Saya/ penulis pernah mendapatkan pertanyaan ini dari seseorang, "aku pengen ke luar negeri, kerja di Singapura atau negara mana aja, persiapannya apa aja ya?" Sepatah katapun saya TIDAK menjawabnya. Mengapa? Karena untuk saya pribadi, saya hanya akan mau menjawab pertanyaan seperti ini untuk mereka yang mau bekerja dan berusaha keras dalam hidupnya demi menggapai impiannya. Dan dalam kesempatan ini saya/ penulis akan memberi gambaran bagaimana saya ini yang notabene dari desa kok bisa tinggal di Singapura. Ya, didunia ini tidak ada yang instant, kita harus bekerja dan berusaha keras untuk menggapai impian. Dan tidak ada yang salah lahir dan besar didesa, yang penting harus sekolah!
Bila dirunut kebelakang, saya dan suami sebelum menikah kami sudah membicarakan apa yang ingin kami capai setelah menikah nanti. Waktu itu kami memutuskan secara bersama-sama bahwa kami akan pindah ke Jakarta setelah menikah. 6 bulan setelah menikah kami pindah ke Jakarta, waktu itu kami tinggal di Setiabudi-Jakarta Selatan. Rencananya 2 tahun di Jakarta kami akan membeli rumah (saat itu apartemen), setelah itu kendaraan (mobil), dan kalau mau sekolah lagi ya cukup di Jakarta saja, kalau punya anak ya anak cukup sekolah di International school Jakarta. Tetapi takdir berkata lain, kurang dari 2,5 tahun (2 tahun 3 atau 4 bulan) di Jakarta kami pindah ke Singapura. Dan sampai sekarang sudah 7 tahun lebih kami di Singapura.
Lantas apa saja yang kami persiapkan untuk bisa pindah ke Singapura? Penting untuk diketahui sebelum membaca lebih lanjut artikel saya ini, bahwa saya tidak menuliskan bagaimana persiapan mungkin dokumen atau bagaimananya sebelum pindah ke Singapura. Karena untuk persiapan yang satu ini (tentang visa ijin tinggal, visa kerja) itu semua bisa dibaca/ dicari bagaimana pengurusannya dan lain sebagainya di kementrian tenaga kerja Singapura yaitu MoM - Ministry of Manpower. Dalam artikel ini saya lebih menekankan tentang persiapan yang dimulai dari diri sendiri. Dan saya tekankan lagi, ini hanya untuk mereka yang mau berusaha dan bekerja keras menggapai impian tanpa mengandalkan orang lain/ saudara/ kerabat/ famili/ orangtua. Jadi untuk kawan pembaca sekalian yang tidak punya mental ini sebaiknya tidak perlu membaca lebih lanjut artikel ini.
Jadi, persiapan yang dimulai dari diri sendiri itu apa ya?
Jadi, persiapan yang dimulai dari diri sendiri itu apa ya?
1. Sekolah
Kalau ditanya tentang bagaimana bisa di Singapura, atau apa persiapannya, dan lain-lain...maka jawaban pertama saya adalah sekolahlah yang baik dan benar! Sekolah itu penting, buat saya yang bukan siapa-siapa hanya anak desa, dan bapak saya cuma buruh gaji Rp. 50.000; per bulan, sekolah itu bukan hanya sekedar mendapatkan kertas cantik yang bernama "ijazah" untuk kemudian dipakai mencari kerja. Bukan! Untuk saya/ penulis, sekolah adalah paspor saya untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik dan terbaik, "school will bring you from nowhere to somewhere, from nothing to something". Jadi ketika kita diberi kesempatan/ punya kesempatan sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga bisa sekolah ke Universitas (minimal S1), maka belajarlah dengan tekun, rajin, dan semangat!
Kalau punya kesempatan bisa sekolah langsung ke Strata 1 atau S1, maka selesaikanlah S1 (strata 1) dalam waktu maksimal 4 tahun, tidak boleh lebih. Bisa lebih cepat 3,5 tahun selesai S1 ya kenapa tidak? Tentu saja dengan minimal IPK 3,00 kalau bisa harus diatas 3,00! Kenapa saya/ penulis menekankan untuk lulus S1 tepat waktu (maksimal 4 tahun) dengan IPK minimal 3,00 ? Untuk kawan sekalian yang punya cita-cita/ impian sekolah ke luar negeri ini penting karena untuk melanjutkan Master Degree / S2 diluar negeri (tidak hanya Singapura ya, negara Eropa seperti Jerman, Belgia juga sama), persyaratan IPK minimal 3,00 dengan waktu tempuh study S1 maksimal 4 tahun, artinya kalau kita menyelesaikan S1 dalam waktu lebih dari 4 tahun ditambah lagi IPK dibawah 3,00 ya good bye! Tidak peduli sekalipun kawan sekalian lulusan dari universitas negeri ternama di Indonesia atau lulusan dari universitas swasta ternama di Indonesia bila kawan sekalian lulus S1 lebih dari 4 tahun dengan IPK dibawah 3,00 maka kawan sekalian tidak bisa masuk universitas di Singapura atau negera Eropa (misal Jerman dan Belgia dll) untuk melanjutkan S2 karena tidak masuk kualifikasi. Wah tapi kan kuliah itu sulit, otak biasa saja, skripsi sulit juga...? Kalau menurut saya sih tergantung kerja keras kita dan usaha selama sekolah, namanya sekolah sudah pasti sulit kalau tidak mau sulitnya ya tidak usah sekolah dengan konsekuensi ditanggung sendiri. Saya punya kawan, dia biasa tidak termasuk anak pintar dikelas, tapi dia orangnya rajin, mau berusaha, semangat sekolah, eee...siapa yang menyangka dia wisuda bareng saya lhooo... yup! kawan saya ini 3,5 tahun sudah lulus S1 dengan IPK diangka 3,00... Yup, pintar saja tidak cukup karena harus dibarengi dengan mental kuat untuk menggapai cita-cita. Percayalah, banyak diantara kawan-kawan penulis sewaktu menempuh Strata 1 dikota Jogja dimana kawan saya banyak yang pintar dan cerdas (mungkin bahkan lebih cerdas dari saya), tapi sayang sekali lulus kuliah 5 tahun, 6 tahun, bahkan 7 tahun!
Menyelesaikan sekolah S1 tepat waktu dengan IPK minimal 3,00 penting juga kalau memang punya impian bekerja di luar negeri, kenapa? Karena di luar negeri (tidak hanya Singapura) orang sekolah S1 dalam waktu 2 tahun sudah pada lulus, S2 hanya ditempuh dalam waktu 1,5 tahun sudah lulus, malah ada program Master Degree yang selesai dalam waktu 1 tahun saja. Dan Ph.D bisa diraih dalam waktu 2 tahun saja. jadi bayangkan seandainya kita dari Indonesia lulus S1 saja 5 tahun, 6 tahun, bahkan 7 tahun, kira-kira dengan background seperti ini bisa bersaing kah diluar negeri? Jawab sendiri. Ini bagi mereka yang ingin datang ke Singapura sebagai tenaga profesional tentunya ya. Kecuali kalau datang ke Singapura hendak mencari pekerjaan misal waitress, penjaga toko, kerja diwarung makan, itu beda cerita ya, yang ini sih kita tidak perlu pusing masalah IPK, lama study dll asal mau kerja dah cukup. Dan satu lagi, akan lebih baik kita bekerja sesuai dengan bidang akademik kita. Karena banyak ya mahasiswa-mahasiswa di Indonesia saat kuliah jurusan A saat kerja bidang B.
Lah semisal kita punya orangtua benar-benar tidak punya duit buat mengirim kita ke Universitas, bagaimana bisa punya kesempatan sekolah minimal sampai S1/ Strata 1? Ini jawaban saya/ penulis, maka pelan-pelan lah melangkah. Bisa dimulai kursus-kursus dulu setelah lulus SMA (Sekolah Menengah Atas), bisa kursus menjahit kah, nyalon, komputer, atau kursus guru TK dan lain-lain...pastinya kursus dibidang yang memang kita minat. Setelah itu bekerja sambil menabung pelan-pelan untuk melanjutkan sekolah. Uang tabungan sudah cukup dan bisa ambil Diploma (misal D1 atau D2) maka ambillah dulu sembari bekerja dan menabung lagi. Uang tabungan cukup untuk jenjang strata 1 / S1 maka lanjutkan sekolah hingga jenjang S1 / Strata 1 minimal. Dan ini tidaklah instant butuh waktu hingga bertahun-tahun hanya untuk menggapai S1 / Strata 1, bisa 10 tahun baru bisa meraih gelar Strata 1 atau S1. Saya/penulis bisa bilang begini karena ada kawan penulis yang menempuh jalan seperti ini. Jadi jangan pernah menyerah begitu saja pada nasib, tapi harus berjuang keras untuk meraih pendidik tinggi. Bahkah kawan penulis ini pernah mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan Master atau S2 dan ingin punya bisnis, padahal posisi kehidupannya sudah bagus, anaknya juga sekolah disekolah yang bagus. Ya, ilmu pengetahuan semakin berkembang maju dan pesat, dunia pun bergerak maju, maka dari itu kita harus terus mau untuk belajar jika tidak ingin tertinggal dibelakang. Jangan sampai merasa diri sudah menjadi paling "OK" terus tidak mau belajar. Tetapi begitu melihat ada kawan lain bekerja di luar negeri/ sekolah diluar negeri/ tinggal diluar negeri, atau ada kawan lain yang bisa mengirim sekolah anaknya ke USA atau Eropa lantas merasa iri hati.
"Education is the passport to the future, for tomorrow belongs to those who prepare for it today" - MalcolmX
Kalau punya kesempatan bisa sekolah langsung ke Strata 1 atau S1, maka selesaikanlah S1 (strata 1) dalam waktu maksimal 4 tahun, tidak boleh lebih. Bisa lebih cepat 3,5 tahun selesai S1 ya kenapa tidak? Tentu saja dengan minimal IPK 3,00 kalau bisa harus diatas 3,00! Kenapa saya/ penulis menekankan untuk lulus S1 tepat waktu (maksimal 4 tahun) dengan IPK minimal 3,00 ? Untuk kawan sekalian yang punya cita-cita/ impian sekolah ke luar negeri ini penting karena untuk melanjutkan Master Degree / S2 diluar negeri (tidak hanya Singapura ya, negara Eropa seperti Jerman, Belgia juga sama), persyaratan IPK minimal 3,00 dengan waktu tempuh study S1 maksimal 4 tahun, artinya kalau kita menyelesaikan S1 dalam waktu lebih dari 4 tahun ditambah lagi IPK dibawah 3,00 ya good bye! Tidak peduli sekalipun kawan sekalian lulusan dari universitas negeri ternama di Indonesia atau lulusan dari universitas swasta ternama di Indonesia bila kawan sekalian lulus S1 lebih dari 4 tahun dengan IPK dibawah 3,00 maka kawan sekalian tidak bisa masuk universitas di Singapura atau negera Eropa (misal Jerman dan Belgia dll) untuk melanjutkan S2 karena tidak masuk kualifikasi. Wah tapi kan kuliah itu sulit, otak biasa saja, skripsi sulit juga...? Kalau menurut saya sih tergantung kerja keras kita dan usaha selama sekolah, namanya sekolah sudah pasti sulit kalau tidak mau sulitnya ya tidak usah sekolah dengan konsekuensi ditanggung sendiri. Saya punya kawan, dia biasa tidak termasuk anak pintar dikelas, tapi dia orangnya rajin, mau berusaha, semangat sekolah, eee...siapa yang menyangka dia wisuda bareng saya lhooo... yup! kawan saya ini 3,5 tahun sudah lulus S1 dengan IPK diangka 3,00... Yup, pintar saja tidak cukup karena harus dibarengi dengan mental kuat untuk menggapai cita-cita. Percayalah, banyak diantara kawan-kawan penulis sewaktu menempuh Strata 1 dikota Jogja dimana kawan saya banyak yang pintar dan cerdas (mungkin bahkan lebih cerdas dari saya), tapi sayang sekali lulus kuliah 5 tahun, 6 tahun, bahkan 7 tahun!
Menyelesaikan sekolah S1 tepat waktu dengan IPK minimal 3,00 penting juga kalau memang punya impian bekerja di luar negeri, kenapa? Karena di luar negeri (tidak hanya Singapura) orang sekolah S1 dalam waktu 2 tahun sudah pada lulus, S2 hanya ditempuh dalam waktu 1,5 tahun sudah lulus, malah ada program Master Degree yang selesai dalam waktu 1 tahun saja. Dan Ph.D bisa diraih dalam waktu 2 tahun saja. jadi bayangkan seandainya kita dari Indonesia lulus S1 saja 5 tahun, 6 tahun, bahkan 7 tahun, kira-kira dengan background seperti ini bisa bersaing kah diluar negeri? Jawab sendiri. Ini bagi mereka yang ingin datang ke Singapura sebagai tenaga profesional tentunya ya. Kecuali kalau datang ke Singapura hendak mencari pekerjaan misal waitress, penjaga toko, kerja diwarung makan, itu beda cerita ya, yang ini sih kita tidak perlu pusing masalah IPK, lama study dll asal mau kerja dah cukup. Dan satu lagi, akan lebih baik kita bekerja sesuai dengan bidang akademik kita. Karena banyak ya mahasiswa-mahasiswa di Indonesia saat kuliah jurusan A saat kerja bidang B.
Lah semisal kita punya orangtua benar-benar tidak punya duit buat mengirim kita ke Universitas, bagaimana bisa punya kesempatan sekolah minimal sampai S1/ Strata 1? Ini jawaban saya/ penulis, maka pelan-pelan lah melangkah. Bisa dimulai kursus-kursus dulu setelah lulus SMA (Sekolah Menengah Atas), bisa kursus menjahit kah, nyalon, komputer, atau kursus guru TK dan lain-lain...pastinya kursus dibidang yang memang kita minat. Setelah itu bekerja sambil menabung pelan-pelan untuk melanjutkan sekolah. Uang tabungan sudah cukup dan bisa ambil Diploma (misal D1 atau D2) maka ambillah dulu sembari bekerja dan menabung lagi. Uang tabungan cukup untuk jenjang strata 1 / S1 maka lanjutkan sekolah hingga jenjang S1 / Strata 1 minimal. Dan ini tidaklah instant butuh waktu hingga bertahun-tahun hanya untuk menggapai S1 / Strata 1, bisa 10 tahun baru bisa meraih gelar Strata 1 atau S1. Saya/penulis bisa bilang begini karena ada kawan penulis yang menempuh jalan seperti ini. Jadi jangan pernah menyerah begitu saja pada nasib, tapi harus berjuang keras untuk meraih pendidik tinggi. Bahkah kawan penulis ini pernah mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan Master atau S2 dan ingin punya bisnis, padahal posisi kehidupannya sudah bagus, anaknya juga sekolah disekolah yang bagus. Ya, ilmu pengetahuan semakin berkembang maju dan pesat, dunia pun bergerak maju, maka dari itu kita harus terus mau untuk belajar jika tidak ingin tertinggal dibelakang. Jangan sampai merasa diri sudah menjadi paling "OK" terus tidak mau belajar. Tetapi begitu melihat ada kawan lain bekerja di luar negeri/ sekolah diluar negeri/ tinggal diluar negeri, atau ada kawan lain yang bisa mengirim sekolah anaknya ke USA atau Eropa lantas merasa iri hati.
