sendiri belum tentu punya posisi hidup bagus), tetapi ketika kita terlihat punya uang, terlihat punya kehidupan bagus, orang-orang seperti "mereka" ini akan "menjilat" dan mencari-cari kita. Ditahun 2012, tanpa rasa malu orang yang berusaha membunuh saya ini juga sempat datang berkunjung kerumah salah satu saudara saya dan menayakan tentang kami. Ya, mungkin dipikirnya hidup saya bakal jatuh berkeping-keping, ternyata tahun 2012 itu saya sudah pindah domisili di Singapura. Kawan penulis pernah bilang, "jangan pernah sekali-kali memandang rendah orang lain, merasa diri paling "wah" dan "ok", karena kita tidak pernah tahu masa depan nanti seperti apa, orang yang sekarang didepan kita posisinya rendah, lusuh, tidak punya uang, bisa jadi justru dimasa depan orang lusuh ini tempat kita meminta bantuan karena ia hidupnya sukses dimasa depan." Itu kata kawan penulis. Saya masih ingat salah satu pesan SMS yang dikirimkan oleh orang yang berusaha membunuh saya ditahun 2007, katanya "dasar perempuan pelacur rupa jelek bla bla..." Ya penulis direndahkan sampai sebegitunya, karena ia yakin anak perempuannya bakal jadi seorang dewasa yang cantik jelita, berbudi luhur, dan cerdas otaknya. Secara logika, orang tua model begini bisa kah anaknya jadi luar biasa? Jawabannya adalah "zero", harapan jauh dari kenyataan dan reality-nya berbeda jauh. Hingga beberapa waktu lamanya ia dan partner-nya terus meng-rong-rong hidup penulis dari tahun 2007 - 2011. Mungkin dipikir saya ini bakal jatuh terjerembab kebawah, tetapi "mereka" salah besar. Setiap batu yang "mereka" lempar pada saya, batu-batu itu akan saya susun dan gunakan untuk membangun jembatan serta tangga-tangga untuk saya naik keatas dan tinggi, tinggi terus keatas. Hal yang "mereka" lupa adalah bahwa penulis lahir dan besar ditanah Sumatera, dimana bapak saya sudah mengajarkan penulis untuk menjadi pribadi tangguh sejak dini. Tak hanya itu, saya pun ditempa untuk selalu rajin belajar, semangat sekolah, dan menghasilkan karya. Hasilnya dari sejak Sekolah Dasar, bahkan Taman Kanak-kanak, nilai akademik saya selalu bagus, peringakat 3 besar itu sudah biasa untuk saya. Pernah dikirim mewakili sekolah untuk lomba kecerdasan tingkat SD (waktu itu tidak menang), dipilih ikut group paduan suara mewakili SD saya, ikut lomba menang juara 1, waktu SMP dipilih mewakili SMP saya untuk ikut lomba olahraga tingkat SMP dan group saya menang juara 1, ketika SMA saya terpilih menjadi salah satu wakil sekolah SMA saya untuk PASKIBRAKA tingkat Kabupaten, pastinya kawan sekalian sudah tahu untuk bisa masuk PASKIBRAKA tingkat Kabupaten seleksinya ketat, tidak hanya seleksi ketat disekolah tapi ditingkat Kabupaten-nya, tidak hanya fisik (misal tinggi badan, tidak gemuk) dan yang pasti untuk menjadi anggota PASKIBRAKA otak juga harus bright!. Sewaktu di SMA saya juga diikutkan event besar lainnya yang pastinya kalau tidak punya record  bagus ya tidak dipilih. Tidak hanya itu, nilai ujian akhir bidang olahraga saya terbaik ke-2 disekolah. Saat sekolah di universitas saya adalah salah satu mahasiswa penerima beasiswa SUPERSEMAR, untuk kawan sekalian yang pernah duduk dibangku universitas pasti sudah pada tahu bahwa untuk apply beasiswa ini IPK kita minimal 3,5 dan IPK saya lebih dari itu. Setelah wisuda S1 saya berusaha membangun karier saya dari nol, dan baru beberapa bulan karier saya dihancurkan bahkan saya hampir mati karena seseorang tadi yang ngimpi anak perempuannya bakal besar jadi wanita dewasa cantik dan punya otak cemerlang berusaha melenyapkan penulis. Dan saya ternyata tidak tumbang dengan mudah, justru penulis/ saya semakin bersemangat mengukir prestasi. Yup, saya kuat dan bermental baja karena bapak saya membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, support, kejujuran, setia dengan keluarga, dan dengan uang halal. Kalau sampai ada orang yang merendahkan saya, apalagi menyama-nyama saya dengan pelacur, dikata muka jelek bla- bla...pada akhirnya bakal malu sendiri, karena saya membungkam "mereka-mereka" yang memandang rendah saya dengan prestasi  yang tidak bisa "mereka" atau anak-anak mereka raih. Percayalah bahwa manusia akan diperlakukan sesuai dengan apa yang ia lakukan. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita petik. Seorang kawan penulis berkata, "kita yang hidup berusaha baik dan benar saja masih diberi ujian dari Yang Maha Kuasa, nah semisal kita ini hidup berprilaku buruk apalagi jahat pada yang lain tidak bisa dibayangkan bahwa hidup pasti sulit". Ada pepatah Cina bilang, "manusia dengan prilaku buruk jahat pada lainnya, meski ia memiliki uang tapi hidupnya tidak akan selamat dan terkena bencana. Tapi manusia yang berprilaku baik meski ia tidak punya uang sekalipun kehidupannya akan selamat dan terhindar dari bencana". Teman penulis yang merupakan orang Jepang berkata, "they hurt others because their lives are empty and miserable/ pity". Dan saya selalu bersyukur dimanapun berada, selalu ada orang-orang baik disekitar saya serta dipertemukan dengan keluarga-keluarga  baru hingga kepenjuru dunia. Itulah yang selalu penulis sebut, "my wonderful life". 