Saya adalah orang yang percaya dengan "sekolah" bisa membawa dan mengubah masa depan kearah yang lebih baik. Bisa dibaca bagaimana perjuangan saya yang harus bekerja sejak umur 11 tahun agar supaya bisa terus sekolah disini http://acikmdy-journey.blogspot.com/2019/06/berasal-dari-desa-gaji-bapak-saya-rp.html Ya, saya dan suami adalah orang biasa dan karena mau belajar dan berusaha keras itu kami bisa berdiri tegak disini, di Singapura. Meskipun kami sekarang di Singapura sudah memiliki kehidupan yang lebih dari cukup, tapi saya pribadi masih akan terus belajar dan sekolah, mengejar impian saya sekolah setinggi-tingginya!
2. Bekerja dan Berusaha Keras
Bagi kawan sekalian yang sudah membaca kisah saya/ penulis diartikel sebelumnya, link nya ada diatas, sudah pada tahu ya bahwa saya sudah mulai bekerja sejak umur 11 tahun (kurang dari 11 tahun sebenarnya). Demi apa? Supaya saya ini tetap terus bisa sekolah. Saat itu selain bekerja saya juga berusaha dan bekerja keras dalam bidang akademik/ sekolah saya. Maka tidak heran jika sejak Sekolah Dasar penulis selalu mendapat peringkat dikelas, mendapat peringkat 2 atau 1 itu sudah biasa untuk saya, sebaliknya mendapatkan peringkat 10 besar itu sangat jarang sekali, hanya sekali dua kali saja. Dan jangan dipikir gampang, tentu saja tidak. Dimana saja setiap ada kesempatan saya usahakan untuk belajar, misal sambil menunggu bis/ angkutan (baik berangkat/ pulang sekolah), juga belajar didalam bis/ angkutan, benar sekali bahkan didalam bis saat berangkat/ pulang sekolah otak saya terus belajar/ mengulang materi dikelas tanpa harus membuka buku. Tidak hanya itu saja, disekolah dijam istirahat pun saya belajar dikelas, bila kawan-kawan penulis pada keluar jajan maka saya malah belajar dikelas. Ketika sudah pulang sekolah dirumah langsung pegang buku, ya saya bisa sambil makan sambil pegang buku belajar atau mengerjakan tugas dari sekolah. Saat dibangku universitas, pulang kampus langsung pulang dikost dan belajar atau pergi keperpustakaan dan toko buku. Ya penulis bekerja dan berusaha keras untuk study saya. Belajar, belajar, dan belajar, tidak ada yang menyuruh saya. Sampai saya ini di bully oleh kerabat sendiri katanya saya ini "kutu buku, tidak punya teman." Abaikan saja bila kawan sekalian di bully seperti itu, buktinya saya sudah mandiri sejak daftar Sekolah Menengah Pertama dengan daftar sekolah tanpa diantar orangtua, daftar Sekolah SMA pun sendiri, berangkat ke kota Yogyakarta tanpa diantar orangtua, mencari universitas sendiri, mengurus ini itu seorang diri, dan saya bisa! Tidak hanya itu saja saya dan suami pindah dan berdomisili di Singapura, semua TANPA bantuan saudara/ famili, orangtua, kenalan, kerabat, juga teman. Semua kami usahakan sendiri dengan uang sendiri. Saya masih ingat dulu sebelum pindah ke Jakarta kami menjual cincin nikah kami, meminjam uang pada teman sebesar 2 juta rupiah untuk pindah ke Jakarta, pernah naik kereta ekonomi ke Jakarta dan duduk dilantai (tidak kebagian kursi) dan lain sebagainya... Ya waktu itu kehidupan kami benar-benar dari nol alias tabungan Rp. 0; Tapi kami tak pernah menyerah dan terus melaju tanpa henti. Berusah dan bekerja keraslah untuk menggapai impian!
3. Jangan Pernah Mengeluh
Saya ingat dulu sewaktu selesai S1, saya mulai mencari kerja. Yup, sebenarnya saya ingin langsung ambil program S2 yang ditawarkan pemerintah Rusia, yaitu Master of Economics dengan full beasiswa. Tapi saya ini tidak punya uang untuk mengurus ke Kedutaan Besar Rusia di Jakarta. Saya tegaskan disini, saya lhoo ya yang tidak punya uang cukup untuk datang ke Kedubes Rusia di Jakarta. Kalau bapak saya, waktu saya wisuda S1 bapak saya puji syukur punya uang, bahkan untuk mendaftarkan saya masuk sekolah Master atau S2 di Universitas negeri di Yogyakarta, bapak saya ada uangnya. Tapi saya/ penulis memutuskan untuk mencari pekerjaan dikota Yogyakarta kemudian sekolah lagi. Tapi saya tidak beruntung, tak lama setelah wisuda, kota Yogyakarta gempa besar dan menjadi kota mati selama 2 tahun. Akhirnya saya memutuskan untuk keluar dari kota Yogyakarta. Ya saya terpaksa keluar kota Yogyakarta untuk sementara. Dan ini benar-benar diluar dugaan saya...Mengeluh kah saya? Tidak!
Pekerjaan pertama saya setelah wisuda S1 itu menjadi tenaga pengajar bidang ekonomi dengan gaji jauh dibawah UMR (upah minimum regional) daerah tersebut. Mengeluh kah saya? tidak! setelah itu saya pindah keperusahaan yang katanya menjanjikan gaji UMR tapi ternyata saya hanya digaji 1/2 bulan saja dengan alasan saya tidak punya bukti absen (waktu itu perusahaan ganti kepemilikan dan sistem absen masih belum ditentukan), padahal setiap hari sayalah yang selalu dicari si boss yang merupakan salah satu pemegang saham perusahaan untuk mengurusin macam banyak hal urusannya, ya saya mengurus 25 sampai 500 pekerja. Pindah ke perusahaan lain lebih parah, mereka tidak memberi gaji pada saya karena menurut boss saya yang merupakah presiden direktur perusahaan saya bisa digaji kapan saja semau mereka. Padahal posisi saya mentereng alias bagus banget untuk ukuran baru lulus yaitu sekretaris presiden direktur perusahaan, posisi yang lain yaitu tangan kanan yang punya perusahaan. Dan perusahaan ini adalah perusahaan besar didaerahnya dimana pemilik perusahaan (yang merupakan presiden direktur perusahaan) meng-claim dirinya sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Mengeluh kah saya? Tidak! Justru karena bekerja disamping pemilik perusahaan itu saya belajar bagaimana sebuah perusahaan bekerja dan bagaimana mengelola sebuah perusahaan. Ya, saya ambil ilmunya, saya ambil sisi positifnya karena waktu itu orang-orang disekitar saya adalah orang penting, dan "besar". Tetap berpikir positif, malah saya berkata pada kepala HRD, "saya iklaskan gaji saya yang tidak seberapa itu untuk menyumbang perusahaan, mudah-mudahan dikemudian hari saya mendapatkan banyak berkah, terima kasih." Itu benar terjadi dan penulis move on. Siapa menyangka 4 tahun kemudian saya pindah domisili di Singapura, dinegara dimana boss saya dulu (presiden direktur perusahaan) merasa bangga anaknya sekolah di Singapura. Dan puji syukur saya bisa membantu sesama yang kalau dihitung jumlahnya berlipat-lipat dari sejumlah gaji saya yang dulu tidak diberikan itu. Who would have known? Maka jangan pernah mengeluh!
Tidak hanya itu saja, hampir mati juga pernah karena seseorang berusaha akan membunuh saya/ penulis, ups! Betul kah? yup! betul sekali! Mengerikan, ya? Dan karena tragedi itu berimbas pada karier dan kehidupan penulis. Masa itu benar-benar masa kelam. Itulah saya/ penulis, kalau kata teman saya yang orang Jepang "your stories just like a novel." Mengeluh kah saya? TIDAK! Justru karena sudah mengalami banyak hal saya menjadi lebih kuat. Maka dari itu jangan pernah mengeluh, karena untuk menggapai impian yang tinggi itu akan banyak halangan dan rintangan yang sudah pasti akan berat. Maka siapkan mental!
Jangan sebentar-bentar mengeluh, "wah kita lulusan S1 kok cuma digaji UMR/ dibawah UMR sih..." , "kita lulusan S1 kok diberi posisi anak SMA sih", "kita ini lulusan S1 kerjanya ya diperusahaan besar bukan perusahaan kecil..." Saya/ penulis sarankan, jangan pernah mengeluh. Mau hidup enak tidak instan! Kecuali memang kita ini punya orangtua kaya raya punya perusahaan ya kita tidak perlu susah payah sekolah sambil kerja misalnya, atau tidak perlu pusing-pusing mencari pekerjaan setelah lulus karena sudah pasti langsung jadi manager atau direktur perusahaan, atau malah langsung dibuatkan perusahaan oleh bapaknya, itu kalau bapaknya orang kaya punya perusahaan.
4. Disiplin
Dari kecil saya/penulis sudah dibiasakan untuk hidup disiplin oleh bapak. Misalnya setiap pagi bangun sendiri tanpa harus dibangunkan, ya saya lah orang pertama dirumah yang bangun lebih awal setiap pagi hari. Tiap sore wajib mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu halaman, menyiram semua bunga-bunga dan tanaman, cuci piring dan lainnya, waktunya belajar ya belajar tanpa harus disuruh-suruh. Tiap hari minggu bangun pagi langsung kerja dulu, biasanya membantu bapak menyapu halaman, bersih-bersih halaman, kadang menanam tanaman/ bunga, kadang masak sarapan dulu, cuci piring, cuci sepatu sekolah, tas, seragam, dll...setelah itu baru mandi dan makan sarapan. Dan biasanya setelah makan sarapan saya dan adik diajak mencuci sepeda. Saya/ penulis tidak diajarkan oleh bapak untuk menonton televisi setelah bangun tidur pagi dihari minggu. Maka, bila kawan sekalian menikmati acara kartun dihari minggu pagi, maka penulis justru sudah bekerja sejak bangun tidur pagi. Minggu siang hari saya pun menyetrika pakaian dirumah, kadang mengerjakan prakarya untuk sekolah, membuat handicraft untuk dipakai sendiri atau bekerja mencari uang contohnya: memetik lemon&lime untuk kemudian dijual kepasar/ diantar kerumah pembelinya, atau bekerja membungkus makanan ringan ditempat tetangga sekitar rumah bapak penulis. Minggu sore hari ya kerja lagi membantu dirumah: menyapu halaman, bersih-bersih rumah, cuci-cuci piring lagi, setelah itu belajar. Dan seringnya setelah jam 7 malam saya kerja lagi mencari uang dengan membungkus snack dirumah tetangga saya sampai larut malam jam 10 malam kadang baru pulang kerumah. Sebisa mungkin waktu yang ada dipakai untuk bekerja/ mengerjakan sesuatu/ berkarya. Yup! Setiap waktu yang ada itu sangat berharga. Jadi sehari-hari saya itu seperti punya jadwal yang tidak tertulis dimana saya harus/ wajib mengerjakannya setiap hari. Kalau tidak dikerjakan bapak penulis akan marah. Yup, bapak saya tidak peduli meskipun saya baru pulang dari sekolah jam 4.30 sore, waktunya sore kerja membantu dirumah ya saya harus kerja, tidak ada alasan untuk tidak mengerjakannya hanya karena baru saja pulang sekolah. Disiplin dan ketat sekali ya bapak penulis? Iya, bapak penulis nampaknya sudah tahu bahwa untuk menggapai cita-cita/ impian tinggi itu tidak gampang pasti ada halangan serta rintangan tajam didepan, oleh karenanya saya/ penulis digembleng agar saya menjadi seseorang yang kuat.
Dari hal-hal kecil seperti itu saya/penulis belajar untuk disiplin dan menghargai waktu. Manfaatnya saya rasakan ketika sudah pergi merantau yang dimulai sejak umur 16 tahun dimana saat itu saya memilih sekolah Universitas di Yogyakarta. Ya, kehidupan saya sehari-hari disiplin karena terbiasa mengatur waktu. Saya tidak kaget ketika harus hidup sendiri ditanah rantau, mengatur jadwal hari-hari dengan ketat. Sampai saat ini kehidupan disiplin ini masih saya terapkan. Boleh percaya, boleh tidak, saya ini ibu rumahtangga tapi dirumah jarang sekali menonton televisi, apalagi chit chat haha hihi di media sosial, saya tidak punya waktu buat ngerumpi di media sosial! Saya pun tidak punya waktu berbelanja shopping sambil mampir ngopi di cafe. Hari-hari saya sibuk mengurus rumah, semua pekerjaan rumah saya urus sendiri tanpa pembantu rumahtangga. Selain itu hari-hari saya sibuk mengurus bisnis, menulis, dan sibuk sekolah (kalau pas ikut kelas). Baru tahun 2019 ini saya tidak ikut sekolah dulu karena fokus mengurus bisnis dan mempersiapkan diri untuk meraih Ph.D kalau bisa Postdoctoral sekaligus!
5. Fokus
Saya ingat waktu itu bapak penulis meminta agar saya lebih baik memilih jurusan Ekonomi Manajemen. Ya, saat itu saya ada dua pilihan masuk jurusan bahasa perancis di Universitas Negeri atau jurusan Ekonomi-Manajemen di Universitas swasta kecil. Penulis agak ragu, maklum ya kalau mengikuti kata "gengsi" lebih bergengsi kuliah di universitas negeri atau universitas swasta ternama. Dan saat itu saya memilih sekolah di Universitas swasta kecil dikota Yogyakarta mengambil program study Ekonomi-Manajemen. Menyesal kah saya? Tidak! Karena ternyata Universitas yang saya pilih itu meskipun sebuah universitas swasta kecil tapi terdaftar di Jerman. Maksudnya apa? Bila kita akan mendaftar sekolah di Jerman misalnya Master Degree di Leipzig University, itu salah satu syarat pendaftaran adalah Universitas tempat kita memperoleh gelar S1, itu terdaftar di Jerman sana. Jadi mau kita sekolah di Universitas swasta kecil atau di Universitas besar dan ternama di Indonesia itu tidak ada masalah kedudukannya sama karena diluar negeri yang dilihat fokus study kita, lama study S1 kita, dan IPK harus minimal 3,00 bagus lagi diatas 3,00. Dan jangan memilih sebuah universitas karena "bergengsinya" tapi pilihlah universitas sesuai dengan minat kita dan sesuai dengan pekerjaan yang hendak kita geluti dimasa depan dan tentu saja sesuai "kantong" bapak kita alias kemampuan uang bapak kita. Kalau sudah di luar negeri yang dilihat adalah fokus study kita, lama study, dan IPK. Dan penulis berterimakasih pada bapak karena telah mengajarkan saya untuk bersikap fokus dengan apa yang ingin saya raih. Sejak Sekolah Menengah Pertama saya/ penulis sudah memutuskan untuk sekolah dibidang Ekonomi. Dan sampai sekarang saya masih berkarya dibidang Ekonomi meski pun hanya kecil-kecilan tapi sudah mulai membuka usaha alias bisnis. Desember tahun 2018 lalu saya berhasil menyelesaikan program MicroMaster Marketing in a Digital World dari Curtin University.
Kenapa kita harus fokus? Kita harus tahu apa yang kita mau, dan kita harus tahu kita akan mengarah kemana hidup kita kedepan nanti. Bila kawan sekalian hendak/ memang punya impian atau cita-cita ke luar negeri misal bekerja, mungkin ke Singapura atau negara lain, kita harus fokus. Bekerja sesuai dengan bidang yang kita ambil saat sekolah itu penting. Saya punya cerita, ada seseorang kontak saya, orang ini sekolah IT tetapi setelah lulus bekerja bukan bidang IT, setelah itu ingin kerja di Singapura bidang IT. Kalau saya bilang ya sulit, apalagi dengan waktu study S1 lebih dari 4 tahun, IPK juga tidak tahu berapa...ditambah lagi study IT tapi kerjanya berbeda. Ada lagi cerita dimana seseorang ini sekolahnya memang di universitas bagus, bergengsi katanya, tapi ia sendiri tidak tahu nantinya mau bagaimana setelah lulus karena ambil pertanian. Tanya pada penulis karena ingin kerja di Singapura, well I am very sorry... mencari kerja diluar negeri kalau tidak sesuai bidang saat kita sekolah ya akan sulit. Kalau memang sekolah pertanian ya pastinya kerja dibidang pertanian/ perkebunan, mungkin di Kalimantan sana, lah di Singapura tidak ada perkebunan... Ya banyak orang bilang mencari pekerjaan diluar negeri sulit meski kita pegang degree S1, katanya ijazah S1 dari Indonesia tidak laku diluar negeri sulit buat cari kerja, kenapa sulit? Karena kita tidak fokus dengan bidang yang hendak kita geluti, misal sekolah pariwisata tapi ingin melamar kerja finance, sekolah pertanian ingin lamar kerja perbankan, sekolah perikanan ingin lamar kerja marketing, dan lain-lain, jelas tidak bisa dan sulit karena diluar negeri kita sekolah jurusan A ya kerja bidang A. Kita harus fokus, misal study ekonomi ya bekerja dibidang ekonomi misal bekerja bidang digital marketing, financial, atau jadi researcher marketing department. Poin yang ingin penulis sampaikan adalah fokuslah. Jangan cuma asal masuk universitas yang penting bergengsi, ternama, dan ter..ter..lainnya, tapi sekolahlah dengan fokus study sesuai dengan bidang yang hendak kita geluti dimasa depan.
6. Terus Mau Belajar dan Berkarya Sekecil Apapun
Sebelum menikah saya dan suami sudah membicarakan banyak hal, salah satunya adalah setelah menikah 100% saya support suami. Dan untuk men-support suami ini saya memutuskan untuk menjadi ibu rumahtangga agar suami saya bisa fokus dengan kariernya. Karena untuk suami penulis, pindah kerjanya itu bukan cuma pindah kota tetapi pindah ke negara lain. Puji syukur selama menjadi ibu rumahtangga itu saya sudah berkarya yaitu menulis sejak tahun 2010 (sejak masih tinggal di Jakarta). Tahun 2011 tulisan saya pernah dimuat disebuah majalah wanita ternama di Indonesia. Sekarang sudah mengantongi 9 sertifikat dari universitas ternama dunia seperti Harvard University, University of California, Berkeley, dan Curtin University. Dan masih akan terus sekolah, belajar, dan berkarya. Tidak lupa harus membantu sesama.
Saya ingat waktu masih tinggal di Jakarta dimana tetangga saya suka sewot/ tidak suka dengan saya hanya karena saya ini ibu rumahtangga tapi pegangannya kok buku, belajar bahasa Inggris, ditambah lagi saya itu dulu membaca koran Kompas setiap hari. Katanya berlagak ya... Abaikan saja bila ini dialami oleh kawan sekalian. Belajar, belajar, dan belajarlah...percayalah tidak ada ilmu yang tidak berguna. Malah sekarang saya bisa membaca dan menulis hiragana dan masih akan belajar bahasa Dutch atau Belanda.
7. Jangan Pernah Merendahkan Orang Lain
Pernah ada seorang kawan penulis sewaktu sama-sama menempuh Strata 1 di kota Yogyakarta berkata, "orang itu meskipun seperti apapun suksesnya hidupnya, tapi kalau orangnya jahat/ pribadi buruk, suatu saat orang itu akan jatuh. Kita jadi manusia harus hidup dengan baik dan benar karena kita yang sudah hidup berusaha baik dan benar masih diberi ujian apalagi kalau kita hidup tidak baik dan berperilaku jahat pada orang lain..." Itu kata kawan penulis yang selalu saya ingat.
Sepanjang perjalanan penulis, saya melihat banyak hal. Kadang ada seseorang sudah merasa paling "wah" dan "OK" sehingga merendahkan orang lain bahkan mengejek yang lain, baru sekolah Diploma sudah berlagak seperti Ph.D kalau mengolok orang lain, baru kerja biasa gaji $100 tetapi kalau merendahkan orang lain seperti ia sudah bergaji $10,000 , ada yang baru kerja posisi biasa tapi berlagak seperti sudah jadi direktur perusahaan kalau merendahkan orang lain, baru difasilitasi motor kreditan dari orangtua tapi sudah berlagak seperti punya perusahaan motor kalau merendahkan orang. Itulah manusia, dibanding melihat diri sendiri orang-orang seperti ini lebih suka melihat orang lain dan sekitarnya. Point apa yang ingin penulis sampaikan? Jangan sampai kita menjadi orang-orang seperti ini. Dalam melihat orang maka lihatlah personalnya. Saya sendiri dalam melihat orang lain tidak pernah melihat latar belakangnya, tetapi saya lebih melihat personalnya (baik/ tidak orangnya). Jangan sekali-kali merendahkan/ memandang rendah orang lain, karena kita tidak tahu bisa saja orang didepan kita yang saat ini orangnya tidak pintar/ biasa, lusuh, tidak punya apa-apa, kita tidak pernah tahu suatu saat si orang ini beberapa tahun kedepan akan menjadi orang yang luar biasa. Kalau banyak orang bilang, "pem-bully dan orang-orang yang suka merendahkan orang lain, dikemudian hari hidup mereka biasa saja."
Lah kalau posisinya terbalik bagaimana, semisal justru kita yang direndahkan orang? Ini jawaban saya, berterimakasihlah pada mereka yang merendahkan kita. Iya, benar, ucapkanlah terimakasih pada mereka yang memandang rendah pada kita dan jangan membalas perkataan mereka. Karena percayalah manusia diperlakukan sesuai dengan apa yang ia lakukan, apa yang ditanam itulah yang akan dipetik. Justru berkah akan kita dapatkan bila kita tetap calm. Dan tetaplah fokus dengan apa yang hendak kita raih, serta bersikaplah low profile.
Ada sedikit cerita sekitar tahun 2008 (saya sudah lupa) dimana ada seseorang yang mengatakan bahwa penulis ini hanyalah "seekor tikus kecil" yang tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Bagaimana reaksi penulis? Bila hendak ditengok kebelakang, orang yang merendahkan penulis dengan mengatakan penulis hanya "seekor tikus kecil", ia sekolah universitas pun lulus 5 tahun lebih, parahnya lagi lulus karena skripsinya hasil dibuatkan orang lain, kalau tidak dibuatkan ia tidak akan selesai-selesai skripsinya. Lulus strata 1 kemudian bekerja dipinggiran kota sekitar Jakarta alias Tangerang tapi bergaya bilangnya Jakarta (Tangerang memang Jakarta sebelah mana 🙄 Hello nilai IPS-nya dapat berapa ya saat sekolah??), typically kebanyakan orang Indonesia bila tinggal&bekerja di Tangerang, Bekasi, Karawang, Depok, tapi bilangnya bekerja dan tinggal di Jakarta. Jadilah seorang manusia yang jujur, itulah pedoman hidup yang diajarkan oleh bapak penulis. Baru sekolah Diploma sudah serasa seperti lulusan Ph.D dari luar negeri kalau merendahkan orang. Ya, itulah manusia, merasa diri paling "wah" padahal fasilitas masih dari orangtua. Dan...sekarang ia kehidupannya biasa karier pun biasa saja... Ya, ini salah satu pengalaman perjalanan hidup penulis dimana saya tidak menanggapi maupun "engage" dengan hal-hal tidak penting seperti ini. Saya tidak mau membuang waktu dan energi sia-sia hanya untuk menanggapinya. Sebaliknya saya tetap fokus dengan apa yang hendak saya raih dimasa depan, terus belajar, dan belajar. Puji syukur 3 tahun setelah dikatakan hanya "seekor tikus kecil", penulis dan suami diberkahi, pindah dan hidup di Singapura. Dan sekarang penulis malah mengantongi 9 sertifikat dari universitas ternama dunia seperti, Harvard University, University of California, Berkeley, terakhir tahun 2018 penulis mendapatkan sebuah sertifikat Micromaster Marketing in A Digital World dari Curtin University. Dan sekarang saya sedang merencanakan untuk meraih Master degree dan Ph.D di Belgia. Puji syukur juga sejak tahun 2013 "seekor tikus kecil" ini sudah mulai membantu sesama. Bisa dibaca disini aktifitas sosial kami https://ichikraft-give-care.blogspot.com/ . Selain itu, hasil karya dan design "seekor tikus kecil" ini sudah keliling USA dan Eropa. Biar pun bisnis saya cuma kecil, tapi pembelinya dari USA, Canada, Australia, dan negara-negara Eropa, seperti UK, Belgia, Perancis, Denmark dll...
Diatas hanyalah salah satu contoh saja dimana penulis pernah direndahkan orang lain. Kita tidak perlu membalas balik omongan pem-bully, dan jangan sekali-kali "engage". Karena kalau kita ikut masuk dalam arus para pem-bully artinya kita tidak ada bedanya dengan mereka dan hidup kita tidak akan pernah mencapai puncak tertinggi. Diamkan saja dan kita tetap fokus dengan apa yang hendak kita raih dan low profile.
8. Jangan pernah takut untuk melangkah maju (step forward), dan menjadi orang yang berbeda
Step forward! Yup, jangan pernah takut untuk melangkah maju. Contohnya seperti saya sendiri misalnya. Lahir dan besar didesa bukan berarti saya harus hidup dan tinggal selamanya didesa atau hanya berkutat didaerah asal. Dikelas 2 Sekolah Menengah Atas, penulis sudah memiliki mimpi untuk sekolah keluar negeri. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas saya memutuskan untuk meninggalkan daerah asal dan sekolah di kota Yogyakarta. Pergi tanpa diantar orangtua, mencari sekolahan sendiri, dan mengurus segala sesuatu seorang diri. Padahal saya "buta" kota Jogja dan belum pernah sekalipun pergi-pergi sampai jauh kekota Yogyakarta. Tidak takut kah saya? Tidak. 6 bulan setelah menikah pindah ke Jakarta, kurang dari 2,5 tahun kemudian pindah ke Singapura. Yup, diumur 27 tahun saya (dan suami) pindah domisili di Singapura. Terus melangkah maju tanpa rasa takut.
Kenapa kita harus memiliki jiwa pemberani seperti diatas? Buat saya pribadi, kalau saya ini tetap tinggal dan hidup didaerah asal terus ya saya tidak akan memiliki pengalaman hidup, bertemu banyak orang dalam keberagaman, bertemu budaya baru, bahasa baru, lingkungan baru, dan belajar banyak hal-hal baru. Step forward and out of the box, jangan terus-menerus berada dizona nyaman seperti tinggal seatap dengan orangtua, masih suka difasilitasi orangtua, dan segala keperluan hidup tergantung orangtua. Saya pribadi punya prisip, diumur 16 tahun atau setelah lulus Sekolah Menengah Atas harus keluar dari rumah bapak saya. Setelah selesai strata 1 menyetop bapak saya untuk mengirim uang dan saya tidak kembali kerumah orangtua. Dan melanjutkan hidup sebagai orang dewasa mandiri, bertanggungjawab pada diri sendiri, serta tidak meminta uang pada bapak lagi. Kalau kita lihat banyak ya para mahasiswa yang sudah lulus pulang kerumah orangtua dan masih suka difasilitasi orangtua. Tak jarang bahkan sudah punya pekerjaan tapi masih tinggal seatap atau masih difasilitasi orangtua. Bahkan sudah menikah dan punya anak sekalipun masih suka tinggal serumah dengan orangtua serta masih difasilitasi/ mengandalkan orangtua, ingin beli rumah minta bantuan orangtua, renovasi rumah minta bantuan orangtua, mau beli kendaraan minta bantuan orangtua, sampai mengurus anak pun minta bantuan orangtua, semua-semuanya masih tergantung dengan fasilitas dan bantuan dari orangtua. Disinilah kita bisa melihat apakah kita sudah menjadi manusia dewasa mandiri dan bertanggung jawab, atau belum? Tanya pada diri sendiri. Harus keluar dari zona aman dan step forward.