5 tahun lalu ada yang bilang pada saya, "asal  rumah saja kampung samping tanggul tapi bergaya tinggal di luar negeri". Harap maklum karena dulu waktu masih didesa/ dikampung "mereka" ini secara ekonomi mampu, otaknya juga lebih pandai dibanding penulis, tapi masa depan berbeda jauh. Seperti biasa saya tidak akan meladeni perkataan "mereka". Karena buat saya waktu dan energi yang saya punya akan lebih baik saya pakai untuk melakukan hal-hal positif, bermanfaat, terus belajar, berkarya, dan membantu sesama. Meski berasal dari desa atau kampung bukan berarti kita tidak akan menjadi sesuatu yang "gemilang" dimasa depan. Sudah banyak cerita-cerita inspiratif diluar sana, banyak anak-anak desa/kampung, dari gunung, atau dari pulau kecil dan terpencil, tapi mereka berhasil sekolah atau tinggal diluar negeri, ada yang sampai ke Amerika, Jerman, serta negara Eropa lainnya, dan tentu saja Singapura. Mungkin 2 tahun lalu saya bertemu ibu-ibu setengah baya disalah satu bandara di Indonesia. Ibu-ibu ini bilang pada saya bahwa asalnya dari kampung/ desa kecil di Gombong, dan ia janda. Tapi dia berusaha keras menyekolahkan anak perempuannya hingga ke bangku universitas di kota Yogyakarta. Dan anak perempuannya itu menikah dengan pria Indonesia tetapi mereka pindah dan tinggal di Singapura. Jadi intinya, bisa tinggal diluar negeri bukan karena menikah dengan orang luar atau bule, tetapi kita ini (apalagi sebagai seorang wanita) harus sekolah yang baik dan benar, harus mau untuk terus belajar, berkarya sekecil apapun itu, melakukan hal-hal positif, dan mau bekerja keras untuk menggapai impian. Meski asal dari desa tapi saya sudah kenal dengan orang luar negeri sejak masih dibangku Sekolah Menengah Umum alias SMA. Tapi tidak ada pikiran atau sedikitpun terbersit dalam otak saya pengen nikah dengan orang luar biar bisa tinggal diluar negeri. Yang ada dalam otak saya adalah sekolah setinggi-tingginya. Itulah impian saya!

Oleh karenanya sekolah itu penting sekali. Biarpun kita lahir dan besar didesa/ kampung, rumah reyot dan jelek, tidak punya uang, tapi jangan pernah patah semangat untuk terus sekolah, rajin belajar, dan jangan berkecil hati bila kita asalnya orang tidak punya. Itulah pesan yang selalu saya ulang-ulang untuk disampaikan pada anak-anak penerima bantuan biaya sekolah dari kami. Bila ada orang yang memandang rendah kita, biarkan saja. Sebaliknya tetaplah fokus dengan apa yang hendak kita raih dimasa depan. Jadi punya impian itu wajib, kalau ada yang bilang, "kalau tidak punya impian itu seperti ikan asin". Dan saya tahu banyak orang tidak percaya bahwa sekolah bisa memberi kita masa depan yang lebih baik, bisa mengubah hidup kita menjadi lebih baik. Tapi saya telah membuktikan pada diri sendiri bahwa dengan sekolah kita bisa mengubah nasib dan kehidupan kita dimasa depan menjadi lebih baik. Maka sekolahlah dengan baik dan benar. Itulah mengapa bapak penulis mengirim saya sekolah sampai kebangku universitas. Dan saya sendiri rela bersusah payah sejak umur 11 tahun sudah mulai bekerja agar bisa terus sekolah, menjadi orang berpendidikan serta memiliki kehidupan yang berkualitas, agar suatu saat tidak ada orang yang "menginjak" bapak saya lagi. Itulah semangat hidup penulis, harus terus mau belajar, dan terus berkarya sekecil apapun itu, serta membantu sesama.