Tahun 2011 ada yang berkata pada penulis, "eh kalau putra daerah seharusnya tinggal didaerah dan kerja didaerah, itu namanya membangun daerah." Sudah banyak cerita ya dari luar negeri sana dimana orang-orang Indonesia yang tinggal diluar negeri membantu sesamanya yang ada di Indonesia. Contohnya ada orang Indonesia yang tinggal di Jerman, ia menggalang dana untuk diberikan pada anak-anak jalanan di Indonesia. Ada yang dari Papua, ia ke Jerman dan membiayai sekolahnya sendiri dengan nyambi kerja, kemudian ia membantu memberikan informasi pada anak Papua lainnya yang ingin ke Jerman baik sekolah atau ingin bekerja. Lah sementara saya juga melakukan hal yang sama, membantu biaya pendidikan beberapa anak miskin didesa di Indonesia, bisa dibaca disini https://ichikraft-give-care.blogspot.com/ Kenapa saya membantu anak-anak ini? Saya ingin anak-anak desa miskin ini terus sekolah dan bisa meraih masa depan yang lebih baik. Namanya membangun daerah bukan tinggal didaerah dan bekerja, kalau ini sih namanya memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti kebanyakan orang: bekerja untuk bisa dapat uang untuk memenuhi hidup. Namanya membangun daerah itu ya dengan membantu sesama, membantu orang lain, serta ikut aktif memajukan masyarakat sekitar atau komuniti misal: membuka kursus bahasa inggris gratis untuk anak-anak sekitar, membuka kursus komputer untuk anak-anak desa, membuka perpustakaan untuk anak-anak sekitar, mengajari orang-orang sekitar keterampilan misal: mengajari ibu-ibu desa membuat bunga pita dan dijual, mengajak warga desa untuk memanfaatkan pekarangan rumah dengan ditanami sayur atau buah yang bisa dimakan sendiri atau dijual diajari cara bertanam yang lebih baik, dll.. itu baru namanya ikut serta membangun daerah. Dan kalau saya boleh bilang, aktifitas seperti ini bukan membangun daerah lagi tetapi sudah masuk yang namanya membantu sebuah negara, kalau saya lebih suka menyebutnya membantu memajukan tingkat kemampuan warga miskin agar mereka atau anak-anak mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Boleh percaya, boleh tidak, saya pernah berkunjung ke salah satu kantor daerah untuk urusan sesuatu hal, disana saya (dan suami) diperlakukan istimewa, kenapa? Karena pegawai didaerah itu bangga ada orang yang berasal dari daerahnya bisa sampai keluar negeri dan punya degree. Artinya saya/ penulis bukanlah orang biasa seperti kebanyakan orang daerah tersebut, jarang-jarang orang seperti penulis. Dan itulah kenapa saya/ penulis diperlakukan istimewa, urusan yang saya punya bisa langsung beres hari itu juga tanpa harus punya kenalan dikantor daerah pun tidak perlu sampai mengeluarkan uang agar urusan cepat selesai. Point apa yang ingin penulis sampaikan? Lahir dan besar didaerah/ dikampung/ desa tidak mengapa, tapi sekolahlah yang tinggi, setelah sekolah keluar negeri tidak masalah (mencari ilmu atau berkarya), atau sekolah dan berkarya diluar negeri.
Sementara kalau memang mau tinggal didaerah dan membangun daerah ya seperti kawan saya contohnya: kawan baik penulis tinggal didaerah dan merintis sebuah sekolah karena ia ingin membantu anak-anak kurang mampu didesa agar mereka bisa sekolah. Tidak ada yang menggaji kawan saya ini, bertahun-tahun merintis sebuah sekolah tanpa lelah. Tapi hasilnya luar biasa ia diangkat PNS tanpa ribet. Ada lagi cerita dari kawan penulis sewaktu sekolah di Sekolah Menengah Atas, kawan SMA saya ini lulusan S1 dari kota di Jawa Tengah. Setelah lulus ia bekerja disebuah rumah sakit cukup bagus gaji bulanan lumayan, tetapi ia memutuskan keluar dan memilih bekerja di puskesmas didesa terpencil dengan gaji seadanya. Dipuskesmas ini hanya ada seorang dokter merangkap kepala puskesmas, dan kawan saya jadi asisten dokter, merangkap perawat juga bidan. Warga datang mau melahirkan tidak dipungut biaya oleh kawan saya. Warga desa membayar kawan saya ini dengan sayur dan buah hasil kebun. Apa yang terjadi? 2 tahun bekerja membantu masyarakat didesa terpencil, kawan ini diangkat PNS tanpa tes. Itu baru namanya membangun daerah bagi yang ingin tinggal didaerah, bukan ikutan ramai-ramai tes CPNS tiap tahun agar bisa menjadi PNS atau malah memberi suap alias "nyogok" supaya bisa jadi PNS?! Percayalah bahwa kawan saya merintis sebuah sekolah, dan memberi pelayanan kesehatan gratis ini karena mereka ingin membantu sesama, membantu warga miskin sekitar, membangun masyarakat, dan bukan karena ingin menjadi PNS. Diangkat PNS tanpa tes adalah bonus untuk mereka dari Yang Maha Kuasa. Ada kawan penulis sewaktu menempuh sekolah S1, almarhum kawan saya ini setelah lulus tinggal didaerah menjadi tenaga pengajar. Ia memberikan les gratis pada anak-anak sekitar rumahnya setiap hari. Bahkan ia memberikan les gratis juga pada anak-anak disebuah sekolah. Ia juga bekerjasama dengan saya untuk membuat perpustakaan dirumahnya, dan membantu saya menyalurkan biaya sekolah dari kami untuk beberapa anak waktu itu. Itulah yang namanya membangun daerah bagi yang ingin tinggal didaerah.
Menjadi orang berbeda dari kebanyakan orang sekitar pun menjadi salah satu kunci penting dalam menata masa depan. Kalau kita sama seperti yang lain/ orang kebanyakan, ya masa depan kita akan sama seperti kebanyakan orang. Kelas 5 Sekolah Dasar saya sudah memutuskan untuk sekolah ke universitas mengambil Strata 1 / S1 Ekonomi. Padahal anak-anak lain masih sibuk main. Pulang sekolah anak-anak lain sibuk main, pacaran, saya malah kerja mencari uang agar bisa sekolah. Sore hari anak-anak sekitar pada nongkrong gitar-gitaran haha hihi, saya malah bergelut dengan buku dan belajar. Ada yang bilang saya tidak punya teman, tidak bergaul dengan lainnya. Peduli kah saya dengan semua itu? Tidak. Karena dalam kenyataannya sayalah anak desa/ kampung tapi punya teman dari luar negeri dimana saya sudah mulai belajar bahasa baru dan budaya baru sejak masih tinggal didesa/ kampung. Buat saya, saya hanya mau berteman dengan orang-orang yang berpikir maju dan positif. Supaya apa? Agar supaya saya tetap pada jalur cita-cita yang hendak diraih, maju kedepan bukan mundur kebelakang, yang pada akhirnya berpengaruh positif pada segi kehidupan saya sendiri. Percayalah, tidak ada seorang Professor atau orang bergelar Ph.D yang kerjaannya hanya membuang-buang waktu dan energi, seperti ngerumpi, nongkrong, mem-bully orang lain, merendahkan orang lain, mengolok, menghina, dan mengejek orang lain. Tidak ada. Maka ada istilah, "Success is not having a big house or fancy car, success is having a big heart." Intinya bahwa orang berpendidikan tinggi dan sukses, mereka-mereka ini memiliki budi pekerti luhur. Lah semisal saya ikut-ikutan seperti anak-anak sekitar rumah bapak saya, bisa kah saya ini seperti sekarang? Jawabnya adalah tidak. Maka ada istilah "We go Against the grain." Maksudnya apa? Ya kita harus melawan arus, jangan ikut-ikutan arus sekitar.
9. Harus Rajin Menabung
Huh?😦 Apa hubungannya rajin menabung dengan persiapan dari diri sendiri untuk pindah ke Singapura (atau mungkin ke negara lain)? Tentu saja ada hubungannya. Ini adalah salah satu kunci dimana seseorang bisa meraih impiannya dimasa depan dan harus menjadi pegangan hidup untuk kita. Karena kalau dilihat banyak sekali orang yang memiliki mental hedonis. Bila kita memang orang berduit atau kaya raya ya silahkan saja, tetapi kalau kita asalnya dari orang biasa ya jangan hedonis. Seperti misalnya membeli barang-barang kebutuhan sekunder padahal tidak punya uang, artinya suka kredit barang.
Bapak penulis adalah pribadi yang ulet dan suka menabung atau bijak menggunakan uang. Satu hal yang tidak disukai bapak yaitu kredit barang. Sewaktu masih menjadi seorang karier-man sukses bapak saya itu beli kulkas saja tidak mau padahal bisa beli cash! Menurut bapak saya tidak penting, beli es banyak diwarung, pengen sayur segar banyak dijual tiap pagi, pengen daging ayam tinggal potong ayam dari kandang. Bisa beli motor cash pun bapak saya tidak mau, mampu melantai rumah dengan marmer pun bapak saya juga tidak mau, malah uangnya dipakai untuk beli ladang, dan kemana-mana naik sepeda. Sekalipun bapak saya punya uang, ia tidak serta merta menggunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu yang bersifat sekunder. Beliau lebih suka menyimpannya agar suatu saat bisa digunakan untuk hal yang lebih berguna/ penting. Ketika hanya menjadi seorang buruh pabrik, boleh percaya boleh tidak, setiap hari bapak saya itu mengayuh sepeda untuk mencapai tempat kerjanya. Beliau lebih memilih naik sepeda ketimbang naik angkutan umum atau naik motor kreditan. Boleh dikatakan tempat kerjanya lumayan jauh. Dan setiap pulang kerja masih harus mengayuh sepeda hingga berkilo-kilo meter lagi untuk mencari pakan kambing yaitu rumput diladang-ladang. Kalau mau dipikir misal cuma mau kredit motor, kulkas, hape-hape dll.. bapak saya mampu karena punya penghasilan lainnya yaitu dari hasil ladang, ternak kambing, ternak ayam, dan sedikit bisnis. Tapi uangnya hanya digunakan untuk hal yang lebih penting atau ditabung ketimbang membeli barang sekunder atau barang kurang penting. Misalnya saja digunakan untuk biaya menyekolahkan saya ke universitas. Karena kalau dipikir tidak masuk akal, bapak saya gajinya cuma 500 ribu Rupiah perbulan saat penulis sekolah universitas, tetapi bapak saya itu bisa mengirim saya ke Yogyakarta untuk sekolah universitas dimana waktu itu kiriman uang sebesar 500 ribu Rupiah per bulan untuk saya. Belum lagi masih harus membayar kost, biaya perkuliahaan, juga tiket bus untuk saya mudik, dan lain-lain... Kok mampu ya? Iya karena bapak saya itu orangnya ulet dan rajin menabung serta bijak menggunakan uang.
Oleh karena itu saya/ penulis dididik untuk menjadi pribadi yang ulet dan rajin menabung. Belajar menggunakan uang dengan bijak (baik dan benar) sudah diajarkan oleh bapak sejak dini. Tidak punya uang ya jangan bergaya membeli barang terutama barang sekunder apalagi dengan cara kredit. Kalau punya uang ya ditabung. Ingin membeli sesuatu ya berusaha keras dan menabunglah untuk membelinya. Tetapi sebelum membeli pikirkanlah apakah kita butuh atau hanya karena gengsi semata. Kalau guru-guru Sekolah Dasar sering berkata pada muridnya, "Rajin belajar pangkal pandai, rajin menabung pangkal kaya." Nasihat guru kita itu benar adanya, dengarkan baik-baik nasihat guru kita itu.
Nah, kalau punya impian keluar negeri baik ingin melanjutkan sekolah/ ingin bekerja profesional diluar negeri, bila kita asalnya orang biasa ya kita harus rajin menabung, dan jangan menjadi orang hedonis. Baru punya uang sedikit sudah ingin beli ini itu padahal kreditan, baru punya uang 700 ribu lantas ingin beli motor alias kredit, baru punya duit 2 juta ingin beli mobil alias kredit. It doesn't work like that, guys...! Punya uang harus ditabung sedikit demi sedikit, jalani hidup dengan low profile. Lebih baik hidup biasa tapi punya tabungan banyak di bank dari pada punya ini itu tapi kreditan artinya tabungan zero dan utang banyak. Jangan sampai tergiur dengan kehidupan hedonis beli ini dan itu padahal tidak punya uang. Kalau ada orang bilang, "bila kita miskin ya jangan berlagak seperti orang berduit." Lebih baik kelihatan biasa tapi uangnya banyak di bank dari pada banyak gaya kelihatan berduit tapi utang segunung. Menabung itu penting dan harus menjadi kebiasaan/ budaya/ bagian dari kehidupan kita sehari-hari yang pada akhirnya akan bermanfaat untuk kehidupan kita sendiri dimasa depan.
Ada sebuah cerita dimana saya pernah diminta seseorang untuk membantu anaknya untuk bekerja jadi pembantu di Singapura. Saya/ penulis menolaknya. Kenapa? Karena ini anak pinter sekolahnya , juara pertama terus tapi sayang sifatnya hedonis dan ingin hidup enak instant. Kok bisa dibilang begitu? Karena orangtuanya mencari uang saja susah tapi ini anak baru sekolah SMA saja minta motor untuk kesekolah dengan alasan supaya cepat berangkat sekolah dan tidak terlambat. Kalau saya bilang sih malas amat jadi anak sekolahan, banyak bergaya biar keliatan berduit. Lah iya malas, malas bangun pagi buta. Saya saja dulu-dulu tidak pernah sekalipun terlambat disekolah padahal naik kendaraan umum, bangun pagi jam 5, paling telat 5.15 pagi, jam 6.15 pagi sudah harus keluar rumah dan jalan 1 Km ke pasar untuk menunggu bis/ angkutan. Tidak pernah sekalipun saya terlambat sekolah! Dari pada uangnya untuk kredit motor begitu, apa tidak lebih baik uang yang dipakai membayar angsuran motor tiap bulan itu ditabung untuk kemudian dipakai untuk sekolah ke universitas. Sekolah di universitas pintar kan bisa mendapat beasiswa, malah bisa sekolah sampai ke luar negeri sebagai seorang pelajar berprestasi atau menjadi seorang pekerja profesional. Benar tidak? Kalau anak model begini sih saya sudah bisa lihat masa depannya tidak cerah sekalipun ia pinter juara 1 dikelas. Otak pinter saja tidak cukup, ada faktor lain-lain yang menentukan cerah atau tidaknya masa depan seseorang. Lah ini yang otak pinter saja bisa tidak cerah masa depannya, apalagi kalau otak biasa plus banyak gaya dan banyak tingkah, saya pastikan masa depan gelap dan tidak pasti. Percayalah, penulis sudah banyak melihat kasus seperti ini. Yup! Ada banyak hal yang menentukan sukses atau tidaknya seseorang dimasa depan, salah satu faktor itu adalah low profile, tidak perlu banyak gengsi, banyak tingkah, dan bergaya. Dan saya bersyukur karena bapak penulis sudah memberikan contoh teladan yang baik untuk anaknya yaitu saya.
Setelah membaca apa-apa yang harus dipersiapkan diatas, sekali lagi saya tekankan ya dalam artikel ini adalah persiapan yang dimulai dari diri sendiri. Banyak orang yang berkata pada saya/penulis, "wah enak ya tinggal di Singapura, suami pun orang IT punya gaji besar..." Ya, banyak orang melihat dari sisi enaknya saja, tapi tidak ada yang bertanya bagaimana usaha kami untuk bisa mencapai semua ini. Itulah kebanyakan orang berpikir bahwa semua serba instant. Untuk saya pribadi namanya ingin mendapatkan masa depan yang gemilang ya harus berusaha dan bekerja keras karena bapak saya hanya orang biasa bukan pemilik perusahaan. Tidak ada waktu bersantai-santai..misal sekolah nyantai-nyantai...lulus kuliah pun molor-molor... atau chit chat haha hihi dimedia sosial, Tidak! hal ini tidak ada dalam "kamus" saya. Perlu untuk diketahui, suami saya itu diawal kariernya menjadi seorang programmer ia hanya bergaji UMR (upah minimum regional) cuma 700ribu Rupiah per bulan guys...! Dan bekerja disebuah perusahaan IT kecil didaerah. Semua kami awali dari hal kecil alias zero!
Kenapa sih persiapan dari diri sendiri itu penting? Ini berdasarkan pengalaman penulis ya, persiapan-persiapan seperti ini penting karena akan membentuk karakter, pola dan cara berpikir kita. Agar kita tumbuh menjadi seorang dewasa yang bermoral baik, berbudi pekerti luhur, mandiri, dan bertanggungjawab. Kalau kita orang biasa ya kita harus merangkak dari bawah, bersusah payah dahulu. Kita harus tahu pattern kehidupan yang hendak kita raih. Dan sekolah itu penting! Ambil contoh, saya pernah dimintai tolong oleh seseorang agar saya ini mau membawa anaknya ke Singapura untuk kerja di Singapura jadi pembantu. Dan saya diamkan saja karena saya tadinya ingin membantu si anak ini untuk mendaftar beasiswa ke Universitas, tapi nampaknya tidak mau, lebih suka ingin jadi pembantu di Singapura dibanding sekolah ke Universitas dengan beasiswa. Sayang ya, pintar disekolah, juara terus sampai Sekolah Menengah Atas, kenapa tidak sekolah. Kalau mau keluar negeri ya jangan jadi pembantu tapi jadilah pelajar berprestasi/ pekerja profesional. Ada lagi contoh, ada yang ingin lulus kuliah S1 langsung masuk perusahaan besar dibidangnya dan gaji besar. Lah kalau kita orang biasa ya kita bekerja di perusahaan kecil dulu, ditekuni merangkak pelan tapi pasti. Itulah pentingnya persiapan yang dimulai dari diri sendiri bila kita ini berasal dari orang biasa atau kata orang bapaknya "kere" . Dan kita tidak perlu merasa rendah diri karena berasal dari orang biasa karena prestasilah yang akan berbicara.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah butuh biaya/ modal berapa untuk pindah ke Singapura? Tahun 2012 awal (akhir bulan Januari 2012) ya, saat itu untuk pindah ke Singapura kami sudah siap biaya sebesar kira-kira Rp. 25.000.000; Biaya sebesar ini kami ambil dari tabungan kami selama kurang dari 2,5 tahun di Jakarta. Sementara sisa tabungan yang kami kumpulkan selama kurang dari 2,5 tahun di Jakarta puji syukur sampai sekarang masih ada dan belum tersentuh (belum terpakai). Uang 25 juta rupiah itu dipersiapkan untuk apa saja sih? Tentu saja yang pertama adalah biaya tiket pesawat kami berdua, Jakarta-Singapura. Biaya lain yang harus dikeluarkan yaitu sewa tempat tinggal dimana kita harus membayar uang deposit serta membayar agent property-nya. Dan biaya sewa tempat tinggal ini paling banyak keluar. Sementara untuk mengurus visa ijin tinggal kita mengurus sendiri di Ministry of Manpower dengan biaya yang ditanggung perusahaan suami. Jadi perusahaan suami hanya menanggung biaya visa ijin tinggal dan visa kerja ya, sementara biaya lain-lain kita tanggung sendiri. Kalau sudah Permanent Resident tentu kita tidak perlu mengurus visa ijin tinggal dan visa kerja. Dan puji syukur kami berdua sudah Permanent Resident. Terimakasih hidup kami penuh berkah...
Ya, untuk besaran biaya/ modal pindah ke Singapura ini bisa saja berbeda dengan orang lain ya. Karena biaya sewa tempat tinggal sudah pasti berbeda antara orang satu dengan yang lain. Orang punya standart tempat tinggal yang diinginkan. Kemudian kebutuhan-kebutuhan yang dibeli saat pertama kali datang juga berbeda. Jadi untuk besaran biaya ini mungkin saja bisa berbeda dengan orang lain.
Satu lagi yang perlu dan penting untuk diketahui, meskipun suami bekerja di Singapura tidak serta merta istri bisa juga tinggal di Singapura. Di Singapura ada aturannya dimana untuk para pekerja (suami) yang ingin membawa istri atau anak (kalau sudah ada anak) itu ada batasan minimal gaji tertentu dimana istri dan anak bisa dibawa tinggal di Singapura. Kalau gaji suami dibawah batas minimal gaji yang sudah ditentukan, maka istri tidak bisa mendapatkan visa ijin tinggal alias tidak bisa tinggal di Singapura meski suami bekerja disini. Lantas berapa batas minimal gaji ini untuk bisa membawa anggota keluarga inti (istri dan anak)? Setahu saya sih batasan minimal gaji ini adalah SGD 6,000 (kalau belum naik lagi ya) per bulan. Jadi bila sang suami ingin membawa istri dan anak (bila sudah ada anak) tinggal di Singapura maka suami harus memiliki gaji minimal SGD 6,000 per bulan (kalau belum naik lagi). Dan ada tambahan lagi, background istri (bagi yang ingin membawa istri) juga lebih baik punya background bagus misal minimal punya degree Strata 1 atau S1, dan punya aktifitas positif misal kalau saya ya menulis, bisa ambil kelas ya saya ambil, atau buka usaha meski hanya kecil-kecilan. Buat saya pribadi, datang ke negara orang ada baiknya saya punya latar belakang pendidikan, punya degree bisa update degree saya pun akan update degree (sekolah lagi), punya history pendidikan bagus, dan beraktifitas positif. Kenapa demikian? Semua itu untuk kebaikan diri kita sendiri dan nilai plus untuk kita. Banyak orang terheran-heran dengan saya karena saya ini cuma ibu rumahtangga tapi bisa penduduk tetap atau Permanent resident. Kenapa heran? Karena ada cerita dimana yang menikah dengan orang Singapura saja katanya dapat visa 6 bulanan saja (tiap 6 bulan renew), yang lain apply Permanent resident dua kali baru approve padahal menikah dengan orang Singapura. Ada juga pasangan suami-istri dua-duanya bekerja kantoran tapi apply PR reject alias ditolak terus, ada juga cerita dimana visa ijin tinggal istrinya ditolak terus. Sampai suami penulis ditanya teman juga kenalannya, "punya achievement apa sih?", "istri kerja apa?", ada juga yang bertanya, "istrinya Chinese ya?" Banyak orang terheran-heran karena pekerjaan saya adalah ibu rumahtangga. Sebelum jadi Permanent Resident visa saya 2 tahunan. Kami apply PR sekali langsung approve (dapat Permanent Resident). Poin apa yang ingin penulis sampaikan? Sekolahlah yang baik dan benar, dapatkan degree minimal S1 (lulus maksimal 4 tahun dengan IPK minimal 3, 00 diatas 3,00 lebih bagus lagi), fokus dengan apa yang hendak diraih, lakukan aktifitas positif dan membangun baik membangun diri sendiri maupun lingkungan sekitar/ masyarakat/ berguna untuk orang lain serta upgrade skill. Semuanya itu demi kebaikan diri kita sendiri dan investasi kita dimasa depan. Tidak usah melihat orang lain kok bisa begini kok bisa begitu, dari pada sibuk melihat orang lain lebih baik fokus dengan diri sendiri. Saya pribadi punya prinsip, datang kenegara orang ada baiknya kita bisa menunjukkan bahwa kita punya kualitas dan kemampuan. Persiapannya apa ingin pindah ke Singapura? Nomer 1 ya sekolahlah yang baik dan benar, dan jangan pernah berhenti untuk belajar, belajar, dan belajar.
Sekali lagi saya tegaskan, hidup ini tidak ada yang instant, mau hidup enak tidak instant. Kecuali yang sudah saya sebut diatas punya orangtua/ bapak kaya raya punya perusahaan ya kita tidak perlu bersusah payah dalam hidup. Nah, karena saya ini cuma anak desa biasa jadi saya mempersiapkan masa depan sejak dulu kala yaitu sejak jaman Sekolah Dasar sudah mulai merencanakan masa depan. Setelah menikah saya dan suami bersama-sama membangun masa depan TANPA bantuan saudara/ kerabat/ famili/ orangtua...semua kami usahakan sendiri dengan uang sendiri. Pernah dulu ada kerabat yang sinis berkata, "Disekolahin habis biaya banyak mana hasilnya...gak jadi apa-apa juga?!" wow! padahal waktu itu saya/ penulis baru setahun wisuda S1 Ekonomi, sudah ditanya mana hasilnya? Lha saya ini lulus S1 Ekonomi 3,5 tahun dan lulusan terbaik, padahal semasa perkuliahan biaya bulanan minim, alias cukup gak cukup harus cukup dan tidak punya fasilitas apa-apa, komputer untuk kuliah saja tidak punya. Dan puji syukur, diumur 27 tahun saya (dan suami) pindah ke Singapura dan hingga sekarang. Sementara anak-anak mereka sekolah universitas dengan biaya bulanan banyak fasilitas lengkap lulus S1 makan waktu 5 tahun lebih dan sampai menikah pun masih sedikit banyak tergantung pada orangtua. Ya itulah kebanyakan orang berpikir instant, melihat orang lulus S1 dikira bisa langsung jadi presiden direktur perusahaan gaji puluhan juta, lah ngimpi! Kalau kita orang biasa ya masih harus bekerja keras untuk menggapai impian setelah sekolah S1 kecuali punya bapak kaya raya punya perusahaan ya langsung dibuatkan perusahaan dengan puluhan bahkan ratusan karyawan. Itulah yang katanya saudara membantu saja tidak, mem-bully iya. Dan sekali lagi, puji syukur hidup kami penuh berkah, bisa menyekolahkan adik saya sampai detik ini. Puji syukur, tahun depan adik saya/ penulis akan masuk di sekolah tunagrahita paling bagus/ terbaik. Tidak ada kata yang bisa saya ucap selain bersyukur...terimakasih pada Yang Kuasa...
Note:
Pekerjaan pertama saya setelah wisuda S1 itu menjadi tenaga pengajar bidang ekonomi dengan gaji jauh dibawah UMR (upah minimum regional) daerah tersebut. Mengeluh kah saya? tidak! setelah itu saya pindah keperusahaan yang katanya menjanjikan gaji UMR tapi ternyata saya hanya digaji 1/2 bulan saja dengan alasan saya tidak punya bukti absen (waktu itu perusahaan ganti kepemilikan dan sistem absen masih belum ditentukan), padahal setiap hari sayalah yang selalu dicari si boss yang merupakan salah satu pemegang saham perusahaan untuk mengurusin macam banyak hal urusannya, ya saya mengurus 25 sampai 500 pekerja. Pindah ke perusahaan lain lebih parah, mereka tidak memberi gaji pada saya karena menurut boss saya yang merupakah presiden direktur perusahaan saya bisa digaji kapan saja semau mereka. Padahal posisi saya mentereng alias bagus banget untuk ukuran baru lulus yaitu sekretaris presiden direktur perusahaan, posisi yang lain yaitu tangan kanan yang punya perusahaan. Dan perusahaan ini adalah perusahaan besar didaerahnya dimana pemilik perusahaan (yang merupakan presiden direktur perusahaan) meng-claim dirinya sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Mengeluh kah saya? Tidak! Justru karena bekerja disamping pemilik perusahaan itu saya belajar bagaimana sebuah perusahaan bekerja dan bagaimana mengelola sebuah perusahaan. Ya, saya ambil ilmunya, saya ambil sisi positifnya karena waktu itu orang-orang disekitar saya adalah orang penting, dan "besar". Tetap berpikir positif, malah saya berkata pada kepala HRD, "saya iklaskan gaji saya yang tidak seberapa itu untuk menyumbang perusahaan, mudah-mudahan dikemudian hari saya mendapatkan banyak berkah, terima kasih." Itu benar terjadi dan penulis move on. Siapa menyangka 4 tahun kemudian saya pindah domisili di Singapura, dinegara dimana boss saya dulu (presiden direktur perusahaan) merasa bangga anaknya sekolah di Singapura. Dan puji syukur saya bisa membantu sesama yang kalau dihitung jumlahnya berlipat-lipat dari sejumlah gaji saya yang dulu tidak diberikan itu. Who would have known? Maka jangan pernah mengeluh!
Tidak hanya itu saja, hampir mati juga pernah karena seseorang berusaha akan membunuh saya/ penulis, ups! Betul kah? yup! betul sekali! Mengerikan, ya? Dan karena tragedi itu berimbas pada karier dan kehidupan penulis. Masa itu benar-benar masa kelam. Itulah saya/ penulis, kalau kata teman saya yang orang Jepang "your stories just like a novel." Mengeluh kah saya? TIDAK! Justru karena sudah mengalami banyak hal saya menjadi lebih kuat. Maka dari itu jangan pernah mengeluh, karena untuk menggapai impian yang tinggi itu akan banyak halangan dan rintangan yang sudah pasti akan berat. Maka siapkan mental!
Jangan sebentar-bentar mengeluh, "wah kita lulusan S1 kok cuma digaji UMR/ dibawah UMR sih..." , "kita lulusan S1 kok diberi posisi anak SMA sih", "kita ini lulusan S1 kerjanya ya diperusahaan besar bukan perusahaan kecil..." Saya/ penulis sarankan, jangan pernah mengeluh. Mau hidup enak tidak instan! Kecuali memang kita ini punya orangtua kaya raya punya perusahaan ya kita tidak perlu susah payah sekolah sambil kerja misalnya, atau tidak perlu pusing-pusing mencari pekerjaan setelah lulus karena sudah pasti langsung jadi manager atau direktur perusahaan, atau malah langsung dibuatkan perusahaan oleh bapaknya, itu kalau bapaknya orang kaya punya perusahaan.
4. Disiplin
Dari kecil saya/penulis sudah dibiasakan untuk hidup disiplin oleh bapak. Misalnya setiap pagi bangun sendiri tanpa harus dibangunkan, ya saya lah orang pertama dirumah yang bangun lebih awal setiap pagi hari. Tiap sore wajib mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu halaman, menyiram semua bunga-bunga dan tanaman, cuci piring dan lainnya, waktunya belajar ya belajar tanpa harus disuruh-suruh. Tiap hari minggu bangun pagi langsung kerja dulu, biasanya membantu bapak menyapu halaman, bersih-bersih halaman, kadang menanam tanaman/ bunga, kadang masak sarapan dulu, cuci piring, cuci sepatu sekolah, tas, seragam, dll...setelah itu baru mandi dan makan sarapan. Dan biasanya setelah makan sarapan saya dan adik diajak mencuci sepeda. Saya/ penulis tidak diajarkan oleh bapak untuk menonton televisi setelah bangun tidur pagi dihari minggu. Maka, bila kawan sekalian menikmati acara kartun dihari minggu pagi, maka penulis justru sudah bekerja sejak bangun tidur pagi. Minggu siang hari saya pun menyetrika pakaian dirumah, kadang mengerjakan prakarya untuk sekolah, membuat handicraft untuk dipakai sendiri atau bekerja mencari uang contohnya: memetik lemon&lime untuk kemudian dijual kepasar/ diantar kerumah pembelinya, atau bekerja membungkus makanan ringan ditempat tetangga sekitar rumah bapak penulis. Minggu sore hari ya kerja lagi membantu dirumah: menyapu halaman, bersih-bersih rumah, cuci-cuci piring lagi, setelah itu belajar. Dan seringnya setelah jam 7 malam saya kerja lagi mencari uang dengan membungkus snack dirumah tetangga saya sampai larut malam jam 10 malam kadang baru pulang kerumah. Sebisa mungkin waktu yang ada dipakai untuk bekerja/ mengerjakan sesuatu/ berkarya. Yup! Setiap waktu yang ada itu sangat berharga. Jadi sehari-hari saya itu seperti punya jadwal yang tidak tertulis dimana saya harus/ wajib mengerjakannya setiap hari. Kalau tidak dikerjakan bapak penulis akan marah. Yup, bapak saya tidak peduli meskipun saya baru pulang dari sekolah jam 4.30 sore, waktunya sore kerja membantu dirumah ya saya harus kerja, tidak ada alasan untuk tidak mengerjakannya hanya karena baru saja pulang sekolah. Disiplin dan ketat sekali ya bapak penulis? Iya, bapak penulis nampaknya sudah tahu bahwa untuk menggapai cita-cita/ impian tinggi itu tidak gampang pasti ada halangan serta rintangan tajam didepan, oleh karenanya saya/ penulis digembleng agar saya menjadi seseorang yang kuat.