Note:

  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Video creator, content creator, designer, business owner: Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Video Editor: RDZ
  • Dedicate to my father, my Superhero. Happy Father's Day 2019
  • Do not copy this article without permissions













Perayaan Hari Raya Aidifitri 2019 Bersama Warga Singapura



Tiket Acara Perayaan Hari Raya Aidilfitri 2019 yang kami hadiri - Photograhed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Pernah seorang teman di Indonesia bertanya, "Emang ada Lebaran ya di Singapura?" Saya bilang, "Ya, ada". Inilah salah satu pertanyaan-pertanyaan yang selalu terlontar dari teman Indonesia penulis. Dan seperti tahun lalu, kami mengikuti perayaan Hari Raya/ Lebaran di Singapura bersama warga setempat. Seperti apa acaranya? Pastinya meriah, dan satu lagi yang membuat kami ingin menghadiri, karena Perdana Menteri, Mr. Lee Hsien Loong, datang sebagai tamu kehormatan.

Ya, tahun lalu kami berpindah tempat tinggal. Dan tempat tinggal kami kali ini dibawah pimpinan Perdana Menteri, Mr. Lee Hsien Loong. Artinya MP (Member of Parliament) ditempat kami adalah Bapak Perdana Menteri sendiri. Nah, di CC (Community Club) atau kalau di Indonesia mungkin bisa dibilang semacam kelurahan gitu ya, itu kan banyak kegiatan dan macam-macam. Disetiap event yang diadakan di CC (Community Club) pastinya Bapak Perdana Menteri datang. Oleh karenanya tidak heran bila acara perayaan Hari Raya Aidilfitri dihadiri oleh Mr. Lee Hsien Loong. Tapi Perayaan Hari Raya Juni 2019 ini digabung dengan wilayah Sengkang. Sehingga acaranya bisa dikatakan lebih meriah, yang diberi nama Karnival Aidilfitri 2019.

Acara Karnival Aidilfitri 2019 ini diadakan pada tanggal 16 Juni 2019 atau tepatnya hari minggu kemarin. Dengan membayar tiket sebesar 5 SGD kami mengikuti acara ini bersama seorang adik penulis. Bertempat di D' Marquee @ N6 Park. Acara dimulai pukul 3.00pm sampai 7.00pm. Tempat acara tidaklah begitu jauh dari tempat tinggal kami, namun kami bertiga memilih untuk berangkat sekitar pukul 4.00pm atau jam 4 sore supaya sampai diacara kami tidak menunggu terlalu lama hingga acara selesai. Karena kami berpikir ini acara Karnival yang artinya disana kita tidak berada dimeja bundar, duduk menikmati makanan. Pastinya yang namanya acara Karnival, kita bakalan beredar kesana-kemari artinya tidak duduk.

Sesampai ditempat acara nampaknya acara sudah meriah sekali, dengan pertunjukkan tari-tarian dan seni musik khas Melayu. Dan Bapak Perdana Menteri, Mr. Lee Hsien Loong, sudah hadir dan duduk dibarisan paling depan. Berhubung kursi yang disediakan panitia hanya berkisar 100 - 200 kursi saja, maka seperti kebanyakan warga yang hadir, kami duduk di kursi taman yang jaraknya bersebelahan dengan tenda acara. Ya, dari nomer Lucky Draw (undian berhadiah) tiket yang tertera, tiket terjual sampai nomer 2000-an. Artinya warga yang hadir ada 2000-an orang.