Dari hal-hal kecil seperti itu saya/penulis belajar untuk disiplin dan menghargai waktu. Manfaatnya saya rasakan ketika sudah pergi merantau yang dimulai sejak umur 16 tahun dimana saat itu saya memilih sekolah Universitas di Yogyakarta. Ya, kehidupan saya sehari-hari disiplin karena terbiasa mengatur waktu. Saya tidak kaget ketika harus hidup sendiri ditanah rantau, mengatur jadwal hari-hari dengan ketat. Sampai saat ini kehidupan disiplin ini masih saya terapkan. Boleh percaya, boleh tidak, saya ini ibu rumahtangga tapi dirumah jarang sekali menonton televisi, apalagi chit chat haha hihi di media sosial, saya tidak punya waktu buat ngerumpi di media sosial! Saya pun tidak punya waktu berbelanja shopping sambil mampir ngopi di cafe. Hari-hari saya sibuk mengurus rumah, semua pekerjaan rumah saya urus sendiri tanpa pembantu rumahtangga. Selain itu hari-hari saya sibuk mengurus bisnis, menulis, dan sibuk sekolah (kalau pas ikut kelas). Baru tahun 2019 ini saya tidak ikut sekolah dulu karena fokus mengurus bisnis dan mempersiapkan diri untuk meraih Ph.D kalau bisa Postdoctoral sekaligus!
5. Fokus
Saya ingat waktu itu bapak penulis meminta agar saya lebih baik memilih jurusan Ekonomi Manajemen. Ya, saat itu saya ada dua pilihan masuk jurusan bahasa perancis di Universitas Negeri atau jurusan Ekonomi-Manajemen di Universitas swasta kecil. Penulis agak ragu, maklum ya kalau mengikuti kata "gengsi" lebih bergengsi kuliah di universitas negeri atau universitas swasta ternama. Dan saat itu saya memilih sekolah di Universitas swasta kecil dikota Yogyakarta mengambil program study Ekonomi-Manajemen. Menyesal kah saya? Tidak! Karena ternyata Universitas yang saya pilih itu meskipun sebuah universitas swasta kecil tapi terdaftar di Jerman. Maksudnya apa? Bila kita akan mendaftar sekolah di Jerman misalnya Master Degree di Leipzig University, itu salah satu syarat pendaftaran adalah Universitas tempat kita memperoleh gelar S1, itu terdaftar di Jerman sana. Jadi mau kita sekolah di Universitas swasta kecil atau di Universitas besar dan ternama di Indonesia itu tidak ada masalah kedudukannya sama karena diluar negeri yang dilihat fokus study kita, lama study S1 kita, dan IPK harus minimal 3,00 bagus lagi diatas 3,00. Dan jangan memilih sebuah universitas karena "bergengsinya" tapi pilihlah universitas sesuai dengan minat kita dan sesuai dengan pekerjaan yang hendak kita geluti dimasa depan dan tentu saja sesuai "kantong" bapak kita alias kemampuan uang bapak kita. Kalau sudah di luar negeri yang dilihat adalah fokus study kita, lama study, dan IPK. Dan penulis berterimakasih pada bapak karena telah mengajarkan saya untuk bersikap fokus dengan apa yang ingin saya raih. Sejak Sekolah Menengah Pertama saya/ penulis sudah memutuskan untuk sekolah dibidang Ekonomi. Dan sampai sekarang saya masih berkarya dibidang Ekonomi meski pun hanya kecil-kecilan tapi sudah mulai membuka usaha alias bisnis. Desember tahun 2018 lalu saya berhasil menyelesaikan program MicroMaster Marketing in a Digital World dari Curtin University.
Kenapa kita harus fokus? Kita harus tahu apa yang kita mau, dan kita harus tahu kita akan mengarah kemana hidup kita kedepan nanti. Bila kawan sekalian hendak/ memang punya impian atau cita-cita ke luar negeri misal bekerja, mungkin ke Singapura atau negara lain, kita harus fokus. Bekerja sesuai dengan bidang yang kita ambil saat sekolah itu penting. Saya punya cerita, ada seseorang kontak saya, orang ini sekolah IT tetapi setelah lulus bekerja bukan bidang IT, setelah itu ingin kerja di Singapura bidang IT. Kalau saya bilang ya sulit, apalagi dengan waktu study S1 lebih dari 4 tahun, IPK juga tidak tahu berapa...ditambah lagi study IT tapi kerjanya berbeda. Ada lagi cerita dimana seseorang ini sekolahnya memang di universitas bagus, bergengsi katanya, tapi ia sendiri tidak tahu nantinya mau bagaimana setelah lulus karena ambil pertanian. Tanya pada penulis karena ingin kerja di Singapura, well I am very sorry... mencari kerja diluar negeri kalau tidak sesuai bidang saat kita sekolah ya akan sulit. Kalau memang sekolah pertanian ya pastinya kerja dibidang pertanian/ perkebunan, mungkin di Kalimantan sana, lah di Singapura tidak ada perkebunan... Ya banyak orang bilang mencari pekerjaan diluar negeri sulit meski kita pegang degree S1, katanya ijazah S1 dari Indonesia tidak laku diluar negeri sulit buat cari kerja, kenapa sulit? Karena kita tidak fokus dengan bidang yang hendak kita geluti, misal sekolah pariwisata tapi ingin melamar kerja finance, sekolah pertanian ingin lamar kerja perbankan, sekolah perikanan ingin lamar kerja marketing, dan lain-lain, jelas tidak bisa dan sulit karena diluar negeri kita sekolah jurusan A ya kerja bidang A. Kita harus fokus, misal study ekonomi ya bekerja dibidang ekonomi misal bekerja bidang digital marketing, financial, atau jadi researcher marketing department. Poin yang ingin penulis sampaikan adalah fokuslah. Jangan cuma asal masuk universitas yang penting bergengsi, ternama, dan ter..ter..lainnya, tapi sekolahlah dengan fokus study sesuai dengan bidang yang hendak kita geluti dimasa depan.
6. Terus Mau Belajar dan Berkarya Sekecil Apapun
Sebelum menikah saya dan suami sudah membicarakan banyak hal, salah satunya adalah setelah menikah 100% saya support suami. Dan untuk men-support suami ini saya memutuskan untuk menjadi ibu rumahtangga agar suami saya bisa fokus dengan kariernya. Karena untuk suami penulis, pindah kerjanya itu bukan cuma pindah kota tetapi pindah ke negara lain. Puji syukur selama menjadi ibu rumahtangga itu saya sudah berkarya yaitu menulis sejak tahun 2010 (sejak masih tinggal di Jakarta). Tahun 2011 tulisan saya pernah dimuat disebuah majalah wanita ternama di Indonesia. Sekarang sudah mengantongi 9 sertifikat dari universitas ternama dunia seperti Harvard University, University of California, Berkeley, dan Curtin University. Dan masih akan terus sekolah, belajar, dan berkarya. Tidak lupa harus membantu sesama.
Saya ingat waktu masih tinggal di Jakarta dimana tetangga saya suka sewot/ tidak suka dengan saya hanya karena saya ini ibu rumahtangga tapi pegangannya kok buku, belajar bahasa Inggris, ditambah lagi saya itu dulu membaca koran Kompas setiap hari. Katanya berlagak ya... Abaikan saja bila ini dialami oleh kawan sekalian. Belajar, belajar, dan belajarlah...percayalah tidak ada ilmu yang tidak berguna. Malah sekarang saya bisa membaca dan menulis hiragana dan masih akan belajar bahasa Dutch atau Belanda.
7. Jangan Pernah Merendahkan Orang Lain
Pernah ada seorang kawan penulis sewaktu sama-sama menempuh Strata 1 di kota Yogyakarta berkata, "orang itu meskipun seperti apapun suksesnya hidupnya, tapi kalau orangnya jahat/ pribadi buruk, suatu saat orang itu akan jatuh. Kita jadi manusia harus hidup dengan baik dan benar karena kita yang sudah hidup berusaha baik dan benar masih diberi ujian apalagi kalau kita hidup tidak baik dan berperilaku jahat pada orang lain..." Itu kata kawan penulis yang selalu saya ingat.
Sepanjang perjalanan penulis, saya melihat banyak hal. Kadang ada seseorang sudah merasa paling "wah" dan "OK" sehingga merendahkan orang lain bahkan mengejek yang lain, baru sekolah Diploma sudah berlagak seperti Ph.D kalau mengolok orang lain, baru kerja biasa gaji $100 tetapi kalau merendahkan orang lain seperti ia sudah bergaji $10,000 , ada yang baru kerja posisi biasa tapi berlagak seperti sudah jadi direktur perusahaan kalau merendahkan orang lain, baru difasilitasi motor kreditan dari orangtua tapi sudah berlagak seperti punya perusahaan motor kalau merendahkan orang. Itulah manusia, dibanding melihat diri sendiri orang-orang seperti ini lebih suka melihat orang lain dan sekitarnya. Point apa yang ingin penulis sampaikan? Jangan sampai kita menjadi orang-orang seperti ini. Dalam melihat orang maka lihatlah personalnya. Saya sendiri dalam melihat orang lain tidak pernah melihat latar belakangnya, tetapi saya lebih melihat personalnya (baik/ tidak orangnya). Jangan sekali-kali merendahkan/ memandang rendah orang lain, karena kita tidak tahu bisa saja orang didepan kita yang saat ini orangnya tidak pintar/ biasa, lusuh, tidak punya apa-apa, kita tidak pernah tahu suatu saat si orang ini beberapa tahun kedepan akan menjadi orang yang luar biasa. Kalau banyak orang bilang, "pem-bully dan orang-orang yang suka merendahkan orang lain, dikemudian hari hidup mereka biasa saja."
Lah kalau posisinya terbalik bagaimana, semisal justru kita yang direndahkan orang? Ini jawaban saya, berterimakasihlah pada mereka yang merendahkan kita. Iya, benar, ucapkanlah terimakasih pada mereka yang memandang rendah pada kita dan jangan membalas perkataan mereka. Karena percayalah manusia diperlakukan sesuai dengan apa yang ia lakukan, apa yang ditanam itulah yang akan dipetik. Justru berkah akan kita dapatkan bila kita tetap calm. Dan tetaplah fokus dengan apa yang hendak kita raih, serta bersikaplah low profile.
Ada sedikit cerita sekitar tahun 2008 (saya sudah lupa) dimana ada seseorang yang mengatakan bahwa penulis ini hanyalah "seekor tikus kecil" yang tidak punya apa-apa dan bukan siapa-siapa. Bagaimana reaksi penulis? Bila hendak ditengok kebelakang, orang yang merendahkan penulis dengan mengatakan penulis hanya "seekor tikus kecil", ia sekolah universitas pun lulus 5 tahun lebih, parahnya lagi lulus karena skripsinya hasil dibuatkan orang lain, kalau tidak dibuatkan ia tidak akan selesai-selesai skripsinya. Lulus strata 1 kemudian bekerja dipinggiran kota sekitar Jakarta alias Tangerang tapi bergaya bilangnya Jakarta (Tangerang memang Jakarta sebelah mana 🙄 Hello nilai IPS-nya dapat berapa ya saat sekolah??), typically kebanyakan orang Indonesia bila tinggal&bekerja di Tangerang, Bekasi, Karawang, Depok, tapi bilangnya bekerja dan tinggal di Jakarta. Jadilah seorang manusia yang jujur, itulah pedoman hidup yang diajarkan oleh bapak penulis. Baru sekolah Diploma sudah serasa seperti lulusan Ph.D dari luar negeri kalau merendahkan orang. Ya, itulah manusia, merasa diri paling "wah" padahal fasilitas masih dari orangtua. Dan...sekarang ia kehidupannya biasa karier pun biasa saja... Ya, ini salah satu pengalaman perjalanan hidup penulis dimana saya tidak menanggapi maupun "engage" dengan hal-hal tidak penting seperti ini. Saya tidak mau membuang waktu dan energi sia-sia hanya untuk menanggapinya. Sebaliknya saya tetap fokus dengan apa yang hendak saya raih dimasa depan, terus belajar, dan belajar. Puji syukur 3 tahun setelah dikatakan hanya "seekor tikus kecil", penulis dan suami diberkahi, pindah dan hidup di Singapura. Dan sekarang penulis malah mengantongi 9 sertifikat dari universitas ternama dunia seperti, Harvard University, University of California, Berkeley, terakhir tahun 2018 penulis mendapatkan sebuah sertifikat Micromaster Marketing in A Digital World dari Curtin University. Dan sekarang saya sedang merencanakan untuk meraih Master degree dan Ph.D di Belgia. Puji syukur juga sejak tahun 2013 "seekor tikus kecil" ini sudah mulai membantu sesama. Bisa dibaca disini aktifitas sosial kami https://ichikraft-give-care.blogspot.com/ . Selain itu, hasil karya dan design "seekor tikus kecil" ini sudah keliling USA dan Eropa. Biar pun bisnis saya cuma kecil, tapi pembelinya dari USA, Canada, Australia, dan negara-negara Eropa, seperti UK, Belgia, Perancis, Denmark dll...
Diatas hanyalah salah satu contoh saja dimana penulis pernah direndahkan orang lain. Kita tidak perlu membalas balik omongan pem-bully, dan jangan sekali-kali "engage". Karena kalau kita ikut masuk dalam arus para pem-bully artinya kita tidak ada bedanya dengan mereka dan hidup kita tidak akan pernah mencapai puncak tertinggi. Diamkan saja dan kita tetap fokus dengan apa yang hendak kita raih dan low profile.