Makanan yang disediakan diacara cukup menarik. Ada nasi briyani dengan ayam, sate, lontong dengan lauknya, pisang goreng, minuman bersoda dan minuman sirup. Berhubung saya/ penulis tidak bisa makan daging, jadi tidak ada makanan yang bisa saya makan. Hanya satu botol air putih saya yang bisa saya/ penulis minum, karena sayapun tidak suka minuman bersoda dan juga sirup-sirupan. Susah ya kalau orang seperti saya ini, menghadiri acara-acara kalau makanannya daging (ayam, sapi, atau yang lain), seafoods (sepeti kepiting, udang besar dll..) serta minuman tertentu seperti sirup atau soda, saya/ penulis tidak bisa makan makanan itu semua. Bukan karena apa-apa, sih...saya/ penulis tidak bisa makanan itu karena punya alergi. Apa iya sih alergi sama daging? lha orang alergi sayur saja ada, alergi daging ya saya ini contohnya. Tapi tidak hanya saya/ penulis saja yang punya alergi daging, kawan penulis yang orang Jepang, salah satu orangtuanya alergi daging juga. Kok bisa ya? Saya tidak tahu kenapa.


Keramaian warga dan ramainya panggung acara Karnival Aidilfitri Juni 2019 - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Suami dan adik saya/ penulis menikmati hidangan yang disediakan. Warga yang hadir nampaknya juga antusias untuk menikmati makanan, terlihat dengan adanya antrian disetiap stand makanan. Terutama sate, dari kami datang sampai kami memutuskan untuk pulang lebih awal, antrian sate mengular tidak habis-habis. Untuk sate, suami tidak mau mengantri sepanjang itu, dan pulangnya beli sate sendiri di hawker dekat rumah kami. Disaat sedang menikamti makanan itulah Bapak Perdana Menteri menyampaikan kata sambutannya yang hanya berkisar beberapa menit saja. Dan saya/ penulis tidak sempat mendekat dan mengambil gambar Perdana Menteri saat memberi sambutan. Kenapa? Karena adik penulis sedang asik makan... kalau diajak makan sambil berdiri, dia tidak bisa , bisa berantakan kemana-mana itu makanan, jadi kalau makan harus duduk.

Selain hidangan/makanan yang disediakan, ada beberapa stand aktivitas atau kegiatan yang bisa dikuti oleh warga yang hadir, seperti mewarnai layangan sendiri untuk kemudian layangan ini boleh dibawa pulang. Ini nih yang membuat kami sedikit kecewa, acara masih setengah jam lagi sebelum selesai tempat menggambar dan mewarnai sendiri layangan malah sudah tutup... Padahal adik penulis ingin sekali mengikuti kegiatan ini. Ada permainan tradisional Melayu dan baju-baju Melayu juga dipamerkan dalam acara Karnival ini. Ya, macam-macam aktivitas yang bisa diikuti oleh warga yang hadir disana, salah satunya merangkai bunga rampai. Asik, kan..

Setengah jam sebelum acara Karnival selesai kami memutuskan untuk pulang. Ya, kami tidak menunggu pengundian Lucky Draw. Padahal tinggal hadiah nomer 1 - 10 yang akan diundi, tapi kami pulang. Seandainya nomer lucky draw kami keluar, ya biarlah biar orang lain yang menerima hadiahnya. Kira-kira seperti itulah acara Karnival Aidilfitri 2019 di tempat tinggal kami di Singapura. Terakhir saya/ penulis ucapkan, Selamat Hari Raya 2019, Maaf Zahir dan Batin.

Note:
  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Do not copy this article without permissions
  • Do not reuse these photographs any where else without permissions





Kampung Spirit, Saling Berbagi Kue dan Makanan di Hari Raya Aidilfitri 2019 di Singapura


Kue-kue/ Jajanan Hari Raya atau Lebaran 2019, tetangga-tetangga kami yang memberi, terimakasih - Photographed Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

"Oh, ada Lebaran juga di Singapura?" Begitulah ungkapan kata yang disampaikan teman penulis yang ada di Indonesia ketika mengetahui kalau saya/ penulis dan keluarga menghadiri acara Hari Raya bersama warga di Singapura. "Oh, seperti dikampung Indonesia ya, berbagi makanan jelang Lebaran?" Ya, di Singapura tradisi berbagi makanan jelang Hari Raya Aidilfirti itu ada, dan itulah yang disebut "Kampung Spirit" oleh warga Singapura. Sampai saat ini masih ada dan terus dilestarikan tradisi ini.


Cokelat yang dibawa tetangga untuk kami - Photographed Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Tahun pertama di Singapura, saya/ penulis berpikir seperti kebanyakan orang Indonesia tentang Singapura. Waktu itu saya berpikir di Singapura orang-orangnya pasti individualis dan kita susah untuk bersosialisasi apalagi berkawan baik dengan tetangga. Dan pikiran saya itu ternyata salah besar. Karena setelah pindah dan menetap di Singapura, hingga saat ini sudah 7 tahun tinggal di Singapura, justru saya menemukan "kampung spirit" disini. Ya, "kampung spirit" dimana kita saling berbagi makanan/ kue/ jajanan jelang perayaan, entah itu Christmas, Chinese New Year, maupun Hari Raya Aidilfitri.


 Curry Puffs, sebenarnya tetangga kami memberi Curry Puffs dan Jeruk - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

"Kampung spirit" itu apa ya? Menurut saya "kampung spirit" adalah sebuah sikap serta tindakan dimana kita mau untuk saling bertegur sapa dengan tetangga serta orang-orang sekitar, saling menghormati satu dengan yang lainnya, saling membantu, saling berbagi makanan/ jajanan/ kue jelang perayaan tertentu, atau kadang dalam keseharian saling bertukar makanan yang dimasak sendiri dirumah, tidak rasis, dan toleransi satu dengan yang lain. Lha, kalau gitu seperti orang-orang dikampung di Indonesia, ya? Iya, seperti itulah "kampung spirit" di Singapura. Pasti banyak kawan di Indonesia yang tidak percaya. Tetapi itulah yang saya/ penulis rasakan selama tinggal di Singapura. Saya/ penulis seperti menemukan keluarga disini dengan segala kebaikan yang saya dan suami terima dari tetangga kami maupun kenalan kami di Singapura. Dan saya sangat bersyukur dengan semua itu.


Tiga toples kue dari tetangga baik kami, dan ini diberikan dengan sebuah boneka ikan untuk kucing kami, Ichi - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Hari Raya tahun 2019 ini jatuh pada tanggal 5 Juni 2019. Sejak senin malam atau 2 hari sebelum Hari Raya tiba, satu-persatu tetangga kami mengetuk pintu rumah kami dan membawakan kue-kue, makanan, juga jajanan Lebaran/ Hari Raya. Tidak lupa, kucing kami, Ichi, juga mendapatkan hadiah boneka dari tetangga baik kami. Alhasil banyak kue dan jajanan lebaran dirumah kami karena diberi oleh tetangga. Dirumah saya/penulis memang tidak membeli kue-kue Hari Raya, hanya satu dua toples saja, dan 5 toples kue Hari Raya untuk dibawa kekantor suami. Tapi inilah kebaikan yang kami terima, tidak membeli-beli kue serta jajan Lebaran tapi punya kue banyak dirumah.


Honeycomb cake, dari tetangga kami - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy


Satu toples kue dan sekotak teh yang kami berikan pada tetangga kami - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Sore hari saat Hari Raya, 5 Juni 2019, kami membagikan kue satu toples dan teh satu bungkus untuk tetangga-tetangga kami. Adik dan suami yang bertugas berkeliling untuk membagikan bingkisan kecil ini. Ya, kami sangat senang berbagi kebahagiaan di Hari Raya/ Lebaran dengan para tetangga. Perlu untuk diketahui, tetangga kami Chinese semua, baik Buddist, maupun katolik. Tapi meski kami berbeda-beda namun kami saling menghormati satu dengan yang lainnya. Dalam satu tahun serasa kami ini punya tiga perayaan, Hari Raya, Christmas, dan Chinese New Year/ Lunar New Year/ Imlek. Mengapa? Karena disetiap perayaan itu saya/ penulis memberikan hantaran kue-kue untuk tetangga kami yang sedang merayakan perayaan, entah itu Christmas maupun Imlek. Merekapun memberikan hantaran kue-kue untuk kami saat perayaan tiba. Tidak hanya itu saja, saat para tetangga baru pulang dari liburan keluar negeri, mereka juga membawakan oleh-oleh untuk kami. Indah, bukan? Itulah keindahan dari suasana "kampung spirit"  di Singapura.


Brownie dari tetangga kami - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Itulah "kampung spirit" yang kami rasakan di Singapura. Berbagi kebahagiaan serta kegembiraan dengan cara saling berbagi makanan dan kue di Hari Raya tahun 2019 ini. Kami sangat senang dan gembira, karena serasa memiliki keluarga di Singapura. Terimakasih untuk kebaikan yang diberikan pada kami. Selamat Hari Raya Aidilfitri 2019, Maaf Zahir dan Batin.


Kue/ jajanan Lebaran atau Hari Raya yang sebagian besar dari tetangga, terimakasih - Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy

Note:
  • Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Photographed by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
  • Do not copy this article without permissions
  • Do not reuse these photographs anywhere else without permissions

After 2 Years of Stepping Down, Where is Ichikraft Now?

About two years ago, I made the decision that the Ichikraft Etsy shop closed temporarily. However, even until this day, I am still with the ...