8. Jangan pernah takut untuk melangkah maju (step forward), dan menjadi orang yang berbeda
Step forward! Yup, jangan pernah takut untuk melangkah maju. Contohnya seperti saya sendiri misalnya. Lahir dan besar didesa bukan berarti saya harus hidup dan tinggal selamanya didesa atau hanya berkutat didaerah asal. Dikelas 2 Sekolah Menengah Atas, penulis sudah memiliki mimpi untuk sekolah keluar negeri. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas saya memutuskan untuk meninggalkan daerah asal dan sekolah di kota Yogyakarta. Pergi tanpa diantar orangtua, mencari sekolahan sendiri, dan mengurus segala sesuatu seorang diri. Padahal saya "buta" kota Jogja dan belum pernah sekalipun pergi-pergi sampai jauh kekota Yogyakarta. Tidak takut kah saya? Tidak. 6 bulan setelah menikah pindah ke Jakarta, kurang dari 2,5 tahun kemudian pindah ke Singapura. Yup, diumur 27 tahun saya (dan suami) pindah domisili di Singapura. Terus melangkah maju tanpa rasa takut.
Kenapa kita harus memiliki jiwa pemberani seperti diatas? Buat saya pribadi, kalau saya ini tetap tinggal dan hidup didaerah asal terus ya saya tidak akan memiliki pengalaman hidup, bertemu banyak orang dalam keberagaman, bertemu budaya baru, bahasa baru, lingkungan baru, dan belajar banyak hal-hal baru. Step forward and out of the box, jangan terus-menerus berada dizona nyaman seperti tinggal seatap dengan orangtua, masih suka difasilitasi orangtua, dan segala keperluan hidup tergantung orangtua. Saya pribadi punya prisip, diumur 16 tahun atau setelah lulus Sekolah Menengah Atas harus keluar dari rumah bapak saya. Setelah selesai strata 1 menyetop bapak saya untuk mengirim uang dan saya tidak kembali kerumah orangtua. Dan melanjutkan hidup sebagai orang dewasa mandiri, bertanggungjawab pada diri sendiri, serta tidak meminta uang pada bapak lagi. Kalau kita lihat banyak ya para mahasiswa yang sudah lulus pulang kerumah orangtua dan masih suka difasilitasi orangtua. Tak jarang bahkan sudah punya pekerjaan tapi masih tinggal seatap atau masih difasilitasi orangtua. Bahkan sudah menikah dan punya anak sekalipun masih suka tinggal serumah dengan orangtua serta masih difasilitasi/ mengandalkan orangtua, ingin beli rumah minta bantuan orangtua, renovasi rumah minta bantuan orangtua, mau beli kendaraan minta bantuan orangtua, sampai mengurus anak pun minta bantuan orangtua, semua-semuanya masih tergantung dengan fasilitas dan bantuan dari orangtua. Disinilah kita bisa melihat apakah kita sudah menjadi manusia dewasa mandiri dan bertanggung jawab, atau belum? Tanya pada diri sendiri. Harus keluar dari zona aman dan step forward.
Tahun 2011 ada yang berkata pada penulis, "eh kalau putra daerah seharusnya tinggal didaerah dan kerja didaerah, itu namanya membangun daerah." Sudah banyak cerita ya dari luar negeri sana dimana orang-orang Indonesia yang tinggal diluar negeri membantu sesamanya yang ada di Indonesia. Contohnya ada orang Indonesia yang tinggal di Jerman, ia menggalang dana untuk diberikan pada anak-anak jalanan di Indonesia. Ada yang dari Papua, ia ke Jerman dan membiayai sekolahnya sendiri dengan nyambi kerja, kemudian ia membantu memberikan informasi pada anak Papua lainnya yang ingin ke Jerman baik sekolah atau ingin bekerja. Lah sementara saya juga melakukan hal yang sama, membantu biaya pendidikan beberapa anak miskin didesa di Indonesia, bisa dibaca disini https://ichikraft-give-care.blogspot.com/ Kenapa saya membantu anak-anak ini? Saya ingin anak-anak desa miskin ini terus sekolah dan bisa meraih masa depan yang lebih baik. Namanya membangun daerah bukan tinggal didaerah dan bekerja, kalau ini sih namanya memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti kebanyakan orang: bekerja untuk bisa dapat uang untuk memenuhi hidup. Namanya membangun daerah itu ya dengan membantu sesama, membantu orang lain, serta ikut aktif memajukan masyarakat sekitar atau komuniti misal: membuka kursus bahasa inggris gratis untuk anak-anak sekitar, membuka kursus komputer untuk anak-anak desa, membuka perpustakaan untuk anak-anak sekitar, mengajari orang-orang sekitar keterampilan misal: mengajari ibu-ibu desa membuat bunga pita dan dijual, mengajak warga desa untuk memanfaatkan pekarangan rumah dengan ditanami sayur atau buah yang bisa dimakan sendiri atau dijual diajari cara bertanam yang lebih baik, dll.. itu baru namanya ikut serta membangun daerah. Dan kalau saya boleh bilang, aktifitas seperti ini bukan membangun daerah lagi tetapi sudah masuk yang namanya membantu sebuah negara, kalau saya lebih suka menyebutnya membantu memajukan tingkat kemampuan warga miskin agar mereka atau anak-anak mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik. Boleh percaya, boleh tidak, saya pernah berkunjung ke salah satu kantor daerah untuk urusan sesuatu hal, disana saya (dan suami) diperlakukan istimewa, kenapa? Karena pegawai didaerah itu bangga ada orang yang berasal dari daerahnya bisa sampai keluar negeri dan punya degree. Artinya saya/ penulis bukanlah orang biasa seperti kebanyakan orang daerah tersebut, jarang-jarang orang seperti penulis. Dan itulah kenapa saya/ penulis diperlakukan istimewa, urusan yang saya punya bisa langsung beres hari itu juga tanpa harus punya kenalan dikantor daerah pun tidak perlu sampai mengeluarkan uang agar urusan cepat selesai. Point apa yang ingin penulis sampaikan? Lahir dan besar didaerah/ dikampung/ desa tidak mengapa, tapi sekolahlah yang tinggi, setelah sekolah keluar negeri tidak masalah (mencari ilmu atau berkarya), atau sekolah dan berkarya diluar negeri.
Sementara kalau memang mau tinggal didaerah dan membangun daerah ya seperti kawan saya contohnya: kawan baik penulis tinggal didaerah dan merintis sebuah sekolah karena ia ingin membantu anak-anak kurang mampu didesa agar mereka bisa sekolah. Tidak ada yang menggaji kawan saya ini, bertahun-tahun merintis sebuah sekolah tanpa lelah. Tapi hasilnya luar biasa ia diangkat PNS tanpa ribet. Ada lagi cerita dari kawan penulis sewaktu sekolah di Sekolah Menengah Atas, kawan SMA saya ini lulusan S1 dari kota di Jawa Tengah. Setelah lulus ia bekerja disebuah rumah sakit cukup bagus gaji bulanan lumayan, tetapi ia memutuskan keluar dan memilih bekerja di puskesmas didesa terpencil dengan gaji seadanya. Dipuskesmas ini hanya ada seorang dokter merangkap kepala puskesmas, dan kawan saya jadi asisten dokter, merangkap perawat juga bidan. Warga datang mau melahirkan tidak dipungut biaya oleh kawan saya. Warga desa membayar kawan saya ini dengan sayur dan buah hasil kebun. Apa yang terjadi? 2 tahun bekerja membantu masyarakat didesa terpencil, kawan ini diangkat PNS tanpa tes. Itu baru namanya membangun daerah bagi yang ingin tinggal didaerah, bukan ikutan ramai-ramai tes CPNS tiap tahun agar bisa menjadi PNS atau malah memberi suap alias "nyogok" supaya bisa jadi PNS?! Percayalah bahwa kawan saya merintis sebuah sekolah, dan memberi pelayanan kesehatan gratis ini karena mereka ingin membantu sesama, membantu warga miskin sekitar, membangun masyarakat, dan bukan karena ingin menjadi PNS. Diangkat PNS tanpa tes adalah bonus untuk mereka dari Yang Maha Kuasa. Ada kawan penulis sewaktu menempuh sekolah S1, almarhum kawan saya ini setelah lulus tinggal didaerah menjadi tenaga pengajar. Ia memberikan les gratis pada anak-anak sekitar rumahnya setiap hari. Bahkan ia memberikan les gratis juga pada anak-anak disebuah sekolah. Ia juga bekerjasama dengan saya untuk membuat perpustakaan dirumahnya, dan membantu saya menyalurkan biaya sekolah dari kami untuk beberapa anak waktu itu. Itulah yang namanya membangun daerah bagi yang ingin tinggal didaerah.
Menjadi orang berbeda dari kebanyakan orang sekitar pun menjadi salah satu kunci penting dalam menata masa depan. Kalau kita sama seperti yang lain/ orang kebanyakan, ya masa depan kita akan sama seperti kebanyakan orang. Kelas 5 Sekolah Dasar saya sudah memutuskan untuk sekolah ke universitas mengambil Strata 1 / S1 Ekonomi. Padahal anak-anak lain masih sibuk main. Pulang sekolah anak-anak lain sibuk main, pacaran, saya malah kerja mencari uang agar bisa sekolah. Sore hari anak-anak sekitar pada nongkrong gitar-gitaran haha hihi, saya malah bergelut dengan buku dan belajar. Ada yang bilang saya tidak punya teman, tidak bergaul dengan lainnya. Peduli kah saya dengan semua itu? Tidak. Karena dalam kenyataannya sayalah anak desa/ kampung tapi punya teman dari luar negeri dimana saya sudah mulai belajar bahasa baru dan budaya baru sejak masih tinggal didesa/ kampung. Buat saya, saya hanya mau berteman dengan orang-orang yang berpikir maju dan positif. Supaya apa? Agar supaya saya tetap pada jalur cita-cita yang hendak diraih, maju kedepan bukan mundur kebelakang, yang pada akhirnya berpengaruh positif pada segi kehidupan saya sendiri. Percayalah, tidak ada seorang Professor atau orang bergelar Ph.D yang kerjaannya hanya membuang-buang waktu dan energi, seperti ngerumpi, nongkrong, mem-bully orang lain, merendahkan orang lain, mengolok, menghina, dan mengejek orang lain. Tidak ada. Maka ada istilah, "Success is not having a big house or fancy car, success is having a big heart." Intinya bahwa orang berpendidikan tinggi dan sukses, mereka-mereka ini memiliki budi pekerti luhur. Lah semisal saya ikut-ikutan seperti anak-anak sekitar rumah bapak saya, bisa kah saya ini seperti sekarang? Jawabnya adalah tidak. Maka ada istilah "We go Against the grain." Maksudnya apa? Ya kita harus melawan arus, jangan ikut-ikutan arus sekitar.
9. Harus Rajin Menabung
Huh?😦 Apa hubungannya rajin menabung dengan persiapan dari diri sendiri untuk pindah ke Singapura (atau mungkin ke negara lain)? Tentu saja ada hubungannya. Ini adalah salah satu kunci dimana seseorang bisa meraih impiannya dimasa depan dan harus menjadi pegangan hidup untuk kita. Karena kalau dilihat banyak sekali orang yang memiliki mental hedonis. Bila kita memang orang berduit atau kaya raya ya silahkan saja, tetapi kalau kita asalnya dari orang biasa ya jangan hedonis. Seperti misalnya membeli barang-barang kebutuhan sekunder padahal tidak punya uang, artinya suka kredit barang.
Bapak penulis adalah pribadi yang ulet dan suka menabung atau bijak menggunakan uang. Satu hal yang tidak disukai bapak yaitu kredit barang. Sewaktu masih menjadi seorang karier-man sukses bapak saya itu beli kulkas saja tidak mau padahal bisa beli cash! Menurut bapak saya tidak penting, beli es banyak diwarung, pengen sayur segar banyak dijual tiap pagi, pengen daging ayam tinggal potong ayam dari kandang. Bisa beli motor cash pun bapak saya tidak mau, mampu melantai rumah dengan marmer pun bapak saya juga tidak mau, malah uangnya dipakai untuk beli ladang, dan kemana-mana naik sepeda. Sekalipun bapak saya punya uang, ia tidak serta merta menggunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu yang bersifat sekunder. Beliau lebih suka menyimpannya agar suatu saat bisa digunakan untuk hal yang lebih berguna/ penting. Ketika hanya menjadi seorang buruh pabrik, boleh percaya boleh tidak, setiap hari bapak saya itu mengayuh sepeda untuk mencapai tempat kerjanya. Beliau lebih memilih naik sepeda ketimbang naik angkutan umum atau naik motor kreditan. Boleh dikatakan tempat kerjanya lumayan jauh. Dan setiap pulang kerja masih harus mengayuh sepeda hingga berkilo-kilo meter lagi untuk mencari pakan kambing yaitu rumput diladang-ladang. Kalau mau dipikir misal cuma mau kredit motor, kulkas, hape-hape dll.. bapak saya mampu karena punya penghasilan lainnya yaitu dari hasil ladang, ternak kambing, ternak ayam, dan sedikit bisnis. Tapi uangnya hanya digunakan untuk hal yang lebih penting atau ditabung ketimbang membeli barang sekunder atau barang kurang penting. Misalnya saja digunakan untuk biaya menyekolahkan saya ke universitas. Karena kalau dipikir tidak masuk akal, bapak saya gajinya cuma 500 ribu Rupiah perbulan saat penulis sekolah universitas, tetapi bapak saya itu bisa mengirim saya ke Yogyakarta untuk sekolah universitas dimana waktu itu kiriman uang sebesar 500 ribu Rupiah per bulan untuk saya. Belum lagi masih harus membayar kost, biaya perkuliahaan, juga tiket bus untuk saya mudik, dan lain-lain... Kok mampu ya? Iya karena bapak saya itu orangnya ulet dan rajin menabung serta bijak menggunakan uang.
Oleh karena itu saya/ penulis dididik untuk menjadi pribadi yang ulet dan rajin menabung. Belajar menggunakan uang dengan bijak (baik dan benar) sudah diajarkan oleh bapak sejak dini. Tidak punya uang ya jangan bergaya membeli barang terutama barang sekunder apalagi dengan cara kredit. Kalau punya uang ya ditabung. Ingin membeli sesuatu ya berusaha keras dan menabunglah untuk membelinya. Tetapi sebelum membeli pikirkanlah apakah kita butuh atau hanya karena gengsi semata. Kalau guru-guru Sekolah Dasar sering berkata pada muridnya, "Rajin belajar pangkal pandai, rajin menabung pangkal kaya." Nasihat guru kita itu benar adanya, dengarkan baik-baik nasihat guru kita itu.
Nah, kalau punya impian keluar negeri baik ingin melanjutkan sekolah/ ingin bekerja profesional diluar negeri, bila kita asalnya orang biasa ya kita harus rajin menabung, dan jangan menjadi orang hedonis. Baru punya uang sedikit sudah ingin beli ini itu padahal kreditan, baru punya uang 700 ribu lantas ingin beli motor alias kredit, baru punya duit 2 juta ingin beli mobil alias kredit. It doesn't work like that, guys...! Punya uang harus ditabung sedikit demi sedikit, jalani hidup dengan low profile. Lebih baik hidup biasa tapi punya tabungan banyak di bank dari pada punya ini itu tapi kreditan artinya tabungan zero dan utang banyak. Jangan sampai tergiur dengan kehidupan hedonis beli ini dan itu padahal tidak punya uang. Kalau ada orang bilang, "bila kita miskin ya jangan berlagak seperti orang berduit." Lebih baik kelihatan biasa tapi uangnya banyak di bank dari pada banyak gaya kelihatan berduit tapi utang segunung. Menabung itu penting dan harus menjadi kebiasaan/ budaya/ bagian dari kehidupan kita sehari-hari yang pada akhirnya akan bermanfaat untuk kehidupan kita sendiri dimasa depan.
Ada sebuah cerita dimana saya pernah diminta seseorang untuk membantu anaknya untuk bekerja jadi pembantu di Singapura. Saya/ penulis menolaknya. Kenapa? Karena ini anak pinter sekolahnya , juara pertama terus tapi sayang sifatnya hedonis dan ingin hidup enak instant. Kok bisa dibilang begitu? Karena orangtuanya mencari uang saja susah tapi ini anak baru sekolah SMA saja minta motor untuk kesekolah dengan alasan supaya cepat berangkat sekolah dan tidak terlambat. Kalau saya bilang sih malas amat jadi anak sekolahan, banyak bergaya biar keliatan berduit. Lah iya malas, malas bangun pagi buta. Saya saja dulu-dulu tidak pernah sekalipun terlambat disekolah padahal naik kendaraan umum, bangun pagi jam 5, paling telat 5.15 pagi, jam 6.15 pagi sudah harus keluar rumah dan jalan 1 Km ke pasar untuk menunggu bis/ angkutan. Tidak pernah sekalipun saya terlambat sekolah! Dari pada uangnya untuk kredit motor begitu, apa tidak lebih baik uang yang dipakai membayar angsuran motor tiap bulan itu ditabung untuk kemudian dipakai untuk sekolah ke universitas. Sekolah di universitas pintar kan bisa mendapat beasiswa, malah bisa sekolah sampai ke luar negeri sebagai seorang pelajar berprestasi atau menjadi seorang pekerja profesional. Benar tidak? Kalau anak model begini sih saya sudah bisa lihat masa depannya tidak cerah sekalipun ia pinter juara 1 dikelas. Otak pinter saja tidak cukup, ada faktor lain-lain yang menentukan cerah atau tidaknya masa depan seseorang. Lah ini yang otak pinter saja bisa tidak cerah masa depannya, apalagi kalau otak biasa plus banyak gaya dan banyak tingkah, saya pastikan masa depan gelap dan tidak pasti. Percayalah, penulis sudah banyak melihat kasus seperti ini. Yup! Ada banyak hal yang menentukan sukses atau tidaknya seseorang dimasa depan, salah satu faktor itu adalah low profile, tidak perlu banyak gengsi, banyak tingkah, dan bergaya. Dan saya bersyukur karena bapak penulis sudah memberikan contoh teladan yang baik untuk anaknya yaitu saya.
Setelah membaca apa-apa yang harus dipersiapkan diatas, sekali lagi saya tekankan ya dalam artikel ini adalah persiapan yang dimulai dari diri sendiri. Banyak orang yang berkata pada saya/penulis, "wah enak ya tinggal di Singapura, suami pun orang IT punya gaji besar..." Ya, banyak orang melihat dari sisi enaknya saja, tapi tidak ada yang bertanya bagaimana usaha kami untuk bisa mencapai semua ini. Itulah kebanyakan orang berpikir bahwa semua serba instant. Untuk saya pribadi namanya ingin mendapatkan masa depan yang gemilang ya harus berusaha dan bekerja keras karena bapak saya hanya orang biasa bukan pemilik perusahaan. Tidak ada waktu bersantai-santai..misal sekolah nyantai-nyantai...lulus kuliah pun molor-molor... atau chit chat haha hihi dimedia sosial, Tidak! hal ini tidak ada dalam "kamus" saya. Perlu untuk diketahui, suami saya itu diawal kariernya menjadi seorang programmer ia hanya bergaji UMR (upah minimum regional) cuma 700ribu Rupiah per bulan guys...! Dan bekerja disebuah perusahaan IT kecil didaerah. Semua kami awali dari hal kecil alias zero!
Kenapa sih persiapan dari diri sendiri itu penting? Ini berdasarkan pengalaman penulis ya, persiapan-persiapan seperti ini penting karena akan membentuk karakter, pola dan cara berpikir kita. Agar kita tumbuh menjadi seorang dewasa yang bermoral baik, berbudi pekerti luhur, mandiri, dan bertanggungjawab. Kalau kita orang biasa ya kita harus merangkak dari bawah, bersusah payah dahulu. Kita harus tahu pattern kehidupan yang hendak kita raih. Dan sekolah itu penting! Ambil contoh, saya pernah dimintai tolong oleh seseorang agar saya ini mau membawa anaknya ke Singapura untuk kerja di Singapura jadi pembantu. Dan saya diamkan saja karena saya tadinya ingin membantu si anak ini untuk mendaftar beasiswa ke Universitas, tapi nampaknya tidak mau, lebih suka ingin jadi pembantu di Singapura dibanding sekolah ke Universitas dengan beasiswa. Sayang ya, pintar disekolah, juara terus sampai Sekolah Menengah Atas, kenapa tidak sekolah. Kalau mau keluar negeri ya jangan jadi pembantu tapi jadilah pelajar berprestasi/ pekerja profesional. Ada lagi contoh, ada yang ingin lulus kuliah S1 langsung masuk perusahaan besar dibidangnya dan gaji besar. Lah kalau kita orang biasa ya kita bekerja di perusahaan kecil dulu, ditekuni merangkak pelan tapi pasti. Itulah pentingnya persiapan yang dimulai dari diri sendiri bila kita ini berasal dari orang biasa atau kata orang bapaknya "kere" . Dan kita tidak perlu merasa rendah diri karena berasal dari orang biasa karena prestasilah yang akan berbicara.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah butuh biaya/ modal berapa untuk pindah ke Singapura? Tahun 2012 awal (akhir bulan Januari 2012) ya, saat itu untuk pindah ke Singapura kami sudah siap biaya sebesar kira-kira Rp. 25.000.000; Biaya sebesar ini kami ambil dari tabungan kami selama kurang dari 2,5 tahun di Jakarta. Sementara sisa tabungan yang kami kumpulkan selama kurang dari 2,5 tahun di Jakarta puji syukur sampai sekarang masih ada dan belum tersentuh (belum terpakai). Uang 25 juta rupiah itu dipersiapkan untuk apa saja sih? Tentu saja yang pertama adalah biaya tiket pesawat kami berdua, Jakarta-Singapura. Biaya lain yang harus dikeluarkan yaitu sewa tempat tinggal dimana kita harus membayar uang deposit serta membayar agent property-nya. Dan biaya sewa tempat tinggal ini paling banyak keluar. Sementara untuk mengurus visa ijin tinggal kita mengurus sendiri di Ministry of Manpower dengan biaya yang ditanggung perusahaan suami. Jadi perusahaan suami hanya menanggung biaya visa ijin tinggal dan visa kerja ya, sementara biaya lain-lain kita tanggung sendiri. Kalau sudah Permanent Resident tentu kita tidak perlu mengurus visa ijin tinggal dan visa kerja. Dan puji syukur kami berdua sudah Permanent Resident. Terimakasih hidup kami penuh berkah...
Ya, untuk besaran biaya/ modal pindah ke Singapura ini bisa saja berbeda dengan orang lain ya. Karena biaya sewa tempat tinggal sudah pasti berbeda antara orang satu dengan yang lain. Orang punya standart tempat tinggal yang diinginkan. Kemudian kebutuhan-kebutuhan yang dibeli saat pertama kali datang juga berbeda. Jadi untuk besaran biaya ini mungkin saja bisa berbeda dengan orang lain.
Satu lagi yang perlu dan penting untuk diketahui, meskipun suami bekerja di Singapura tidak serta merta istri bisa juga tinggal di Singapura. Di Singapura ada aturannya dimana untuk para pekerja (suami) yang ingin membawa istri atau anak (kalau sudah ada anak) itu ada batasan minimal gaji tertentu dimana istri dan anak bisa dibawa tinggal di Singapura. Kalau gaji suami dibawah batas minimal gaji yang sudah ditentukan, maka istri tidak bisa mendapatkan visa ijin tinggal alias tidak bisa tinggal di Singapura meski suami bekerja disini. Lantas berapa batas minimal gaji ini untuk bisa membawa anggota keluarga inti (istri dan anak)? Setahu saya sih batasan minimal gaji ini adalah SGD 6,000 (kalau belum naik lagi ya) per bulan. Jadi bila sang suami ingin membawa istri dan anak (bila sudah ada anak) tinggal di Singapura maka suami harus memiliki gaji minimal SGD 6,000 per bulan (kalau belum naik lagi). Dan ada tambahan lagi, background istri (bagi yang ingin membawa istri) juga lebih baik punya background bagus misal minimal punya degree Strata 1 atau S1, dan punya aktifitas positif misal kalau saya ya menulis, bisa ambil kelas ya saya ambil, atau buka usaha meski hanya kecil-kecilan. Buat saya pribadi, datang ke negara orang ada baiknya saya punya latar belakang pendidikan, punya degree bisa update degree saya pun akan update degree (sekolah lagi), punya history pendidikan bagus, dan beraktifitas positif. Kenapa demikian? Semua itu untuk kebaikan diri kita sendiri dan nilai plus untuk kita. Banyak orang terheran-heran dengan saya karena saya ini cuma ibu rumahtangga tapi bisa penduduk tetap atau Permanent resident. Kenapa heran? Karena ada cerita dimana yang menikah dengan orang Singapura saja katanya dapat visa 6 bulanan saja (tiap 6 bulan renew), yang lain apply Permanent resident dua kali baru approve padahal menikah dengan orang Singapura. Ada juga pasangan suami-istri dua-duanya bekerja kantoran tapi apply PR reject alias ditolak terus, ada juga cerita dimana visa ijin tinggal istrinya ditolak terus. Sampai suami penulis ditanya teman juga kenalannya, "punya achievement apa sih?", "istri kerja apa?", ada juga yang bertanya, "istrinya Chinese ya?" Banyak orang terheran-heran karena pekerjaan saya adalah ibu rumahtangga. Sebelum jadi Permanent Resident visa saya 2 tahunan. Kami apply PR sekali langsung approve (dapat Permanent Resident). Poin apa yang ingin penulis sampaikan? Sekolahlah yang baik dan benar, dapatkan degree minimal S1 (lulus maksimal 4 tahun dengan IPK minimal 3, 00 diatas 3,00 lebih bagus lagi), fokus dengan apa yang hendak diraih, lakukan aktifitas positif dan membangun baik membangun diri sendiri maupun lingkungan sekitar/ masyarakat/ berguna untuk orang lain serta upgrade skill. Semuanya itu demi kebaikan diri kita sendiri dan investasi kita dimasa depan. Tidak usah melihat orang lain kok bisa begini kok bisa begitu, dari pada sibuk melihat orang lain lebih baik fokus dengan diri sendiri. Saya pribadi punya prinsip, datang kenegara orang ada baiknya kita bisa menunjukkan bahwa kita punya kualitas dan kemampuan. Persiapannya apa ingin pindah ke Singapura? Nomer 1 ya sekolahlah yang baik dan benar, dan jangan pernah berhenti untuk belajar, belajar, dan belajar.
Sekali lagi saya tegaskan, hidup ini tidak ada yang instant, mau hidup enak tidak instant. Kecuali yang sudah saya sebut diatas punya orangtua/ bapak kaya raya punya perusahaan ya kita tidak perlu bersusah payah dalam hidup. Nah, karena saya ini cuma anak desa biasa jadi saya mempersiapkan masa depan sejak dulu kala yaitu sejak jaman Sekolah Dasar sudah mulai merencanakan masa depan. Setelah menikah saya dan suami bersama-sama membangun masa depan TANPA bantuan saudara/ kerabat/ famili/ orangtua...semua kami usahakan sendiri dengan uang sendiri. Pernah dulu ada kerabat yang sinis berkata, "Disekolahin habis biaya banyak mana hasilnya...gak jadi apa-apa juga?!" wow! padahal waktu itu saya/ penulis baru setahun wisuda S1 Ekonomi, sudah ditanya mana hasilnya? Lha saya ini lulus S1 Ekonomi 3,5 tahun dan lulusan terbaik, padahal semasa perkuliahan biaya bulanan minim, alias cukup gak cukup harus cukup dan tidak punya fasilitas apa-apa, komputer untuk kuliah saja tidak punya. Dan puji syukur, diumur 27 tahun saya (dan suami) pindah ke Singapura dan hingga sekarang. Sementara anak-anak mereka sekolah universitas dengan biaya bulanan banyak fasilitas lengkap lulus S1 makan waktu 5 tahun lebih dan sampai menikah pun masih sedikit banyak tergantung pada orangtua. Ya itulah kebanyakan orang berpikir instant, melihat orang lulus S1 dikira bisa langsung jadi presiden direktur perusahaan gaji puluhan juta, lah ngimpi! Kalau kita orang biasa ya masih harus bekerja keras untuk menggapai impian setelah sekolah S1 kecuali punya bapak kaya raya punya perusahaan ya langsung dibuatkan perusahaan dengan puluhan bahkan ratusan karyawan. Itulah yang katanya saudara membantu saja tidak, mem-bully iya. Dan sekali lagi, puji syukur hidup kami penuh berkah, bisa menyekolahkan adik saya sampai detik ini. Puji syukur, tahun depan adik saya/ penulis akan masuk di sekolah tunagrahita paling bagus/ terbaik. Tidak ada kata yang bisa saya ucap selain bersyukur...terimakasih pada Yang Kuasa...
"I didn't get there by wishing for it or hoping for it, but by working for it" - Estèe Lauder
Kalau saya ditanya, "Pindah ke Singapura, persiapannya apa saja?", maka jawabnya saya/ penulis adalah seperti istilah diatas, saya ini yang notabene anak desa punya bapak juga cuma seorang buruh pabrik tetapi bisa tinggal di Singapura, kok bisa? Semua yang saya (dan suami) dapat sekarang, bisa hidup seperti saat ini, adalah karena kami berusaha dan bekerja keras mempersiapkan segala sesuatunya untuk menggapai impian kami. Terutama saya sudah bekerja keras untuk menggapai impian sejak ketika mulai memiliki impian yang dimulai sejak Sekolah Dasar. Jadi, apa yang kami dapat sekarang bukanlah sekejap mata atau instant. Tetapi kami, terutama saya pribadi sudah mempersiapkan diri sedini mungkin. Karena persiapan yang dimulai dari diri sendiri akan menentukan akan dibawa kemana kehidupan saya nanti dimasa depan.
Note:
- Written by Acik Mardhiyanti / Acik Mdy
- Do not copy this article without permissions